soewarsomandalaputra

Senin, 21 Maret 2016

Pranata mangsa

Pranata mangsa
Pranata mangsa (bahasa Jawa : ꦥꦿꦤꦠꦩꦁꦱ, pranåtåmångså ,
berarti "ketentuan musim") adalah semacam penanggalan
yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian , khususnya
untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan.
Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan siklusnya
(setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat
berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang
dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani
maupun persiapan diri menghadapi bencana ( kekeringan ,
wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman , atau banjir )
yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu.
Penanggalan seperti ini juga dikenal oleh suku-suku bangsa
lainnya di Indonesia, seperti etnik Sunda dan etnik Bali (di
Bali dikenal sebagai Kerta Masa ). Beberapa tradisi Eropa
mengenal pula penanggalan pertanian yang serupa, seperti
misalnya pada etnik Jerman yang mengenal Bauernkalendar
atau "penanggalan untuk petani". sebagai keperluan
penelitian dan menandai pada tahun sebuah mangsa
menggunakan angka tahun yang dimulai sejak 560 SM
diambil dari Kelahiran Sang Budha sebagai penghormatan
bagi agama yang pernah berkembang luas di nusantara,
sehingga pada tanggal 30 Januari 2015 M adalah 39 Kapitu
2575 Mangsa.
Deskripsi
Pranata mangsa dalam versi pengetahuan yang dipegang
petani atau nelayan diwariskan secara oral (dari mulut ke
mulut). Selain itu, ia bersifat lokal dan temporal (dibatasi
oleh tempat dan waktu) sehingga suatu perincian yang
dibuat untuk suatu tempat tidak sepenuhnya berlaku untuk
tempat lain. Petani, umpamanya, menggunakan pedoman
pranata mangsa untuk menentukan awal masa tanam.
Nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melaut
atau memprediksi jenis tangkapan [1][2] . Selain itu, pada
beberapa bagian, sejumlah keadaan yang dideskripsikan
dalam pranata mangsa pada masa kini kurang dapat
dipercaya seiring dengan perkembangan teknologi.
Pranata mangsa dalam versi Kasunanan (sebagaimana
dipertelakan pada bagian ini) berlaku untuk wilayah di
antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu [3] . Setahun
menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim
( mangsa ) utama, yaitu musim kemarau atau ketigå (88
hari), musim pancaroba menjelang hujan atau labuh (95
hari), musim hujan atau dalam bahasa Jawa disebut
rendheng (baca [r ənd h ə ŋ ], 95 hari) , dan pancaroba akhir
musim hujan atau marèng (IPA :[marɛŋ], 86 hari) .
Musim dapat dikaitkan pula dengan perilaku hewan ,
perkembangan tumbuhan, situasi alam sekitar, dan dalam
praktik amat berkaitan dengan kultur agraris . Berdasarkan
ciri-ciri ini setahun juga dapat dibagi menjadi empat musim
utama dan dua musim "kecil": terang ("langit cerah", 82
hari), semplah ("penderitaan", 99 hari) dengan mangsa kecil
paceklik pada 23 hari pertama, udan ("musim hujan", 86
hari), dan pangarep-arep ("penuh harap", 98/99 hari) dengan
mangsa kecil panèn pada 23 hari terakhir [3][4] .
Dalam pembagian yang lebih rinci, setahun dibagi menjadi
12 musim (mangsa ) yang rentang waktunya lebih singkat
namun dengan jangka waktu bervariasi. Tabel berikut ini
menunjukkan pembagian formal menurut versi Kasunanan.
Perlu diingat bahwa tuntunan ini berlaku di saat penanaman
padi sawah hanya dimungkinkan sekali dalam setahun,
diikuti oleh palawija atau padi gogo, dan kemudian lahan
bera (tidak ditanam).
No. Mangsa Mangsa
utama
Rentang
waktu Candra
1 Kasa
(Kartika)
Ketiga -
Terang
22 Juni
– 1 Ags
(41
hari)
ꦱꦺꦱꦺꦴꦠꦾꦩꦸꦂꦕꦲꦶꦁ
ꦲꦺꦩ꧀ꦧꦤꦤ꧀
Sesotya
murcå ing
embanan
("Intan jatuh
dari
wadahnya" >
daun-daun
berjatuhan)
D
b
k
m
b
m
d
2 Karo
(Pusa)
Ketiga -
Paceklik
2 Ags –
24 Ags
(23
hari)
ꦧꦤ꧀ꦠꦭꦫꦺꦁꦏ
Bantålå
rengkå ("bumi
merekah")
T
m
d
re
ra
m
b
3 Katelu
(Manggasri)
Ketiga -
Semplah
25 Ags
– 18
Sept
(24
hari)
ꦱꦸꦠꦩꦤꦸꦠ꧀ꦲꦶꦁ
ꦧꦥ Sutå manut
ing båpå
("anak
menurut
bapaknya")
T
m
m
la
re
b
4 Kapat
(Sitra)
Labuh -
Semplah
19 Sept
– 13
Okt
(25
hari)
ꦮꦱ꧀ꦥꦏꦸꦩꦺꦩ꧀ꦧꦺꦁꦗꦿꦺꦴꦤꦶꦁ
ꦏꦭ꧀ꦧꦸ Waspå
kumembeng
jroning kalbu
("Air mata
menggenang
dalam kalbu"
> mata air
mulai
menggenang)
M
te
ra
b
b
k
b
b
5 Kalima
(Manggakala)
Labuh -
Semplah
14 Okt
– 9 Nov
(27
hari)
ꦥꦚ꧀ꦕꦸꦫꦤ꧀ꦩꦱ꧀ꦱꦸꦩꦮꦸꦂ
ꦲꦶꦁꦗꦒꦢ꧀
Pancuran mas
sumawur ing
jagad
("Pancuran
emas
menyirami
dunia")
M
h
p
ja
m
d
ul
b
la
d
le
d
k
b
6 Kanem
(Naya)
Labuh -
Udan
10 Nov
– 22
Des
(43
hari)
ꦫꦱꦩꦸꦭꦾꦏꦱꦸꦕꦶꦪꦤ꧀
Råså mulyå
kasuciyan
B
(d
ra
m
la
m
b
b
k
te
te
7 Kapitu
(Palguna)
Rendheng
- Udan
23 Des
– 3 Feb
(43
hari)
ꦮꦶꦱꦏꦺꦤ꧀ꦠꦶꦂꦲꦶꦁ
ꦩꦫꦸꦠ Wiså
kéntir ing
marutå
("Racun
hanyut
bersama
angin" >
banyak
penyakit)
B
b
y
8 Kawolu
(Wisaka)
Rendheng
-
Pangarep-
arep
4 Feb –
28/29
Feb
(26/27
hari)
ꦲꦚ꧀ꦗꦿꦃꦗꦿꦺꦴꦤꦶꦁ
ꦏꦪꦸꦤ꧀ Anjrah
jroning kayun
("Keluarnya isi
hati" > musim
kucing kawin)
M
k
m
ur
b
di
9 Kasanga
(Jita)
Rendheng
-
Pangarep-
arep
1 Mar –
25 Mar
(25
hari)
ꦮꦼꦝꦫꦶꦁꦮꦕꦤꦩꦸꦭꦾ
Wedharing
wacånå mulyå
("Munculnya
suara-suara
mulia" >
Beberapa
hewan mulai
bersuara
untuk
memikat
lawan jenis)
P
b
ja
m
to
g
b
b
m
m
m
gl
b
10 Kasepuluh
(Srawana)
Marèng -
Pangarep-
arep
26 Mar
– 18
Apr
(24
hari)
ꦒꦼꦝꦺꦴꦁꦩꦶꦤꦼꦧ꧀ꦗꦿꦺꦴꦤꦶꦁ
ꦏꦭ꧀ꦧꦸGedhong
mineb jroning
kalbu
("Gedung
terperangkap
dalam kalbu"
> Masanya
banyak hewan
bunting)
P
m
b
b
b
k
m
te
11 Desta
(Padrawana)
Marèng -
Panèn
19 Apr
– 11
Mei
(23
hari)
ꦱꦼꦱꦺꦴꦠꦾꦱꦶꦤꦫꦮꦺꦢꦶ
Sesotyå
sinåråwèdi
("Intan yang
bersinar
mulia")
B
m
m
a
k
m
12 Sada
(Asuji)
Marèng -
Terang
12 Mei
– 21
Juni
(41
hari)
ꦠꦶꦂꦠꦱꦃꦱꦏꦶꦁꦱꦱꦤ Tirtå
sah saking
sasånå ("Air
meninggalkan
rumahnya" >
jarang
berkeringat
karena udara
dingin dan
kering)
S
d
di
(b
Sejarah dan antropologi
Praktik pertanian sebelum 1960-an di Jawa
masih tergantung pada kebaikan alam dan " Dewi
Sri ".
Bentuk formal pranata mangsa diperkenalkan pada masa
Sunan Pakubuwana VII (raja Surakarta ) dan mulai dipakai
sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi
para petani pada masa itu. [6][7] Perlu disadari bahwa
penanaman padi pada waktu itu hanya berlangsung sekali
setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo . Selain itu,
pranata mangsa pada masa itu dimaksudkan sebagai
petunjuk bagi pihak-pihak terkait untuk mempersiapkan diri
menghadapi bencana alam, mengingat teknologi prakiraan
cuaca belum dikenal. Pranata mangsa dalam bentuk
"kumpulan pengetahuan" lisan tersebut hingga kini masih
diterapkan oleh sekelompok orang dan sedikit banyak
merupakan pengamatan terhadap gejala-gejala alam [1] .
Terdapat petunjuk bahwa masyarakat Jawa, khususnya yang
bermukim di wilayah sekitar Gunung Merapi , Gunung
Merbabu , sampai Gunung Lawu , telah mengenal prinsip-
prinsip pranata mangsa jauh sebelum kedatangan pengaruh
dari India. [8] Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari
di langit dan peredaran rasi bintang Waluku (Orion) [9] . Di
wilayah dengan tipe iklim Am menurut Koeppen ini,
penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran
matahari dan rasi bintang sebagai bagian dari keselarasan
hidup mengikuti perubahan irama alam dalam setahun [3]
[10] . Pengetahuan ini dapat diperkirakan telah diwariskan
secara turun-temurun sejak periode Kerajaan Medang
(Mataram Hindu) dari abad ke-9 sampai dengan periode
Kesultanan Mataram pada abad ke-17 sebagai panduan
dalam bidang pertanian, ekonomi , administrasi, dan
pertahanan (ke militeran) [3] .
Perubahan teknologi yang diterapkan di Jawa semenjak
1970-an, berupa paket intensifikasi pertanian seperti
penggunaan pupuk kimia , kultivar berumur genjah (dapat
dipanen pada umur 120 hari atau kurang, sebelumnya
memakan waktu hingga 180 hari), meluasnya jaringan irigasi
melalui berbagai bendungan atau bendung, dan terutama
berkembang pesatnya teknik prakiraan cuaca telah
menyebabkan pranata mangsa (dalam bentuk formal versi
Kasunanan) kehilangan banyak relevansi [11][3] . Isu
perubahan iklim global yang semakin menguat semenjak
1990-an juga membuat pranata mangsa harus ditinjau
kembali karena dianggap "tidak lagi dapat dibaca" [12] .
Kosmografi dan klimatologi
Rasi Orion ("Waluku", bintang bajak)
merupakan pedoman penting pada
pranata mangsa.
Pranata mangsa memiliki latar belakang kosmografi
("pengukuran posisi benda langit"), pengetahuan yang telah
dikuasai oleh orang Austronesia sebagai pedoman untuk
navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual kebudayaan.
Karena peredaran matahari dalam setahun menyebabkan
perubahan musim, pranata mangsa juga memiliki sejumlah
penciri klimatologis .
Awal mangsa kasa (pertama) adalah 22 Juni, yaitu saat
posisi matahari di langit berada pada Garis Balik Utara ,
sehingga bagi petani di wilayah di antara Merapi dan Lawu
saat itu adalah saat bayangan terpanjang (empat pecak /kaki
ke arah selatan). Pada saat yang sama, rasi bintang Waluku
terbit pada waktu subuh (menjelang fajar). Dari sinilah keluar
nama "waluku", karena kemunculan rasi Orion pada waktu
subuh menjadi pertanda bagi petani untuk mengolah sawah/
lahan menggunakan bajak (bahasa Jawa : waluku) [9] .
Panjang rentang waktu yang berbeda-beda di antara
keempat mangsa pertama (dan empat mangsa terakhir,
karena simetris) ditentukan dari perubahan panjang
bayangan. Mangsa pertama berakhir di saat bayangan
menjadi tiga pecak , dan mangsa karo (kedua) dimulai.
Demikian selanjutnya, hingga mangsa keempat berakhir di
saat bayangan tepat berada di kaki, di saat posisi matahari
berada pada zenit untuk kawasan yang disebutkan
sebelumnya (antara Merapi dan Lawu). Pergerakan garis
edar matahari ke selatan mengakibatkan pemanjangan
bayangan ke utara dan mencapai maksimum sepanjang dua
pecak di saat posisi matahari berada pada Garis Balik
Selatan (21/22 Desember), dan menandai berakhirnya
mangsa kanem (ke-6). Selanjutnya proses berulang secara
simetris untuk mangsa ke-7 hingga ke-12. Sebuah jam
matahari di Gresik yang dibuat pada tahun 1776 secara
eksplisit menunjukkan hal ini[13] .Mangsa ke-7 ditandai
dengan terbenamnya rasi Waluku pada waktu subuh [9] .
Beberapa rasi bintang, bintang, atau galaksi yang dijadikan
rujukan bagi pranata mangsa adalah Waluku , Lumbung
( Gubukpèncèng, Crux), Banyakangrem (Scorpius ), Wuluh
( Pleiades ), Wulanjarngirim (alpha - dan beta- Centauri), serta
Bimasakti [3] .
Batas-batas eksak tanggal pada pranata mangsa versi
Kasunanan merupakan modifikasi kecil terhadap pranata
mangsa yang sudah dikenal sebelumnya yang didasarkan
pada posisi benda-benda langit.
Secara klimatologi, pranata mangsa mengumpulkan
informasi mengenai perubahan musim serta saat-saatnya
yang berlaku untuk wilayah Nusantara yang dipengaruhi oleh
angin muson , yang pada gilirannya juga dikendalikan
arahnya oleh peredaran matahari. Awal musim penghujan
dan kemarau serta berbagai pertanda fisiknya yang
digambarkan pranata mangsa secara umum sejajar dengan
hasil pengamatan klimatologi. Kelemahan pada pranata
mangsa adalah bahwa ia tidak menggambarkan variasi yang
mungkin muncul pada tahun-tahun tertentu (misalnya akibat
munculnya gejala ENSO ). Selain itu, terdapat sejumlah
ketentuan pada pranata mangsa yang lebih banyak terkait
dengan aspek horoskop, sehingga cenderung tidak logis [3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar