soewarsomandalaputra

Senin, 21 Maret 2016

Ajaran syeh siti jenar

AJARAN SYEH SITI JENAR & KEJAWEN
Dalam Memandang Ketuhanan, Dosa/
Neraka, Pahala/Surga
PERBANDINGAN ANTARA
AJARAN SYEH SITI JENAR
Dan PANDANGAN KEJAWEN
Mengenai Ketuhanan, Alam, dan Manusia
Syeh Siti Jenar (Lemah Abang) dalam
Mengenal Tuhan
Ajaran Siti Jenar memahami Tuhan sebagai
ruh yang tertinggi, ruh maulana yang utama,
yang mulia yang sakti, yang suci tanpa
kekurangan. Itulah Hyang Widhi, ruh maulana
yang tinggi dan suci menjelma menjadi diri
manusia.
Hyang Widhi itu di mana-mana, tidak di
langit, tidak di bumi, tidak di utara atau selatan.
Manusia tidak akan menemukan biarpun keliling
dunia. Ruh maulana ada dalam diri manusia
karena ruh manusia sebagai penjelmaan ruh
maulana, sebagaimana dirinya yang sama-sama
menggunakan hidup ini dengan indera, jasad
yang akan kembali pada asalnya, busuk, kotor,
hancur, tanah. Jika manusia itu mati ruhnya
kembali bersatu ke asalnya, yaitu ruh maulana
yang bebas dari segala penderitaan. Lebih lanjut
Siti Jenar mengungkapkan sifat-sifat hakikat ruh
manusia adalah ruh diri manusia yang tidak
berubah, tidak berawal, tidak berakhir, tidak
bermula, ruh tidak lupa dan tidak tidur, yang
tidak terikat dengan rangsangan indera yang
meliputi jasad manusia.
Syeh Siti Jenar mengaku bahwa, “ aku adalah
Allah, Allah adalah aku ”. Lihatlah, Allah ada
dalam diriku, aku ada dalam diri Allah.
Pengakuan Siti Jenar bukan bermaksud
mengaku-aku dirinya sebagai Tuhan Allah Sang
Pencipta ajali abadi, melainkan kesadarannya
tetap teguh sebagai makhluk yang diciptakan
Tuhan. Siti Jenar merasa bahwa dirinya bersatu
dengan “ruh” Tuhan. Memang ada persamaan
antara ruh manusia dengan “ruh” Tuhan atau
Zat. Keduanya bersatu di dalam diri manusia.
Persatuan antara ruh Tuhan dengan ruh
manusia terbatas pada persatuan manusia
denganNya. Persatuannya merupakan persatuan
Zat sifat, ruh bersatu dengan Zat sifat Tuhan
dalam gelombang energi dan frekuensi yang
sama. Inilah prinsip kemanunggalan dalam
ajaran tentang manunggaling kawula Gusti atau
jumbuhing kawula Gusti. Bersatunya dua menjadi
satu, atau dwi tunggal . Diumpamakan wiji
wonten salebeting wit .
Pandangan Syeh Lemah Abang Tentang
Manusia
Dalam memandang hakikat manusia Siti Jenar
membedakan antara jiwa dan akal. Jiwa
merupakan suara hati nurani manusia yang
merupakan ungkapan dari zat Tuhan, maka
hati nurani harus ditaati dan dituruti
perintahnya . Jiwa merupakan kehendak Tuhan,
juga merupakan penjelmaan dari Hyang Widdhi
(Tuhan) di dalam jiwa, sehingga raga dianggap
sebagai wajah Hyang Widdhi. Jiwa yang berasal
dari Tuhan itu mempunyai sifat zat Tuhan yakni
kekal, sesudah manusia raganya mati maka
lepaslah jiwa dari belenggu raganya. Demikian
pula akal merupakan kehendak, tetapi angan-
angan dan ingatan yang kebenarannya tidak
sepenuhnya dapat dipercaya, karena selalu
berubah-ubah.
Menurut sabdalangit , perbedaan karakter jiwa
dan akal yang bertolak belakang dalam
pandangan Siti Jenar, disebabkan oleh adanya
garis demarkasi yang menjadi pemisah antara
sifat hakikat jiwa dan akal-budi. Jiwa terletak di
luar nafsu, sementara akal-budi letaknya berada
di dalam nafsu. Mengenai perbedaan jiwa dan
akal, dalam wirayat Saloka Jati diungkapkan
bahwa akal-budi umpama kodhok kinemulan ing
leng atau wit jroning wiji (pohon ada di dalam
biji). Sedangkan jiwa umpama kodhok angemuli
ing leng atau wiji jroning wit (biji ada di dalam
pohon).
Bagi Syeh Siti Jenar, proses timbulnya
pengetahuan datang secara bersamaan dengan
munculnya kesadaran subyek terhadap obyek.
Maka pengetahuan mengenai kebenaran Tuhan
akan diperoleh seseorang bersama dengan
penyadaran diri orang itu. Jika ingin mengetahui
Tuhanmu, ketahuilah (terlebih dahulu) dirimu
sendiri. Syeh Lemah bang percaya bahwa
kebenaran yang diperoleh dari hal-hal di atas
ilmu pengetahuan, mengenai wahyu dan Tuhan
bersifat intuitif. Kemampuan intuitif ini ada
bersamaan dengan munculnya kesadaran dalam
diri seseorang.
Pandangan Syeh Lemah Bang Tentang
Kehidupan Dunia
Pandangan Syeh Jenar tentang dunia adalah
bahwa hidup di dunia ini sesungguhnya adalah
mati. Dikatakan demikian karena hidup di dunia
ini ada surga dan neraka yang tidak bisa ditolak
oleh manusia. Manusia yang mendapatkan surga
mereka akan mendapatkan kebahagiaan,
ketenangan, kesenangan. Sebaliknya rasa
bingung, kalut, muak, risih, menderita itu
termasuk neraka. Jika manusia hidup mulia,
sehat, cukup pangan, sandang, papan maka ia
dalam surga. Tetapi kesenangan atau surga di
dunia ini bersifat sementara atau sekejap saja,
karena betapapun juga manusia dan sarana
kehidupannya pasti akan menemui kehancuran.
Syeh Jenar mengumpamakan bahwa manusia
hidup ini sesungguhnya mayat yang gentayangan
untuk mencari pangan pakaian dan papan serta
mengejar kekayaan yang dapat menyenangkan
jasmani. Manusia bergembira atas apa yang ia
raih, yang memuaskan dan menyenangkan
jiwanya, padahal ia tidak sadar bahwa semua
kesenangan itu akan binasa. Namun begitu
manusia suka sombong dan bangga atas
kepemilikan kekayaan, tetapi tidak menyadari
bahwa dirinya adalah bangkai. Manusia justru
merasa dirinya mulia dan bahagia, karena
manusia tidak menyadari bahwa harta bendanya
merupakan penggoda manusia yang
menyebabkan keterikatannya pada dunia.
Jika manusia tidak menyadari itu semua,
hidup ini sesungguhnya derita. Pandangan
seperti itu menjadikan sikap dan pandangan Siti
Jenar menjadi ekstrim dalam memandang
kehidupan dunia. Hidup di dunia ini adalah
mati, tempat baik dan buruk, sakit dan sehat,
mujur dan celaka, bahagia dan sempurna, surga
dan neraka, semua bercampur aduk menjadi
satu. Dengan adanya peraturan maka manusia
menjadi terbebani sejak lahir hingga mati .
Maka Syeh Siti Jenar sangat menekankan pada
upaya manusia untuk hidup yang abadi agar
tahan mengalami hidup di dunia ini. Siti Jenar
kemudian mengajarkan bagaimana mencari
kamoksan (mukswa/mosca ) yakni mati sempurna
beserta raganya lenyap masuk ke dalam ruh
(warongko manjing curigo ). Hidup ini mati,
karena mati itu hidup yang sesungguhnya karena
manusia bebas dari segala beban dan derita.
Karena hidup sesudah kematian adalah hidup
yang sejati, dan abadi.
Syeh Siti Jenar Mengkritik Ulama dan Para
Santrinya
Alasan yang mendasari mengapa Syeh Siti
Jenar mengkritik habis-habisan para ulama dan
santrinya karena dalam kacamata Syeh Siti,
mereka hanya berkutat pada amalan syariat
(sembah raga ). Padahal masih banyak tugas
manusia yang lebih utama harus dilakukan
untuk mencapai tataran kemuliaan yang sejati.
Dogma-dogma, dan ketakutan neraka serta bujuk
rayu surga justru membelenggu raga, akal budi,
dan jiwa manusia. Maka manusia menjadi
terkungkung rutinitas lalu lupa akan tugas-tugas
beratnya. Manusia demikian menjadi gagal
dalam upaya menemukan Tuhannya.
Kritik Syeh Lemah Bang Atas Konsep Surga-
Neraka
Konsep surga-neraka dalam ajaran Siti Jenar
berbeda sekali dengan apa yang diajarkan oleh
para ulama. Menurut Syeh Siti Jenar, surga dan
neraka adalah dalam hidup ini. Sementara para
ulama mengajarkan surga dan neraka
merupakan balasan yang diberikan kepada
manusia atas amalnya yang bakal diterima kelak
sesudah kematian (akherat).
Menurut Syeh Siti, orang mukmin telah keliru
karena mengerjakan shalat jungkir balik,
mengharap-harap surga, sedang surga sesudah
kematian itu tidak ada, shalat itu tidak perlu dan
orang tidak perlu mengajak orang lain untuk
shalat. Shalat minta apa, minta rizki ? Tuhan toh
tidak memberi lantaran shalat.
Santri yang menjual ilmu dengan siapa pun
mau menyembah Tuhan di masjid, di dalamnya
terdapat Tuhan yang bohong. Para ulama telah
menyesatkan manusia dengan menipu mereka
jungkir balik lima kali, pagi, siang, sore, malam
hanya untuk memohon-mohon imbalan surga
kelak. Sehingga orang banyak tergiur oleh
omongan palsunya, dan orang menjadi gelisah
tak enak ketika terlambat mengerjakan shalat.
Orang seperti itu sungguh bodoh dan tak tau diri,
jikalau pun seseorang menyadari bahwa shalat
itu dilakukan karena merupakan kebutuhan diri
manusia sendiri untuk menyembah Tuhannya,
manusia ternyata tidak menyadari
keserakahannya; dengan minta-minta imbalan/
hadiah surga. Orang-orang telah terbius oleh
para ulama, sehingga mereka suka berzikir, dan
disibukkan oleh kegiatan menghitung-hitung
pahalanya tiap hari. Sebaliknya, lupa bahwa
sejatinya kebaikan itu harus diimplementasikan
kepada sesama (habluminannas).
Lebih lanjut Syekh Siti Jenar menuduh para
ulama dan murid mereka sebagai orang dungu
dan dangkal ilmu, karena menafsirkan surga
sebagai balasan yang nanti diterima di akhirat.
Penafsiran demikian adalah penafsiran yang
sangat sempit. Hidup para ulama adalah hidup
asal hidup, tidak mengerti hakekat, tetapi jika
disuruh mati mereka menolak mentah-mentah.
Surga dan neraka letaknya pada manusia
masing-masing. Orang bergelimang harta,
hidupnya merasa selalu terancam oleh para
pesaing bisnisnya, tidur tak nyeyak, makan tak
enak, jalan pun gelisah, itulah neraka.
Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung
terpencil, hasil bercocok tanam cukup untuk
makan sekeluarga, menempati rumah kecil yang
tenang, tiap sore dapat duduk bersantai di
halaman rumah sambil memandang hamparan
sawah hijau menghampar, hatinya sesejuk
udaranya, tenang jiwanya, itulah surga.
Kehidupan ini telah memberi manusia mana
surga mana neraka.
Syeh Siti Jenar memandang alam semesta
sebagai makrokosmos dan mikrokosmos
(manusia) sekurangnya kedua hal ini merupakan
barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama
akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan
tidak abadi. Manusia terdiri atas jiwa dan raga
yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan zat
Tuhan.
Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa
yang dilengkapi pancaindera, sebagai organ
tubuh seperti daging, otot, darah, dan tulang.
Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah
barang pinjaman yang suatu saat, setelah
manusia terlepas dari kematian di dunia ini,
akan kembali berubah asalnya yaitu unsur bumi
(tanah).
Syeh Lemah Bang, mengatakan bahwa;
“ Bukan kehendak angan-angan, bukan ingatan,
pikiran atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan
pula kekosongan atau kehampaan. Penampilanku
sebagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku
dapat busuk bercampur debu, nafasku terhembus
di segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali
sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru .
Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan
seluruh manusia, manusialah yang memberi
nama ”.
Kesimpulan
Pandangan Syeh Lemah Bang; tentang
terlepasnya manusia dari belenggu alam
kematian yakni hidup di alam dunia ini, berawal
dari konsepnya tentang ketuhanan, manusia
dan alam. Manusia adalah jelmaan zat Tuhan.
Hubungan jiwa dari Tuhan dan raga, berakhir
sesudah manusia menemui ajal atau kematian
duniawi. Sesudah itu manusia bisa manunggal
dengan Tuhan dalam keabadian. Pada saat itu
semua bentuk badan wadag (jasad) atau
kebutuhan jasmanisah ditinggal karena jasad
merupakan barang baru (hawadist) yang dikenai
kerusakan dan semacam barang pinjaman yang
harus dikembalikan kepada yang punya yaitu
Tuhan sendiri.
Terlepas dari ajaran Siti Jenar yang sangat
ekstrim memandang dunia sebagai bentuk
penderitaan total yang harus segera ditinggalkan
rupanya terinspirasi oleh ajaran seorang sufi
dari Bagdad, Hussein Ibnu Al Hallaj, yang
menolak segala kehidupan dunia. Hal ini
berbeda dengan konsep Islam secara umum yang
memadang hidup di dunia sebagai khalifah
Tuhan.
Pandangan Kejawen Tentang Kehidupan di
Dunia
Pandangan Kejawen tentang makna hidup
manusia dunia ditampilkan secara rinci,
realistis, logis dan mengena di dalam hati
nurani; bahwa hidup ini diumpamakan hanya
sekedar mampir ngombe , mampir minum, hidup
dalam waktu sekejab, dibanding kelak hidup di
alam keabadian setelah raga ini mati. Tetapi
tugas manusia sungguh berat, karena jasad
adalah pinjaman Tuhan. Tuhan meminjamkan
raga kepada ruh, tetapi ruh harus
mempertanggungjawabkan “barang”
pinjamannya itu. Pada awalnya Tuhan Yang
Mahasuci meminjamkan jasad kepada ruh dalam
keadaan suci, apabila waktu “kontrak”
peminjaman sudah habis, maka ruh diminta
tanggungjawabnya, ruh harus mengembalikan
jasad pinjamannya dalam keadaan yang suci
seperti semula. Ruh dengan jasadnya diijinkan
Tuhan “turun” ke bumi, tetapi dibebani tugas
yakni menjaga barang pinjaman tersebut agar
dalam kondisi baik dan suci setelah kembali
kepada pemiliknya, yakni Gusti Ingkang Akaryo
Jagad . Ruh dan jasad menyatu dalam wujud yang
dinamakan manusia. Tempat untuk
mengekspresikan dan mengartikulasikan diri
manusia adalah tempat pinjaman Tuhan juga
yang dinamakan bumi berikut segala macam
isinya; atau mercapada . Karena bumi bersifat
“pinjaman” Tuhan, maka bumi juga bersifat
tidak kekal.
Betapa Maha Pemurahnya Tuhan itu,
bersedia meminjamkan jasad, berikut tempat
tinggal dan segala isinya menjadi fasilitas
manusia boleh digunakan secara gratis. Tuhan
hanya menuntut tanggungjawab manusia saja,
agar supaya menjaga semua barang pinjaman
Tuhan tersebut, serta manusia diperbolehkan
memanfaatkan semua fasilitas yang Tuhan
sediakan dengan cara tidak merusak barang
pinjaman dan semua fasilitasnya.
Itulah tanggungjawab manusia yang
sesungguhnya hidup di dunia ini; yakni menjaga
barang “titipan” atau “pinjaman”, serta boleh
memanfaatkan semua fasilitas yang disediakan
Tuhan untuk manusia dengan tanpa merusak,
dan tentu saja menjaganya agar tetap utuh, tidak
rusak, dan kembali seperti semula dalam
keadaan suci. Itulah “perjanjian” gaib antara
Tuhan dengan manusia makhlukNya. Untuk
menjaga klausul perjanjian tetap dapat
terlaksana, maka Tuhan membuat rumus atau
“aturan-main“ yang harus dilaksanakan oleh
pihak peminjam yakni manusia. Rumus Tuhan
ini yang disebut pula sebagai kodrat Tuhan;
berbentuk hukum sebab-akibat. Pengingkaran
atas isi atau “klausul kontrak” tersebut berupa
akibat sebagai konsekuensi logisnya. Misalnya;
keburukan akan berbuah keburukan, kebaikan
akan berbuah kebaikan pula. Barang siapa
menanam, maka mengetam. Perbuatan suka
memudahkan akan berbuah sering dimudahkan.
Suka mempersulit akan berbuah sering
dipersulit.
Konsep Kejawen Tentang Pahala dan Dosa
dan Pandangan Kejawen tentang Kebaikan-
Keburukan
Ajaran Kejawen tidak pernah menganjurkan
seseorang menghitung-hitung pahala dalam
setiap beribadat. Bagi Kejawen, motifasi
beribadat atau melakukan perbuatan baik
kepada sesama bukan karena tergiur surga.
Demikian pula dalam melaksanakan sembahyang
manembah kepada Tuhan Yang Maha Suci bukan
karena takut neraka dan tergiur iming-iming
surga. Kejawen memiliki tingkat kesadaran
bahwa kebaikan-kebaikan yang dilakukan
seseorang kepada sesama bukan atas alasan
ketakutan dan intimidasi dosa-neraka,
melainkan kesadaran kosmik bahwa setiap
perbuatan baik kepada sesama merupakan sikap
adil dan baik pada diri sendiri. Kebaikan kita
pada sesama adalah KEBUTUHAN diri kita
sendiri. Kebaikan akan berbuah kebaikan.
Karena setiap kebaikan yang kita lakukan
pada sesama akan kembali untuk diri kita
sendiri, bahkan satu kebaikan akan kembali
pada diri kita secara berlipat. Demikian juga
sebaliknya, setiap kejahatan akan berbuah
kejahatan pula. Kita suka mempersulit orang
lain, maka dalam urusan-urusan kita akan
sering menemukan kesulitan. Kita gemar
menolong dan membantu sesama, maka hidup
kita akan selalu mendapatkan kemudahan.
Menurut pandangan Kejawen, kebiasaan
mengharap dan menghitung pahala terhadap
setiap perbuatan baik hanya akan membuat
keikhlasan seseorang menjadi tidak
sempurna. Kebiasaan itu juga mencerminkan
sikap yang serakah, lancang, picik, dan tidak
tahu diri. Karena menyembah Tuhan adalah
kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Tuhan.
Mengapa seseorang masih juga mengharap-
harap pahala dalam memenuhi kebutuhan
pribadinya sendiri ? Dapat dibayangkan, jika kita
menjadi mahasiswa maka butuh bimbingan
dalam menyusun skripsi dari dosen pembimbing,
maka betapa lancang, serakah, dan tak tahu diri
jika kita masih berharap-harap supaya dosen
pembimbing tersebut bersedia memberikan uang
kepada kita sebagai upah. Dapat diumpamakan
pula misalnya; kita mengharap-harapkan upah
dari seseorang yang bersedia menolong kita..?
Ajaran Kejawen memandang bahwa
seseorang yang menyembah Tuhan dengan
tanpa pengharapan akan mendapat pahala
atau surga dan bukan atas alasan takut dosa
atau neraka, adalah sebuah bentuk
KEMULIAAN HIDUP YANG SEJATI. Sebaliknya,
menyembah Tuhan, berangkat dari kesadaran
bahwa manusia hidup di dunia ini selalu
berhutang kenikmatan dan anugrah dari Tuhan.
Dalam satu detik seseorang akan kesulitan
mengucapkan satu kalimat sukur, padahal dalam
sedetik itu manusia adanya telah berhutang
puluhan atau bahkan ratusan kenikmatan dan
anugerah Tuhan. Maka seseorang menjadi tidak
etis, lancang dan tak tahu diri jika dalam
bersembahyang pun manusia masih
menjadikannya sebagai sarana memohon
sesuatu kepada Tuhan. Tuhan tempat meminta,
tetapi manusia lah yang tak tahu diri tiada
habisnya meminta-minta. Dalam sikap demikian
ketenangan dan kebahagiaan hidup yang sejati
akan sangat sulit didapatkan.
Sembahyang tidak lain sebagai cara
mengungkapkan rasa berterimakasihnya kepada
Tuhan. Namun demikian ajaran Kejawen
memandang bahwa rasa sukur kepada Tuhan
melalui sembahyang atau ucapan saja tidak
lah cukup, tetapi lebih utama harus
diartikulasikan dan diimplementasikan ke
dalam bentuk tindakan atau perbuatan baik
kepada sesama dalam kehidupan sehari-
harinya. Jika Tuhan memberikan kesehatan
kepada seseorang, maka sebagai wujud rasa
sukurnya orang itu harus membantu dan
menolong orang lain yang sedang sakit atau
menderita.
Itu lah pandangan yang menjadi dasar
Kejawen bahwa menyembah Tuhan, dan
berbuat baik pada sesama, bukanlah
KEWAJIBAN (perintah) yang datang dari
Tuhan, melainkan diri kita sendiri yang
mewajibkan .
sabdalangit
ungkapan dari zat Tuhan, maka hati nurani
harus ditaati dan dituruti perintahnya . Jiwa
merupakan kehendak Tuhan, juga merupakan
penjelmaan dari Hyang Widdhi (Tuhan) di dalam
jiwa, sehingga raga dianggap sebagai wajah
Hyang Widdhi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu
mempunyai sifat zat Tuhan yakni kekal, sesudah
manusia raganya mati maka lepaslah jiwa dari
belenggu raganya. Demikian pula akal
merupakan kehendak, tetapi angan-angan dan
ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya
dapat dipercaya, karena selalu berubah-ubah.
Menurut sabdalangit , perbedaan karakter jiwa
dan akal yang bertolak belakang dalam
pandangan Siti Jenar, disebabkan oleh adanya
garis demarkasi yang menjadi pemisah antara
sifat hakikat jiwa dan akal-budi. Jiwa terletak di
luar nafsu, sementara akal-budi letaknya berada
di dalam nafsu. Mengenai perbedaan jiwa dan
akal, dalam wirayat Saloka Jati diungkapkan
bahwa akal-budi umpama kodhok kinemulan ing
leng atau wit jroning wiji (pohon ada di dalam
biji). Sedangkan jiwa umpama kodhok angemuli
ing leng atau wiji jroning wit (biji ada di dalam
pohon).
Bagi Syeh Siti Jenar, proses timbulnya
pengetahuan datang secara bersamaan dengan
munculnya kesadaran subyek terhadap obyek.
Maka pengetahuan mengenai kebenaran Tuhan
akan diperoleh seseorang bersama dengan
penyadaran diri orang itu. Jika ingin mengetahui
Tuhanmu, ketahuilah (terlebih dahulu) dirimu
sendiri. Syeh Lemah bang percaya bahwa
kebenaran yang diperoleh dari hal-hal di atas
ilmu pengetahuan, mengenai wahyu dan Tuhan
bersifat intuitif. Kemampuan intuitif ini ada
bersamaan dengan munculnya kesadaran dalam
diri seseorang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar