soewarsomandalaputra

Minggu, 22 Maret 2015

Ada ruh gentayangan atuuutt...

Jika kita mengetahui keberadaan roh–apakah di jasad, di langit, atau di bumi–apakah kemudian kita akan menjadi semakin rajin beribadah, atau kita menjadi semakin takut kepada Allah? Jika yang ditanyakan “Apakah roh orang yang zalim juga disiksa?”, mungkin bisa kita katakan bahwa pertanyaan tersebut termasuk pertanyaan yang wajar karena, boleh jadi, jawaban atas pertanyaan tersebut bisa menambah ketakwaan kita. Namun, tentunya tidak bermanfaat jika pertanyaan tentang keberadaan roh ini terkait dengan pemahaman yang salah di masyarakat. Oleh karena itu, Allah mencela sikap orang Yahudi yang bertanya tentang roh, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Isra`, ayat 85.

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Kedua, dari penjelasan di atas, bukan berarti bahwa para ulama tidak membahas masalah tempat roh setelah orangnya meninggal. Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar menjelaskan posisi roh setelah terpisah dari jasad (dalam buku Al-Yaumul Akhir, hlm. 102), dengan rincian sebagai berikut:

a). Roh para nabi.
Roh mereka berada di tempat tertinggi, bersama para malaikat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada detik-detik wafatnya, mengatakan, “Ar-Rafiiqul a’la (kumpulkanlah aku bersama sahabat terbaik yang berada di atas).”

b). Roh para syuhada.
Roh mereka berada di tembolok burung-burung hijau di surga. Burung ini memiliki sarang yang menggantung di bawah ‘Arsy, sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih riwayat muslim.

c). Roh orang mukmin yang saleh.
Roh mereka berada di tembolok burung (bukan burung berwarna hijau) yang bergelantungan di pohon-pohon surga, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ahmad yang dinilai sahih oleh Al-Albani.

d). Roh ahli maksiat (orang yang gemar bermaksiat).
Roh mereka berada di tempat mereka mendapat siksaan.
– Roh pezina berada di suatu lubang seperti tanur; bagian atasnya sempit, dan bagian bawahnya longgar. Dari bawah tanur ini dinyalakan api, kemudian mereka berlomba-lomba berebut naik ke atas.
– Roh orang yang makan hasil riba berada di sungai darah; dia berenang, berusaha menepi. Ketika hampir sampai ke tepi, dia dilempari batu, kemudian dia berbalik lagi ke tengah.
– Roh tukang bohong akan digantung, kemudian mulutnya dirobek sampai ke tengkuk.
Semua ini disebutkan dalam hadis sahih yang diriwayatkan Bukhari.

e). Roh orang kafir.
Roh mereka disiksa di alam kubur, dengan siksaan yang pedih. Dia dipukul dengan gadha oleh sosok makhluk yang buta lagi tuli. Andaikan gadha itu dipukulkan ke gunung, niscaya gunung tersebut akan menjadi tanah. Ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat An-Nasa’i. Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits, dari Dewan Pembina Konsultasi Syariah.
Artikel www.KonsultasiSyariah.co

Leak

Sedikit Artikel Mengenai LEKA,

Kata leak sudah mendarah daging di benak masyarakat hindu di Bali atau asal Bali yang tinggal di perantauan sebab kata-kata ini sangat sering kita dengar dan membuat bulu kuuk merinding atau hanya sekedar ga berani keluar malam gara-gara kata "leak" ini. Begitu juga keributan sering terjadi antar tetangga gara-gara seorang nenek di sebelah rumah di tuduh bisa ngeleak…ironisnya lagi yang menyebut si A atau B bisa ngeleak adalah sekelas balian sonteng, dan sebangsanya. Bahkan bayi menangis tengah malam, yang mungkin kedinginan atau perut kembung yang tidak di ketahui oleh ibunya, juga tuduhannya pasti "amah leak" apalagi kalau yang bilang balian sakti, wah…pasti tokcer..

Sedemikian parahkah, atau sangat saktikah leak tersebut, dan kalausaya tanya kepada pembaca semua pernahkah melihat leak, atau paling tidak mayat leak…paling yang ada mayat manusia… Apakah hal itu tidak lebih sebuah anggapan yang perlu di telusuri kebenarannya, sebab arti kata leak itu sendiripun kita jarang yang tahu… Asumsi kita tentang leak paling-paling rambut putih dan panjang, gigi bertaring, mata melotot, dan identik dengan wajah seram.. Hal inilah yang membuat kita semakin tajam mengkritik leak dengan segala sumpah serapah, atau hanya sekedar berpaling muka bila ketemu dengan orang yang bisa ngeleak…

Pada dasarnya ilmu leak adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut dengan leak, yang ada adalah " LIYA, AK yang berarti lina aksara ( memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu). Kekuatan aksara ini disebut panca gni aksara, siapapun manusia yang mempelajari kerohanian merk apapun apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya ( aura). Cahaya ini bisa keluar melalui lima pintu indra tubuh , telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan. Pada umumya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut, sehingga apabila kita melihat orang ngelekas di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.

Pada prinsipnya ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang, yang di pelajari adalah bagaimana dia mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo, kata ngelekas artinya kontraksi batin agar badan astral kita bisa keluar, ini pula alasannya orang ngeleak apabila sedang mempersiapkan puja batinnya di sebut "angeregep pengelekasan". Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum di sebut "ndihan" bola cahaya melesat dengan cepat. Ndihan ini adalah bagian dari badan astral manusia, badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain.

Jangan salah… dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya, sebab tidak semua orang bisa melihat ndihan, juga tidak sembarangan berani keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak. Peraturan yanglain juga ada seperti tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati, oang ngeleak hanya shopingnya di kuburan ( pemuhunan) apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya, begini bunyi doanya leak memberikan berkat, "ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta, mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahutama, ong rang sah, prete namah.." sambil membawa kelapa gading untuk dipercikkan sebagai tirta. Nah..di sinilah ada perbedaan pandangan bagi orang awam dikatakan leak ke kuburan memakan mayat, atau meningkatkan ilmu.

KENAPA HARUS DI KUBURAN…

Paham leak adalah apapun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan. Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat yang tersuci selain di kuburan, kenapa demikian di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit, bagi penganut tantric bermeditasi di kuburan di sebut meditasi "KAVALIKA". Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang meyeramkan, ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar "tatwaning ulun setra" sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang paling baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa. Sang Buda kecapi, Mpu kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan, di Jawa tradisi ini di sebut " TIRAKAT. Di Bali ada beberapa daerah yang terkesan lucu mengganggap kuburan adalah tempat sebel, leteh, ketika ada orang meninggal, atau ngaben, tidak boleh sembahhyang ke pura karena sebel, padahal.. kalau ngaben kita juga mengahaturkan panca sembah kepada Hyang Widi di kuburan, lantas di mana letak beda sebel Pura dan sebel kuburan bagi TUHAN ? itu hanya awig-awig manusia. Leak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari, ada tujuh tingkatan leak, leak barak (brahma) ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api, leak bulan, leak pemamoran, leak bunga, leak sari, leak cemeng rangdu, leak siwa klakah, leak siwa klakah inilah yang tertinggi, sebab dari ke tujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya. Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu, di sinilah penganut leak sering kecele, ketika emosinya labil ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan, sama halnya seperti pistol salah pakai berbahaya. Makanya kestabilan emosi sangat penting, dan di sini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.

BEDA PENESTIAN, PENGIWA, DAN LEAK.

Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut "penestian" ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam ini disebut " PENGERANCAB". Adapun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi, setelah emosi barulah dia bereaksi, jadi emosi dijadikan pukulan balik bagi penestian. Dalam ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana, termasuk aji nomoto, he..he.. Aliran ini disebut "pengiwa' ( tangan kiri) kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energy dari belahan badan kiri. Sedangkan ilmu leak dari tangan kanan, makanya disebut penengen ( tangan kanan). Pengwia banyak menggunakan rajah-rajah ( tulisan mistik) juga dia pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan dijamin tidak bisa dirontgen dan di lab, dan yang paling canggih adalah cetik ( racun mistik). Dan aliran ini bertentangan dengan pengeleakan, apabila perang beginilah bunyi mantranya, "ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan segara gni..bla..bla…". Jadi kesimpulannya adalah leak tidak perlu di takuti, tidak ada leak yang menyakiti, takutlah terhadap pikiran picik, dengki, sombong, pada diri kita sebab itu sumber pengiwa dalam tubuh kita. Bila tidak diantisipasi tekanan darah jadi naik, dan penyakit tiga S akan kita dapat, Stres, Stroke, Setra. Pada hakekatnya tidak ada ilmu putih dan hitam semua itu hati yang bicara, boleh jadi dasar ilmu yang di anut hitam, namun digunakan untuk kebaikan, dan sangat tercela dasar ilmu putih kita gunakan untuk kejahatan. Sama halnya seperti hipnotis, bagi psikiater ilmu ini untuk penyembuhan, tapi bagi penjahat ilmu ini untuk mengelabui serta menipu seseorang, tinggal kebijaksanaan kita yang berperan. Pintar, sakti, penting namun..ada yang lebih penting adalah kebijaksanaan akan membawa kita berpikir luas, dari pada mengumpat serta takut pada leak yang belum tentu kita ketemu tiap hari.

Sebelum seorang belajar ilmu leak terlebih dahulu harus diketahui otonan orang tersebut ( hari lahir versi Bali) hal ini sangat penting, karena kwalitas dari ilmu yang dianut bisa di ketahui dari otonanya, satu contoh apabila murid mempunyai otonan SUKRA PON MEDANGSIA berarti dewanya adalah Brahma, otomatis karakter orang tersebut cendrung emosional dalam hal apapun, dan digandrungi perempuan, nah..sang guru harus hati-hati memberikan pelajaran ini kalau tidak murid akan celaka oleh ilmu tersebut.

Setelah diketahui barulah proses belajar di mulai, pertama-tama murid harus mewinten Brahma widya, dalam bahasa lontar NGERANGSUKAN KAWISESAN, dan hari baik pun tentunya dipilih oleh sang GURU.Tahap dasar murid diperkenalkan dengan AKSARA WAYAH atau MODRE, dalam hal ini tidak bisa dieja aksara tersebut BAKU !!! Selajutnya murid diRajah seluruh tubuh dari atas sampe bawah...oleh sang guru, hal ini di lakukan di KUBURAN pada saat kajeng kliwon nyitan.

SUMPAH...

Selesai dari proses ini barulah sang murid sah diajarkan oleh sang guru, ada 5 sumpah

yang dilakukan di kuburan : 1 hormat dan taat dengan ajaran yang di berikan oleh guru 2 Selalu melakukan ajapa-ajapa dan menyembah SIWA Dan DURGA dalam bentuk ilmu kawisesan, 3 tidak boleh pamer kalau tidak kepepet, selalu menjalankan darma, 4 tidak boleh makan daging kaki empat, tidak boleh bersetubuh ( zina) 5 tidak boleh menyakiti atau dengan carapapun melalui ilmu yang kita

pelajari...

Mungkin karena peraturan no 4 ini sangat ditakuti akhirnya kebanyakan ilmu ini di pelajari oleh perempuan, sebab perempuan lebih kuat menahan nafsu birahi dari laki-laki. Di Bali yang namanya Rangda selalu indentik dengan wajah seram, tapi di jawa di sebut RONDO berarti janda, inilah alasanya kenapa dahulu para janda lebih menguasai ilmu pengeleakan ini dari pada laki-laki, dikarenakan wanita lebih kuat nahan nafsu... Pada dasarnya kalau boleh

saya katakan ilmu ini berasal dari tanah Jawa, campuran aliran SIWA dan BUDHA, yang di sebut dengan BAJRAYANA.

TINGKATAN PELAJARAN...

Tingkat satu kita diajari bagaimana mengendalikan pernafasan, di bali dan bahasa lontar di sebut MEKEK ANGKIHAN, atau PRANAYAMA.

Tingkat dua kita diajarkan VISUALISASI, dalam ajaran ini di sebut " NINGGALIN SANGHYANG MENGET"

Tingkat tiga kita diajar bagaimana kita melindungi diri dengan tingkah laku yang halus serta tanpa emosi dan dendam, di ajaran ini di sebut "PENGRAKSA JIWA.

Tingkat empat kita di ajar kombinasi antara gerak pikiran dengan gerak tubuh, dalam bahasa yoga di sebut MUDRA, karena mudra ini berupa tarian jiwa akhirnya orang yang melihat atau yang nonton di bilang " NENGKLENG ( berdiri dengan kaki satu ).

Mudra yang kita pelajari persis seperti tarian siwa nata raja.

Tingkat empat barulah kita diajar MEDITASI, dalam ajaran pengeleakan disebut " NGEREGEP, yaitu duduk bersila tangan disilangkan di depan dada sambil mengatur pernafasan sehingga pikiran kita tenang...atau ngereh, dan ngelekas..

Tingakat lima kita di ajarkan bagaimana melepas roh ( MULIH SANGHYANG ATMA RING BAYU SANDA IDEP ) melalui kekluatan pikiran dan batin dalam bahasa sekarang disebut LEVITASI, berada di luar badan. Pada saat levitasi kita memang melihat badan kita terbujur kaku tanpa daya namun kesadaran kita sudah pindah ke badan halus, dan di sinilah orang disebut berhasil dalam ilmu leak tersebut, namun..ini cukup berbahaya kalau tidak waspada dan kuat iman serta mental kita akan keliru, bahkan kita bisa tersesat di alam gaib. Makanya kalau sampai tersesat dan lama bisa mati, ini disebut mati suri, maka begawadgita benar sekali, ( apapun yang kamu ingat pada saat kematian ke sanalah kamu sampai...dan apapun yang kamu pikirkan begitulah jadinya )

Tentu dalam pelajaran ini sudah pasti dibutuhkan ketekunan, puasa, berbuat baik, sebab ilmu ini tidak akan berhasil bilamana dalam pikiran menyimpan perasaan dendam, apalagi kita belajar ilmu ini untuk tujuan tidak baik saya yakin tidak akan mencapai tujuannya. Kendati demikian godaan selalu akan datang seperti, nafsu sek meningkat, ini alasanya kenapa tidak boleh makan daging kaki empat, dan kita diajurkan tidur di atas jam 12 malam agar konisi agak lemah sehingga nafsu sek berkurang..kata guru saya kalau ada orang mempelajari leak tidur sore-sore disebut LEAK SANJE didoktrin, padahal menurut saya agar kondisi agak lemah saja. Dan tengah malam tepat jam 12 kita diwajibkan untuk meditasi sambil mencoba melepas roh, tapi di ajurkan yang deket-deket dulu, jangan coba-coba shoping ke MONAS dari BALI...he,he.. yach...paling-paling ke parit, sawah, atau ke sungai,..

Celakanya apabila kita melepas ROH pas lewat di rumah tetangga yang sedang mempunyai BAYI otomatis bayi tersebut pasti terbangun dan menagis teriak-teriak, hal ini disebabkan frekwensi bayi sama seperti kita. sebab bayi masih peka banget. Bayi tersebut tidak takut cuma kaget aja ada SEPLETERAN yang lewat, kayak handphone adu signal n blenggg...inilah yang dikatakan sama orang awam bahwa bayi itu di " AMAH LEAK" padahal tidak. Maka dari itu dalam dunia leak, ada aturan dilarang keras untuk lewat atau berada di keluraga yang mempunyai bayi untuk melepas ROH..( ngelekas, ngereh, ). Nah...bagi yang jahil tidak tertutup kemungkinan melepas roh dan mondar mandir di depan rumah orang yang punya bayi, ini yang sering terjadi di BALI, sehingga leak namanya rusak banget dan di tuduh nyakitin. Apalagi ada orang sakit keras, kita iseng lewat atau sekedar jenguk melalui ROH sudah dipastikan orang tersebut kaget dan bisa jadi denyut jantung berhenti, alhasil MATI inilah hal-hal yang oleh orang awam di katakan bahwa leak itu jahat...makanya sang balian yang bijak akan memagari rumah orang sakit atau yang punya bayi itu dengan aksara tertentu, yang artinya sebagai simbul PARA PENGANUT LEAK DILARANG MASUK !!!

Apabila ini di langgar perang atara leak dan balian pun terjadi masalah kalah dan menang tergantung sapa yang mumpuni, disini tidak lagi berbicara dari fakultas mana, atau universitas mana tapi sudah PERANG...KAWISESAN>>> Nah inilah yang sering terjadi di Bali yang di sebut dengan SIAT PETENG, pada umumnya dari pihak leak yang sering kalah, sebab leak tidak mempelajari ilmu menyerang..namun ilmu bertahan, sedangkan balian bisa saja ngiwa tengen, positif negatif..udah pasti dia yang menang, nyakitin bisa, ngobati juga bisa, ini yang di sebut balian ngiwa tengen...

Pada umumnya, penganut ilmu leak ( ngisinin jengah) ..terpacing emosi, inilah kelemahanya apabila itu terjadi sudah dipastikan ilmu hitam yang menang sebab emosi adalah makanan ilmu hitam... Kalau penganut ilmu leak memegang teguh janjinya dia tidak akan berontak bilamana terpancing emosinya, malah dia mendoakan dan memaafkan sudah pasti dia yang menang..sebab itulah dasar ilmu leak tersebut, sabar dan darma untuk mencapai tujuan.

SANGKEPAN LEAK....

Kata ini juga sering kita denger sehingga timbul pertanyaan apakah LEAK ada rapatnya, atau REUNI, serta bagi ibu-ibu ARISAN LEAK, TEMPEK INI, DAN ITU, he,he,hahhha.. Yang bener adalah dalam dunia leak sama seperti perkumpulan spiritual, pada hari-hari tertentu pada umumnya KAJENG KLIWON, kaum leak mengadakan puja bakti bersama memuja SIWA, DURGA, BERAWI, biasanya di pura dalem atau di Kuburan, Prajapti..dalam bentuk NDIHAN, bukan kera, anjing, dan lain-lain.

Saya tekankan lagi sekali ilmu leak bukan ilmu merubah wujud, jadi kalu ada yang bilang melihat KERA, PITIK BEGIL dan lain-lain itu yang melihat kena sihir, akibat biasa nonton PERCAYA GA PERCAYA, atau UJI NYALI... jadi kata sangkepan leak bisa dibenarkan namun..sesungguhnya bukan rapat tapi puja bakti, hanya itu !!! dan hal ini sekarang sudah langka baget..sebab para leak udah pindah ke kota semua he..he..apalagi sekarang banyak LEAK MATAH...he,he, berbuat jahat mengatasnakaman kebenaran tuk mencapai tujuan

KEKUATAN LEAK TERLETAK PADA SIHIRNYA...

Baru-baru ini saya dishoting oleh stasiun TV Saswta Jakarta , dan maaf saya tidak sebutkan, sebagai uji coba bisa ga di shot oleh kamera. Saya tahu beberapa orang yang mencela serta apriori dengan ilmu leak, terutama kru TV tersebut, di sinilah kelemahan orang tersebut bagi saya...lalu saya suruh menatap mata saya, dan baca mantra..abrakedabra...tiga kru TV lari..sambil menjerit...katanya dia melihat saya kayak patung Rangda, yang kebetulan sebelum shoting saya ajak ke pasar SUKAWATI untuk liat-liat patung-patung meyeramkan itu...he,he he..sedangkan ada lagi 3 orang yang saya tahu imannya cukup bagus, dia melihat saya biasa-biasa aja....

Makanya tidak gampang NGELEAKIN ORANG, apalagi orang tersebut kuat iman, rajin meditasi, berdoa, sampe berbuih pun mulut kita komat-kamit baca mantra, gak bisa bikin takut, paling-paling diledekin, kok tidak berubah....he he he he..

Makanya cobalah SEMETON tanya dan kumpulkan 10 orang pernahkah mendengar leak..jawbnya PERNAHHHHHHH...pernakah melihat leak..TIDAKKKKKKKK...tidak setiap orang mampu melihat leak dan tidak setiap leak berkuasa atas diri orang lain.

DASA AKSARA BUKAN DASAR ILMU LEAK...

Pernah mendengar dasa aksara atau yang umum di jabarkan sebagai berikut, SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG. ilmu ini adalah dasar dari sepuluh prana atau DASA BAYU.. dasa aksara ini mempunyai arti memuliakan dewa SIWA, seperti SAGORA, BAMADEWA, TATPURUSHA..dan selanjutnya. Dasa aksara ini murni dibawa oleh aliran SIWA SHIDANTA dan bagian untuk mencapai pencerahan batin melalui aksara tersebut, hasilnya hampir mirip sama-sama mengeluarkan CAHAYA namun tidak spesifik..Sedangkan PANCA GNI WIJAKSARA, sangat spesifik sekali, SAYANG...SEMETON..saya tidak berani katakan sebab ini bagian dari sumpah saya...untuk tidak mengatakan hal ini, kecuali semeton mau belajar...he,he...

Dasa aksara lebih banyak akan mengakses kedunia kerohanian bukan KEWISESAN(KEBIJAKSANAAN) ...sehingga dasa akasara ini akan mencapai puncaknya apabila seseorang memurnikan batinya melalui dasa yama brata, dan ini murni ilmu krohanian...

Jadi demikian semeton yang bisa saya sampaikan, mudah mudahan tulisan ini menambah wawasan di bidang ilmu leak sehingga besok-besok kita tidak MILU_MILU TUWUNG mengatakan LEAK itu jahat..atau tanpa tahu sebabnya kita getok KULKUL supaya banjar datang tuk menggerebeg orang yang di katakan bisa NGELEAK. Seperti kata semeton juga, YA SAKTI SANG SAJANA DARMA RAKSAKA, orang yang bijaksana pasti berpegang teguh pada DARMA, dan orang yang berpegang darma sudah pasti bijaksana.

Orang yang sakti belum tentu suci hatinya, namun orang yang suci sudah pasti SAKTI tingkah lakunya, jaman sekarang sulit membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, kecuali bertanya pada kedalaman hati kita masing-masing... sebuah lentera akan padam apinya, apabila minyaknya megering, namun jangan pernah padamkan api rohani n kebersamaan melalui persahabatan...

Ruwatan

Ruwatan merupakan salah satu dari sekian banyak upacara tradisional Jawa peninggalan para leluhur. Upacara ritual ruwatan di Jawa menggunakan lakon Murwakala yang mengambil tokoh utama Bathara Kala. Dalam filosofi Jawa, ada orang-orang Sukerta yang dianggap  memiliki potensi untuk ingkar terhadap Tuhan. Mereka dikatakan akan dimakan waktu yang disimbolkan dengan Bathara Kala. Di dunia ini ada yang selalu berputar dan bergerak maju. Jika kita menyepelekannya, maka kita akan dilibasnya habis. Itulah sang waktu. Hakekat hidup kita adalah bahwa  kita harus menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya untuk berbuat kebajikan agar tidak terlibas oleh sang waktu.

Siapa saja yang termasuk bocah sukerta?
Pedoman tentang siapa saja  yang menjadi sasaran  Bathara Kala adalah Serat Murwakala dan Serat Pustaka Raja yang jumlahnya mencapai 171 macam anak. Anak-anak tersebut dianggap kotor, maka harus dibebaskan dengan upacara ruwatan. Daftar anak sukerta antara lain adalah :
1.      Ontang-anting, yaitu anak tunggal
2.      Kadana kadini, yaitu dua anak bersaudara laki-laki dan perempuan
3.      Kembar, yaitu dua anak keluar bersamaan dalam sehari
4.      Jumpita, yaitu bayi lahir belum waktunya (premature)
5.      Uger-uger lawang, yaitu dua putra bersaudara
6.      Sendang kapit pancuran, yaitu tiga bersaudara satu perempuan di tengah.
7.      Pancuran kapit sendang, yaitu tiga bersaudara satu laki-laki di tengah
8.      Saramba, yaitu empat bersaudara laki-laki semua
9.      Sarimpi, yaitu empat saudara puteri semua
10.  Siwah, yaitu anak idiot, dll
Pada dasarnya hampir semua jenis anak mendapatkan sukerta dan harus diruwat. Hal ini menandakan bahwa manusia perlu untuk selalu mengingat sang waktu yang senantiasa berjalan tak henti. Pepatah Arab menyatakan waktu laksana pedang, jika tidak mampu menggunakannya dengan baik maka pedang tersebut akan melibas kita. Tentunya upacara ruwatan yang dipaparkan disini berbeda dengan ruwatan yang dilaksanakan pada jaman sekarang yang biasanya dilakukan oleh seorang dalang sejati atau dalang kondho buwono. Namun esensi dari ruwatan Jawa adalah sebagaimana mendidik dan mengarahkan anak untuk dapat menggunakan hidupnya dengan sesuatu yang positif, sehingga berguna bagi bangsa, negara dan agama.
Kecuali hal tersebut diatas, ada yang perlu diruwat karena perbuatan-perbuatan tercela  yang dilakukan, misalnya :
-         Orang-orang yang tidak pernah menanam benih, akan cepat menimbulkan kerusakan dunia, tidak tahu balas budi
-         Orang yang tidak pernah memberi, akan merusak hubungan social, orang harus timbal balik dengan sesamanya
-         Orang yang selalu bertengkar, orang harus berperasaan lembut, mau berempati terhadap orang lain dan mengoreksi diri sendiri
-         Orang tidak pernah menyapu, tidak menjaga kebersihan dan membahayakan kesehatan
-         Orang yang ceroboh, membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain
-         Orang yang kaya akal tapi licik
-         Orang yang tidak setia dan mau enaknya sendiri
Daftar di atas hanyalah sebagian kecil dari segala perilaku kita yang tercela. Oleh karena itu perlu untuk diingatkan. Orang Jawa mempunyai cara tersendiri untuk menerapkan pendidikan dalam kehidupan bersosial. Cara terselubung sangat biasa digunakan oleh orang Jawa untuk menyatakan sesuatu dengan secara tidak langsung. Upacara ruwatan merupakan cara terselubung untuk memberi pendidikan terhadap anak sukerta dan orang-orang yang melakukan perbuatan tercela agar senantiasa berbuat baik untuk keselamatan diri sendiri dan orang lain

Manunggaling kawula lan gusti

MANUNGGALING KAWULA LAN GUSTI MELALUI NGELMU SANGKAN PARANING DUMADI DAN NGELMU KESEMPURNAAN

A. PENDAHULUAN
1. Untuk menjawab”misteri” tentang “Manungggaling Kawula lan Gusti” terlebih dahulu menelusuri dan memahami beberapa petunjuk “laku” yang perlu diketahui terlebih dahulu sebagai pengetahuan dasar, agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian serta salah perilaku yang harus dipahami dan dimengerti benar-benar teori “laku” untuk mencapai tataran :”Manunggaling Kawula lan Gusti” (menyatunya insane dengan Tuhan Yang Maha Esa). Pada umumnya orang akan mengatakan tidak mungkin, dengan berbagai dalih dan argumentasi. Namun bagi manusia yang telah “Tinar Buka” dan memperoleh petunjuk dari pinisepuh yang telah mumpuni (menguasai ngelmu tersebut) maka kemungkinan itu dipastikan ada dan bias sebab manusia diberikan pengetahuan sedikit tentang rahasia Tuhan. Perbedaan pendapat mengenai hal tersebut pasti ada di samping ada yang bersikap dogmatis.
2. Di sini kita akan mencoba membahas berbagai pengertian dasar yang dikutip dari berbagai kitab suci Al-Qur’an, Kitab Suci Injil, Kitab Suci Weda, dan Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Kaweruh). Ternyata dari sumber-sumber tersebut mempunyai persamaan persepsi. Dengan demikian memberi petunjuk kepada umat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna khususnya bangsa Indonesia melalui leluhur kita yang mewariskan “Ngelmu Adiluhung” kepada kita, sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai dan sejahtera abadi. Karena adanya persepsi yang sama, tujuan yang sama, maka kerukunan antar umat beragama, kerukunan antar pengahayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta kerukunan antar umat beragama dengan penganut kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat diciptakan di Indonesia karena adanya saling pengertian dan kesadaran sebagai sesame umat Tuhan Yang Maha Esa dengan segala ciptaannya. Agama dan Ngelmu Kejawen mempunyai tujuan yang sama, ialah iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan “Ngelmu Kejawen” dilanjutkan dengan “Manunggaling Kawula Lan Gusti”
3. Para leluhur kita dengan buku tuntunan “WEDHA TAMA” telah memberi petunjuk dengan bentuk tembang PUCUNG sebagai berikut : “Ngelmu iku kelakone kanti laku, lekase lawan khas, tegese khas nyantosani, setya budya, pengikise dur angkara” yang artinya (bahwa untuk menguasai ngelmu (ilmu kebatinan dan kesempurnaan) pelaksanaannya / cara mempelajarinya harus dengan ‘laku’ latihan fisik (jasmani dan rohani). Budi yang halus akan mengalahkan watak angkara murka).
4. Adakah ‘Ngelmu’ dan ‘Laku’ untuk mempelajari cara-cara untuk “Menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ngelmu Manunggaling Kawula lan Gusti”? kiranya tidak berlebihan apabila diketengahkan tulisan ini terlebih dahulu mempelajari beberapa macam ajaran, di antaranya :
 Memahami ngelmu sangkan paraning dumadi
 Memahami ngelmu kesempurnaan
 Memahami dan mendalami ngelmu “manunggaling kawula lan gusti”
Dengan penjelasan ini maka cukuplah sebagai pendahuluan, kemana dan dari mana ’ngelmu’ tersebut sampai paham benar dan mengerti arahnya, sehingga tidak tumpang tindih/tumpangsuh, sehingga dapat benar-benar menguasai ‘ngelmu’ tersebut dengan sebaik-baiknya.

B. MEMAHAMI JATIDIRI BERTOLAK DARI NGELMU SANGKAN PARANING DUMADI
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna yang terdiri dari unsur :
– BADAN JASMANI
– BADAN ROHANI (ROH)
Dengan rincian penjelasan sebagai berikut :
• BADAN JASMANI
Badan jasmani terdiri dari 4 (empat) macam unsur sari dari :
1) Sari Bumi / Tanah
2) Sari Api / Panas
3) Sari Air
4) Sari Angin / Nafas
Badan jasmani tersebut oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dianugerahi panca indera sebagai alat komunikasi antara lain :
– Pendengaran melalui telinga
– Pengucap melalui mulut
– Penglihatan melalui mata
– Penciuman melalui hidung
– Perasa/perasaan melalui saraf otak
Badan jasamani tersebut oleh Tuhan Yang Maha Mulia diberi 4 (empat) macam nafsu :
1) Dari unsur Sari Bumi/Tanah : menumbuhkan unsur nafsu LAUWAMAH, yang memiliki sifat jail, serakah, mala, tamak dan sejenisnya.
2) Dari unsur Sari Api/Panas : menumbuhkan unsur nafsu AMARAH yang memiliki sifat beringas, mudah tersinggung, bertindak kekerasan, gelap mata dan lain sebagainya
3) Dari unsur Sari Air : menumbuhkan unsur SUFIAH dimana menumbuhkan hasrat keinginan untuk asmara, meminum minuman keras atau molimo (madat, main, minum, maling, madon) dan sejenisnya.
4) Dari unsur Udara/Nafas : menumbuhkan unsur MUTMAINAH yang memiliki watak narimo, watak suci, watak berbakti, watak kasihan, suka menolong dan lain-lain.
Kedua kelengkapan badan jasmani (panca indera dan nafsu) ini hanya merupakan pelengkap sarana penggerak yang belum sempurna. Padahal manusia diciptakan Tuhan yang paling sempurna, apa kekurangannya?

• BADAN ROHANI
Dalam badan rohani terdapat dua lapis yang terdiri dari Badan Rokh dan Cahaya Tuhan (Nur Muhammmad, lintang tagih, lintang johar, Nur Illahi dan sukma sejati) yang hidup tan kena ing pati. Untuk memperkuat dan meyakinkan kita semua, maka khususnya mengenai badan rohani tersebut dipersilahkan membaca ayat-ayat Kitab Suci antara lain :
1) Baca Al Isra’ (17 ayat 85) yang artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ROKH, katakanlah ROKH itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit saja”. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan manusia tentang Rokh sangatlah sedikit, sangat terbatas, karena merupakan rahasia Tuhan Sang Pencipta Alam semesta dengan segala isinya.
2) Baca Al Hijr (15 ayat 29) yang artinya berbunyi “ Maka apabila aku tekah menyempurnakan dan telah meniupkan kedalam Rokh (ciptaan-Ku), maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud/ bersembahyang.
3) Baca Qaaf (50 ayat 16) : “Dan sesungguhnya Kami telah ciptakan manusia dan mengetahui apa yang telah dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat nadi lehernya” (Utusan Tuhan bersemayam di tempat dekat urat nadi leher manusia, dengan bukti penggerak sepanjang hidupnya). Jadi di samping rokh ada sesuatu yang ditiupkan oleh Tuhan kedalam Rokh yaitu Cahaya Tuhan (Nur Muhammmad, Nur Cahaya, lintang tagih, lintang johar, Nur Illahi dan sukma sejati)
4) Dapat disimpulkan bahwa meskipun manusia hanya diberi pengetahuan sedikit oleh Tuhan tentang rokh, namun dapat disimpulkan bahwa rokh yang bersemayam di dalam tubuh manusia adalah sama dengan CAHAYA TUHAN yang dapat menghidupi manusia. Tanpa CAHAYA tersebut manusia tidak akan hidup. Jadi HURIP TAN KENA ING PATI. Inilah yang harus kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa apabila manusia yang hidup di dunia fana ini MATI.
5) Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber dari pada sumber CAHAYA, adalah SANG HIDUP BESAR, satuan dari MAHA CAHAYA, dimana kilatan/pletikan CAHAYA yang bersemayam dalam diri manusia dapat menghidupi manusia, dapat mempergunakan panca indera dan nafsu untuk melaksanakan dharmanya di dunia. Dapatkah CAHAYA yang ada dalam diri manusia itu kembali kepada sumbernya MAHA CAHAYA? Belum pasti dapat apabila sepanjang hidupnya di dunia tidak mengerti caranya kembali pada sumber MAHA CAHAYA.
6) Baca Yahya (4-24) Injil Kristen, yang berbunyi “Allah itu Rokh adanya, maka orang menyembah Allah wajiblah dengan Rokh dan kebenaran. Makin jelas bahwa manusia bisa hidup karena CAHAYA TUHAN. Maka CAHAYA itulah yang wajib MENYEMBAH Tuhan, dan pada waktunya kembali kepada Tuhan dengan membawa amal perbuatan yang benar di hadapan Tuhan, bukan benar di hadapan manusia.
7) Kebenaran Tuhan adalah kebenaran sejati. Benering bener (pener). Karena hanya dengan kebenaran sejati, Rokh manusia dapat kembali kepada-Nya, setelah mempelajari Ngelmu Sagngkan Paraning Dumadi dan Ngelmu Kesempurnaan, kemudian melatih diri “Mati Sajroning Urip” Belajar mati sewaktu masih hidup di dunia.

C. HAKEKAT TUHAN
1. Baca AN-NUR (24 ayat 35) Al-Qur’an. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya seperti Misykat. Dalam misykat itu ada pelita. Pelita itu dalam kaca. Itu merupakan bintang berkilau dinyalakan dengan pohon yang diberkati. Pohon Zaitun yang bukan di timur atau di barat yang minyaknya hamper-hampir menyala dengan sendirinya, walaupun tidak disentuh oleh api. CAHAYA DI ATAS CAHAYA Allah menuntun cahaya-Nya, siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia. Sesungguhnya Allah mengetahui segalanya.
2. Hakekat CAHAYA.
– NUR (cahaya) yang sebenarnya itu adalah Allah SWT sendiri
– Sebutan CAHAYA bagi selain Dia hanyalah majaz (kiasan/sanepan) sebenarnya tak ada wujud.
3. AN-NISA (4 ayat 174) dari Al Qur’an. Hai manusia telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu dan telah Kami turunkan kepadamu “CAHAYA” yang terang benderang.
4. YAHYA 12-46 (Injil Al-Kitab Kristen) yang berbunyi : AKU (Allah) adalah CAHAYA yang datang di dunia ini, supaya barang siapa yang kenal dengan Aku jangan tinggal di dalam gelap
5. Umat Budha Indonesia menyebut “SANG HYANG ADI BUDHA” bagi Tuhan Yang Maha Esa. SANG HYANG ADI BUDHA sebagai sumber dari semua sumber yang memancarkan sinarnya dan menciptakan dari pada diriNya sendiri 5 (lima) DHYANI BUDHA yang masing-masing mengandung unsur :
a. VAIROCONO : sumber CAHAYA AGUNG
b. AMITABHA : CAHAYA tanpa batas
c. RATNA SANBHAWA : PERMATA alam semesta
d. AMOGASIDHI : Maha Jadi yang tidak mengenal KEGELAPAN
e. AKSOBYA : sumber ketenangan
Dari agama Budha ini juga menggambarkan SANG HYANG ADI BUDHA adalah CAHAYA MAHA CAHAYA. Langgeng tan owah gingsir. Tan kena kinaya ngapa.
6. Umat Hindhu dalam “BHAGAWAD GHITA” menguraikan sebagai berikut : “Beri santaplah yang BERCAHAYA (Brahma Sang Pencipta Alam Semesta seisinya) mudah-mudahan engkau akan dikarunia/berkahi : dari jalan inilah akan tercapai jalan keselamatanmu yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu yang BERCAHAYA diberi santap koraban/sesaji, segala kenikmatan yang diharapkan umatNya”.

D. MEMAHAMI NGELMU KASAMPURNAN
1) Dari beberapa kitab suci tersebut jelaslah memberikan jawaban kepada kita akan kebenaran bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah MAHA CAHAYA, sumber pada sumber CAHAYA. Baik pengertian yang bersumber dari agama-agama maupun pengertian ajaran penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah sama. Bahkan lebih dari itu, ajaran pengahay kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa khususnya :
a. ngelmu sangkan paraning dumadi
b. ngelmu kasampurnan
c. ngelmu manunggaling kawula lan gusti
dapat menghantarkan insan (cahaya Tuhan) manusia kembali pada MAHA CAHAYA Tuhan Yang Maha Esa. Ngelmu ini sejak sebelumnya masuk ke persada bumi nusantara Indonesia telah dihayati sebagai bangsa Indonesia terutama para pemimpin negara (para Ratu/Raja). Oleh karena cahaya hidup yang oleh manusia disebut Nur Muhammad, Lintang Tagih, Lintang Johor, Inti Rokh yang hidup kekal abadi yang wajib kembali pada induk cahaya (Tuhan YME), maka menjadi kewajiban manusia untuk mengembalikan pada induknya. Apakah manusia dapat melaksanakan tugas ini? Jawabanya adalah “TIDAK DAPAT” kecuali telah memperoleh perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai manusia pilihan/pethingan yang hidupnya selalu belajar kembali pada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara “belajar mati sebelum waktunya tiba” atau “sinau mati sajroning urip”. Jika latihan ini telah mahir dan matinya memang karena dipanggil Tuhan Yang Maha Suci untuk kembali kehadirat-Nya, sedangkan benda-benda jasmaninya, nafsu-nafsu, panca indera, dan badan wadhak/tubuh manusia dikembalikan pada unsurnya masing-masing. Maka sempurnalah kematian manusia tersebut di atas.
2) Tidak semua manusia dapat mati sesempurna itu, meskipun ia telah belajar mati sebelum takdir tiba, namun kalau perilakunya di dunia tidak baik mencari kebenaran sejati, maka masih perlu menerima karmanya lagi untuk turun menjadi manusia lagi, yang disebut reinkarnasi. Hanya manusia-manusia terpanggil yang dapat kembali, untuk memenuhi tugasnya yang disebut pemakaman umat Islam “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” yang artinya asalnya dari Tuhan Yang Maha Esa kembalilah kepada Tuhan Yang Maha Esa

Falsafah kejawen

FALSAFAH KEJAWEN

Pewarisan kawruh Kejawen atau falsafah Jawa dari generasi ke generasi berikutnya pada umumnya tidak disertai bahasa yang rasional dan mudah dipahami. Maka, sebagai akibatnya, kawruh Kejawen di masa kini banyak yang tidak dimengerti oleh orang Jawa sendiri. Bahkan kemudian banyak yang menganggap kawruh Kejawen sebagai klenik. Anggapan Kejawen sebagai tahayul atau klenik tersebut sudah pasti tidak nyaman dirasakan bagi kebanyakan orang Jawa. Oleh karena itulah, diperlukan penjelasan-penjelasan yang masuk akal tentang Kejawen guna menepis anggapan minor tersebut.
Untuk itulah, diperlukan sebuah usaha penjelasan sekaligus upaya menggugah kesadaran Jawa untuk kembali memiliki kedaulatan spiritual hingga kembali berjaya dalam peradaban umat manusia. Saatnya Jawa menyumbangkan cita-cita peradaban umat manusia yang ayem tentrem kerta raharja.
Jelas bahwa kawruh Kejawen adalah falsafah hidup orang Jawa. Merupakan sebuah kristalisasi pengalaman hidup orang Jawa sejak zaman prasejarah hingga zaman globalisasi saat ini. Sebagian besar merupakan hasil interaksi dan observasi orang Jawa dengan alam semesta di Pulau Jawa. Sudah barang tentu ditambah hasil interaksi dengan falsafah dan kebudayaan bangsa-bangsa lain yang berdatangan ke Jawa sejak ratusan tahun lalu.
Dikarenakan sifat alam tanah Jawa vulkanis subur, warga masyarakat semenjak dahulu hidup bercocok tanam. Cara hidup agraris menjadi nuansa falsafah dan kebudayaan orang Jawa selalu selaras dengan suasana agraris yang mengutamakan mencapai kondisi masyarakat yang laras, ayem tentrem, dan rukun. Dengan demikian, tumbuh kembangnya naluri nalar dan rasa pangrasa orang Jawa selalu memuat tujuan dan upaya mencapai situasi dan kondisi masyarakat yang laras ayem tentrem kerta raharja dan rukun. Karena memiliki dasar tujuan yang seperti itu, maka menjadikan orang Jawa memiliki watak lower dan bisa menerima siapa saja sebagai saudara.
Karena memiliki toleransi yang kuat, orang Jawa bisa menerima dengan baik masuknya falsafah dan kebudayaan bangsa lain. Selanjutnya malah bisa membaur dengan rukun. Konon orang Jawa pandai mensinergikan falsafah dan kebudayaan aslinya dengan semua falsafah dan kebudayaan lain yang diterima. Kejawen merupakan tuntunan atau ajaran hidup yang di dalamnya termasuk konsep kebertuhanan orang Jawa. Maka Kejawen juga mencakup masalah hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta seisinya yang khas orang Jawa. Sedemikian rumit dan luas cakupan Kejawen sehingga pada masa kini masyarakat Jawa sendiri banyak yang tidak memahami Kejawen itu sendiri. Bahwa teologi, mitologi, kepercayaan, tradisi, dan adat Jawa adalah masuk akal sering diabaikan, dianggap yang tidak-tidak. Oleh karena itulah, perlu pemahaman agar ada saling pengertian antar komponen bangsa.
Apapun anggapan orang tentang Kejawen, kenyataannya sejauh ini Kejawen sudah berhasil mengampu perjalanan masyarakat Jawa sejak ribuan tahun yang lalu hingga kini. Maka Kejawen pasti memiliki sisi positif. Buktinya Jawa merupakan salah satu bagian bumi yang padat penduduknya. Posisi Jawa untuk Indonesia sangat penting. Pulau Jawa yang luasnya cuma 6 persen luas daratan Indonesia, namun menampung 60 persen penduduk Indonesia. Dengan demikian, jelas bisa dibuktikan bahwa situasi dan kondisi di Jawa sangat nyaman bagi umat manusia untuk berkembang biak dan bermukim.
Kenyamanan itu salah satu penyebabnya adalah sistem kemasyarakatan Jawa yang beradab serta tidak senang konflik. Sistem kemasyarakatan sudah pasti terbangun oleh adanya falsafah hidup masyarakat yang tidak lain kawruh Kejawen. Begitu rupa beradab dan berbudayanya Jawa sehingga di pulau ini ada peninggalan tempat melaksanakan ritual agama seperti Borobudur yang megah dan Candi Prambanan yang anggun. Indah dan populis
Yang sangat menarik adalah berkembangnya agama Islam yang tumbuh subur di Jawa sampai-sampai dinyatakan bahwa umat Islam terbesar dalam jumlah di dunia ini adalah Indonesia. Perlu diingat bahwa 60 persen penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam tinggal di Jawa. Ingat juga tradisi halalbihalal pada hari raya Idul Fitri yang dikembangkan dari tradisi sungkeman khas Jawa. Selanjutnya berkembang pula menjadi tradisi mudik yang khas Jawa. Makna hari raya besar Islam ini menjadi indah dan populis. Kalau dikatakan bahwa Jawa sebelum masuknya agama-agama dari Asia daratan merupakan “zero zone” budaya kiranya tidaklah masuk akal. Karena banyak produk budaya Jawa yang kemudian mewarnai kebudayaan- kebudayaan Hindu, Budha, dan Islam. Di antaranya bangungan-bangunan candi dan masjid di Jawa yang khas dan tidak diketemukan di tempat asal agama-agama tersebut. Demikian pula produk kesenian Jawa berupa gamelan, wayang, seni tari, batik, dan lain sebagainya jelas merupakan asli Jawa yang mempunyai kualitas dunia.
Begitu kayanya ragam budaya Jawa yang merupakan hasil kreativitas masyarakat Jawa. Keragaman tersebut juga atas pengaruh kebudayaan pendatang sehingga tidak mudah menelusuri dan memilah serta memilih untuk menemukan yang asli Jawa. Namun begitu, masih bisa dikenali mengapa Jawa bisa menjadi media subur untuk tumbuh kembangnya agama-agama besar di dunia.
Meskipun cakupan falsafah Jawa atau kawruh Kejawen sedemikian luas meliputi seluruh aspek kehidupan, ada beberapa pokok pandangan Jawa yang bisa dijadikan wacana dialog peradaban dan budaya. Pandangan atau konsep dasar falsafah Jawa meliputi adanya Tuhan, jagat raya, asal-usul manusia, mitologi Jawa, tata peradaban dan laku budaya, tata penanggalan dan basa atau carakan Jawa. Berpijak pada konsep Jawa tersebut maka bisa dipaparkan sumbangan pemahaman dan pandangan atau paradigma baru tentang wawasan kebangsaan kita. Bahkan, besar kemungkinan untuk menopang tegaknya peradaban Nusantara di mata dunia.
Bahwa sampai saat ini peradaban dan budaya Bali telah mampu menundukkan hati nurani umat manusia seluruh dunia, maka Jawa yang memiliki akar peradaban dan budaya yang sama dengan Bali pasti mampu pula menundukkan hati nurani dunia. Kalau Bali diakui sebagai Pulau Dewata, maka meminjam istilah Prof Dr Damarjati, Jawa bisa jadi Tamansarinya dunia
Dalam literatur dan kaidah kebudayaan Jawa tidak ditemukan adanya pakem dalam kalimah doa serta tata cara baku menyembah Tuhan. Dalam budaya Jawa dipahami bahwa Tuhan Maha Universal dan kekuasaanNya tiada terbatas. Kejawen bukanlah agama, dalam falsafah kejawen yang ada hanyalah wujud “laku spiritual” dalam tataran batiniahnya, dan “laku ritual” dalam tataran lahiriahnya. Laku ritual merupakan simbolisasi dan kristalisasi dari laku spiritual. Ambil contoh misalnya mantra, sesaji, laku sesirih (menghindari laku pantangan) serta laku semedi atau meditasi. Banyak kalangan yang tidak memahami asal usul dan makna dari semua itu, lantas begitu saja timbul suatu asumsi bahwa mantra sama halnya dengan doa. Sedangkan sesaji, laku sesirih dan laku semedi dipersepsikan sama maknanya dengan ritual menyembah Tuhan. Asumsi dan persepsi ini salah besar. Menurut para pengamat, kaum akademisi dan budayawan, ada suatu unsur kesengajaan untuk mempersepsikan dan mengasumsikan secara tidak tepat dan melenceng dari makna yang sesungguhnya. Semoga hal itu bukan termasuk upaya politisasi sistem kepercayaan, untuk mendestruksi budaya Jawa yang sudah “mbalung sungsum” di kalangan suku Jawa, dengan harapan supaya terjadi loncatan paradigma kearifan lokal kepada paradigma asing yang secara naratif menjamin surga. Awal dari penggeseran dilakukan oleh bangsa asing yang akan menjalankan praktik imperialisme dan kolonialisme di bumi nusantara sejak ratusan tahun silam. Baiklah, terlepas dari semua anggapan, asumsi maupun persepsi di atas ada baiknya dikemukakan wacana yang mampu mengembalikan persepsi dan asumsi terhadap ajaran kejawen sebagaimana makna yang sesungguhnya. Setidaknya, kejawen dapat menjadi monumen sejarah yang akan dikenang dan dikenal oleh generasi penerus bangsa ini. Agar menumbuhkan semangat berkarya dan nasionalisme di kalangan generasi muda. Di samping itu ada kebanggaan tersendiri, sekalipun zaman sekarang dianggap remeh namun setidaknya nenek moyang bangsa Indonesia pernah membuktikan kemampuan menghasilkan karya-karya agung bernilai tinggi.

MELURUSKAN MAKNA
Mantra tidaklah sama maknanya dengan doa. Bila doa merupakan permohonan kepada Tuhan YME, sedangkan mantra itu umpama menarik picu senapan yang bernama daya hidup. Daya hidup manusia pemberian Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian sesaji, laku sesirih (mencegah) dan laku semedi memiliki makna tatacara memberdayakan daya hidup agar dapat menjalankan kehidupan yang benar, baik dan tepat. Yakni menjalankan hidup dengan mengikuti kaidah “memayu hayuning bawana”. Daya kehidupan manusia menjadi faktor adanya aura magis (gelombang elektromagnetik) yang melingkupi badan manusia. Aura magis memiliki sifatnya masing-masing karena perbedaan esensi dari unsur-unsur yang membangun menjadi jasad manusia. Unsur-unsur tersebut berasal dari bumi, langit, cahya dan teja yang keadaannya selalu dinamis sepanjang masa. Untuk menjabarkan hubungan antara sifat-sifat dan esensi dari unsur-unsur jasad tersebut lahirlah ilmu Jawa yang bertujuan untuk menandai perbedaan aura magis berdasarkan weton dan wuku.
Aura magis dalam diri manusia dengan aura alam semesta terdapat kaitan erat. Yakni gelombang energi yang saling mempengaruhi secara kosmis-magis. Dinamika energi yang saling mempengaruhi mempunyai dua kemungkinan yakni pertama; bersifat saling berkaitan secara kohesif dan menyatu (sinergi) dalam wadah keharmonisan, kedua; energi yang saling tolak-menolak (adesif). Laku sesirih (meredam segala nafsu) dan semedi (olah batin) merupakan sebuah upaya harmonisasi dengan cara mensinergikan aura magis mikrokosmos dalam kehidupan manusia (inner world) dengan aurora alam semesta makrokosmos (lihat juga dalam posting “Sejatinya Guru Sejati”). Agar tercipta suatu hubungan transenden yang harmonis dalam dimensi vertikal (pancer) antara manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal yakni manusia sebagai jagad kecil dengan jagad besar alam semesta.

PRINSIP KESEIMBANGAN, KESELARASAN & HARMONISASI
Sesaji atau sajen jika dipandang dari perspektif agama Abrahamisme, kadang dianggap berkonotasi negatif, sebagai biang kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Tapi benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini ? Seyogyanya jangan lah terjebak oleh keterbatasan akal-budi dan nafsu golek menange dewe (cari menangnya sendiri) dan golek benere dewe (cari benernya sendiri). Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun makhluk gaib. Dengan kata lain sesaji merupakan harmonisasi manusia dalam dimensi horisontal terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap diri) sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri paling mulia di antara makhluk lainnya. Karena kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal-budi dalam diri kita sendiri. Bila akal-budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi bangkrut, masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling hina.

HARMONI & KESELARASAN MERUPAKAN WAHYU TUHAN
Dalam konteks kebudayaan Jawa, wahyu diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia Tuhan yang diperoleh manusia secara gaib. Wahyu juga tidak dapat dicari, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan, sedangkan manusia hanya dapat melakukan upaya dengan melakukan mesu raga dan mesu jiwa dengan jalan tirakat, bersemadi, bertapa, maladihening, dan berbagai jalan lain yang berkonotasi melakukan laku batin. Tapi tidak setiap kegiatan laku batin itu akan mendapatkan wahyu, selain atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan wahyu menurut kamus Purwadarminta mempunyai pengertian suatu petunjuk Tuhan atau ajaran Tuhan yang perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya. Dalam konteks budaya Jawa, wahyu dipandang sebagai anugrah Tuhan yang sekaligus membuktikan bahwa Tuhan bersifat universal, Mahaluas tanpa batas, dan Tuhan yang Mahakasih tidak akan melakukan pilih kasih dalam menorehkan wahyu bagi siapa saja yang Tuhan kehendaki. Falsafah Jawa memandang suatu makna terdalam dari sifat hakekat Tuhan yang Maha Adil, yang memiliki konsekuensi bahwa wahyu bukanlah hak atau monopoli suku, ras, golongan, atau bangsa tertentu.
Mekanisme kehidupan di alam semesta adalah bersifat dinamis. Dinamika kehidupan berada dalam pola hubungan yang mengikuti prinsip-prinsip keharmonisan, keseimbangan, atau keselarasan (sinergi) jagad raya seisinya. Dinamika dan pola hubungan demikian sudah menjadi hukum atau rumus Tuhan Yang Maha Memelihara sebagai ANUGRAH terindah kepada semua wujud ciptaanNYA, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.

WAHYU PURBA
Anugrah tersebut dalam terminologi Kejawen dikenal istilah Wahyu Purba. Kata Purba, menurut kamus Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba mempunyai pengertian, Dewa Wisnu atau sama hakekatnya dengan kebenaran Illahiah, adalah bersifat memelihara. Ini suatu pelajaran hidup yang mengandung “rumus Tuhan” bahwa di dalam kehidupan alam semesta dengan segala isinya termasuk juga manusia, semua dipelihara oleh kebenaran sejati, yakni kebenaran Illahi. Di mana kehidupan alam semesta dan manusia akan mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman, kebahagiaan dan kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan ditegakkan dengan baik dan benar.
Walaupun manusia percaya bahwa hidup ini dipelihara oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga terdapat ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan mengganggu keselarasan, kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan. Semua itu terjadi sebagai akibat “kenekadan” manusia melakukan pelanggaran hukum kebenaran. Untuk memelihara ketenteraman dan kesejahteraan dunia maka dewa Wisnu turun ke dunia menitis pada Prabu Arjunawijaya (Arjunasasrabahu) raja Negara Maespati, dan kepada Ramawijaya, raja Negara Ayodya.

WAHYU DYATMIKA
Barang siapa yang berhasil membangun harmonisasi dan sinergi atau keselarasan energi antara “jagad kecil” yang ada di dalam diri pribadi (inner world) dengan “jagad raya” disebut sebagai orang yang sudah memperoleh wahyu dyatmika. Dyatmika berarti batin, atau hati, wahyu dyatmika artinya wahyu Tuhan yang diterima seseorang untuk memiliki daya linuwih meliputi daya cipta, daya rasa, dan daya karsa yang disebut sebagai prana. Prana dalam terminologi Jawa berbeda dengan perguruan tenaga prana sebagaimana dikenal masyarakat sebagai seni bela diri dan olah tenaga dalam.

HUBUNGAN MANTRA DENGAN PRINSIP KESELARASAN

Mantra adalah Teknologi Kuno
Perlu kami tegaskan lagi bahwa mantra BUKANLAH DOA, akan tetapi merupakan sejenis SENJATA atau ALAT berujud kata-kata atau kalimat sebagai “teknologi spiritual” tingkat tinggi hasil karya leluhur nusantara di masa silam. Mantra dibuat melalui tahapan spiritual yang tidak mudah, bentuknya laku prihatin, perilaku utama dan maneges kepada Tuhan, yang ditempuh dengan cara tidak ringan. Hasilnya beragam, secara garis besar ada dua jenis mantra (baca; senjata) yakni;
1. Khusus menurut fungsinya; hanya dapat digunakan untuk keperluan tertentu misalnya menaklukkan musuh di medan perang. Atau diperuntukkan sebagai alat “medis” sebagai mantra untuk penyembuhan.
2. Mantra khusus menurut sifatnya; dibagi dua; pertama, mantra yang hanya dapat BEKERJA jika digunakan untuk hal-hal sifatnya baik saja. Mantra jenis ini tidak dapat disalahgunakan untuk hal-hal buruk oleh si pemakai. Mantra jenis ini paling sering digunakan di lingkungan kraton sebagai salah satu tradisi turun temurun. Kedua; mantra yang bersifat umum, bebas digunakan untuk acara dan keperluan apa saja tergantung kemauan si pemakai. Ibarat pisau dapat digunakan sebagai alat bedah operasi, alat memasak, atau disalahgunakan untuk mencelakai orang. Namun mantra jenis ini setiap penyalahgunaannya pasti memiliki konsekuensi yang berat berupa karma atau hukuman Tuhan yang dirasakan langsung maupun kelak setelah ajal.
Citra Buruk Karena Pemahaman Yang Salah Kaprah
Terdapat pula kesalahan memaknai mantra secara simpang siur; di mana mantra dianggap sebagai hal yang selalu berhubungan dengan setan/makhluk halus dan bersifat negatif/hitam. Misalnya lafald komat-kamit yang diucapkan seorang dukun santet, itu bukanlah sejenis mantra, namun password atau kata kunci, atau kode isyarat berupa kata-kata untuk memanggil sekutunya yakni sejenis jin, “setan” atau makhluk gaib sebagai pesuruh agar mencelakai korbannya. Perlu saya luruskan bahwa yang demikian ini, bukan termasuk mantra. Lalu apakah substansi dari mantra itu sendiri ? Baiklah, berikut ini kami berusaha mendeskripsikan kronologi dan proses bagaimana mantra (teknologi kuno) dapat diciptakan oleh manusia zaman dulu yang banyak dicap menganut faham religi primitif.
Hamemayu Hayuning Bawono & RAT, serta Pangruwating Diyu
Di atas telah kami singgung sedikit mengenai PRANA, sebagai sinergisme dan harmonisasi energi vertikal-horisontal, mikro-makro kosmos, inner wolrd dengan alam semesta, jagad kecil dengan jagad besar. Mantra merupakan salah satu bentuk pendayagunaan prana. Khusus untuk mantra umum, agar supaya siapapun yang memanfaatkan mantra umum tidak menyalahgunakannya untuk hal-hal yang negatif, ajaran Jawa menekankan keharusan eling dan waspada. Sikap eling dan waspada akan memelihara seseorang dalam mendayagunakan prana yang berwujud mantra yang dimanfaatkan untuk kebaikan hidup bersama menggapai ketentraman dan kesejahteraan. Yang paling utama bilamana semua jenis mantra ditujukan sebagai upaya untuk keselarasan dan harmonisasi alam semesta dalam dimensi horisontal dan vertikal dengan Yang Transenden. Mantra adalah salah satu bentuk pencapaian dalam pergumulan laku spiritual “Sastra Jendra” sedangkan tujuannya yang mulia menjadi makna di balik “Hamemayu hayuning Rat, hamemayu hayuning bawono, lan pangruwating diyu” (lihat posting; “Puncak Ilmu Kejawen”). Menjadi satu kalimat dalam falsafah Jawa tingkat tinggi yakni “Sastra jendra, hayuning Rat, pangruwating diyu”. Yang tidak lain untuk menyebut pencapaian spiritual dalam konteks kemanunggalan diri dengan alam semesta (Hamemayu hayuning Bawono). Dalam rangka panembahan pribadi dimanifestasikan budi pekerti luhur (Hangawula kawulaning Gusti/Pangruwating diyu), keduanya BERPANGKAL dan BERUJUNG pada panembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu hayuning Rat). Dengan kata lain budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni; jagad kecil (pribadi) dan jagad besar manembah kepada Tuhan YME.
Bentuk panembahan dalam pada tingkat tata lahir (sembah raga/syariat) dimanifestasikan dalam berbagai kearifan budaya yang menampilkan berbagai keindahan tradisi misalnya; upacara ruwat bumi seperti garebeg, suran, nyadranan, apitan dan sebagainya. Atau berbagai upacara kidungan, ritual gamelan, bedhaya ketawang, dan seterusnya. Intinya adalah rasa kebersamaan dalam manembah pada tingkat tata batin (sembah jiwa), menyatukan kekuatan hidup atau prana kehidupan untuk mewujudkan mantra-agung (mahamantra) yakni sastra jendra yang berfungsi membangun keseimbangan (balancing) dan keselarasan (harmonic) antara aura spiritual manunsia dengan aura spiritual jagad raya seisinya. Tujuan utama dari balancing dan harmonic jelas sekali jauh dari tuduhan subyektif musrik maupun bid’ah, jelas ia sebagai bentuk konkritisasi doa untuk mohon keselamatan bagi alam semesta dan seluruh isinya.
Sayang sekali, zaman semakin berubah, perilaku budi daya yang memiliki nilai kearifan (wisdom) yang tinggi, telah banyak ditinggalkan orang Jawa sendiri. Alasannya demi mikul duwur mendhem jero falsafah dan budaya asing. Atau takut oleh tuduhan-tuduhan subyektif, yang hanya berdasar prasangka buruk (su’udhon), dan tidak berdasarkan metode ilmiah maupun informasi lengkap dan jelas. Sebuah nasib yang tragis ! Tradisi yang masih dapat dijalankan pun akhirnya hilang nilai kesakralannya. Grebeg, suran, sadranan, apitan telah melenceng dari nilai luhur yang sesungguhnya yakni menyatukan prana kehidupan. Sebaliknya tradisi tersebut hanya sekedar menjadi tontonan murahan, menjadi kebiasaan yang diulang-ulang (custom), pemerintah melestarikan tardisi hanya karena bermotif materialistis laku dijual, dan menjadi daya tarik turis asing karena mungkin dianggap aneh dan lucu saja. Seaneh dan selucu cara bangsa ini memandang dan memahaminya.
Itulah, wujud “sejati” wong Jawa kang kajawan (ilang jawane), rib-iriban. Manusia telah menjadi seteru Tuhan, karena telah melanggar rumus (hukum) kodratulah, yakni harmonisasi dan keseimbangan alam semesta. Rusaknya prinsip keseimbangan alam semesta berakibat fatal dan kini dapat kita rasakan dan saksikan sendiri; hujan salah musim, jadwal musim kemarau-penghujan tidak disiplin, kekeringan, kebakaran, banjir, tanah longsor, elevasi suhu bumi, distorsi cuaca, hutan gundul, sungai banyak kering, satwa liar semakin langka dan mengalami kepunahan. Distorsi musim mengakibatkan gagal panen, hama tanaman, wabah penyakit aneh-aneh (pagebluk), serangan hawa panas dan hawa dingin secara ekstrim (el