soewarsomandalaputra

Jumat, 27 Maret 2015

Ilmu sangkan paran ing dumadi

Di ceritakan, ketika Sunan Kalijaga di bai’at ILMU SANGKAN PARANING DUMADI di atas perahu, perahunya bocor. Kemudian ditambal dengan lempung. Di dalam lempung tersebut ada seekor cacing. Mendengar baiat tersebut kemudian cacing berubah menjadi manusia, yang kemudian diberi nama SYEKH SITI JENAR.

Asalnya cacing berubah menjadi manusia kemudian namanya syekh Siti  Jenar. Bukan hanya menjadi manusia Siti Jenar juga menjadi wali. Sudah dipesan tidak boleh menyebar ilmu Haq disembarang tempat, akan tapi Siti Jenar tidak faham  tetap menyebarkan ilmu haq disembarang tempat.

KEAJAIBAN ILMU SANGKAN PARANING DUMADI

Didalam tanah itu ada suatu mahluq yang namanya cacing, cacing itu adalah mahluq yang hina dan lemah. Walaupun mahluq yang lemah akan tetapi kalau diinjak juga akan bergerak. Akan tetapi setelah  mendengar baiat ilmu sangkan paraning dumadi yang dibaiatkan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga, maka hilanglah sifat hayawannya, dari mahluq yang hina menjadi mahluq yang mulya ( manusia). Disamping menjadi manusia juga menjadi WALIYULLOH.

Akan tetapi walaupun wujud manusia kalau tidak kemasukan ilmu sangkan paraning dumadi maka manusia itu akan kembali menjadi cacing, bahkan kadang berubah menjadi benda.

1.   Contoh manusia yang tidak kemasukan ilmu Sangkan Paran itu ada yang berubah menjadi batu. Seperti disebutkan didalam Al Qur'an surat Al Baqoroh ayat 74.

FAHIYAA KAL HIJAAROTAN
Artinya : " Maka dia seperti batu " ( bentuknya manusia akan tetapi didalamnya batu ).

Manusia yang dalamnya batu, apabila diberi  hujan nasihat itu tidak akan pernah bisa masuk (nleser saja ). Al Qur'an,  hadits semuanya nleser saja, batu tetap batu, air tetap air tidak ada satu kekuatan dunia yang mampu menghancurkannya. Orang seperti itu disebutkan didalam Al Qur'an: surat Al Isro' surat ke 17 ayat 50.

QUL KUUNUU HIJAAROTAN AU HADIIDAN
Artinya : " Jadilah batu-batu atau besi-besi "

Juga disebutkan didalam surat  Al Baqoroh surat  ke 2, ayat 74.

FAHIYA KAL HIJAAROTI AU-ASYADDU QOSWATAN.
Artinya : " Maka dia seperti batu atau lebih keras lagi ".

Yang bisa mencairkan hati yang demikian itu hanyalah api neraka.

WAQUUDUHAAN-NAASU WAL HIJAAROTU
Artinya : " Dan dinyalakan api neraka itu dengan manusia dan batu ".

Orang yang mempunyai hati seperti itu yang bisa mencairkan adalah api neraka, jadi menunggu besok. Kalau sekarang itu diberi keterangan maka dikatakan cerewet, diajak ibadah keluar rewelnya, Nabi dijadikan musuh, syaithon dijadikan guru.

2.   Ada lagi orang yang tidak kemasukan ilmu sangkan paraning dumadi manusia bisa berubah menjadi kera. Disebutkan didalam Al Qur-an surat Al  Baqoroh ayat 65.

KUUNUU QIRODATAN KHOOSYI'-IIN
Atinya : " Jadi keralah kamu dan terhina ".

3.   Contoh lain orang yang tidak kemasukan Ilmu Sangkan Paraning dumadi, manusia berubah menjadi khimar. Didalam Al Qur-an disebutkan, surat Jum-at, surat ke 63 ayat no. 5:

KAMATSALIL HIMAARI YAHMILU ASFAARON
Artinya : " Adalah mereka seperti khimar yang membawa kitab ".

Khimar itu mengangkut barang-barang akan tetapi mereka tidak tahu apa yang dibawanya. Makannya seperti sapi, kesukaanya seperti sapi.

Manusia itu adalah mahluq yang mempunyai aqal, juga mempunyai perasaan, akan tetapi kalau tidak tahu asal usulnya, atau ilmu sangkan Paraning Dumadi maka ia seperti keledai, bahkan lebih hina.

 Kalau hayawan  tidak tahu sangkan paraning dumadi itu lumrah (hal yang biasa),karena dia tidak punya aqal dan perasaan.

4.   Adalagi manusia yang tidak kemasukan ilmu Sangkan Paraning Dumadi, maka ia akan lebih hina  dan dia seperti anjing. Dalam A lQur-an disebutkan didalam surat Al A'roof surat ke 7, ayat no.176.

WAT-TABA'A HAWAAHU FAMATSALUHU KAMATSALIL KALBI
Artinya : " Dan orang yang mengikuti hawanya, itu laksana anjing ".

5.   Ada juga orang yang tidak kemasukan Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, itu akan berubah menjadi kemlandingan. Dalam Al Qur-an disebutkan didalam surat Al Ankabuut, surat ke 29, ayat no. 41.

KAMATSALIL 'ANKABUUT
Artinya : " Seperti kemlandingan ".

Rumah yang dibangun oleh kemlandingan itu tidak bisa dibuat untuk berlindung dari panas, apabila panas akan tetap kepanasan dan apabila hujan akan tetap kehujanan. Rumahnya hanyalah untuk menjaring mangsa saja.

Kalau kemlandingan itu kemasukan ilmu Sangkan Paraning Dumadi, maka akan hilanglah sifat kemlandinganya dan akan muncul sifat manusianya, serta menjelma menjadi mahluq yang mulya. Seperti cacing  yang kemasukan Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, kemudian berubah menjadi manusia, bahkan menjadi auliya'.

6. Ada manusia yang tidak kemasukan Ilmu Sangkan Paraning Dumadi itu berubah menjadi Iblis. Seperti disebutkan didalam Al Qur-an Surat Al 'An'aam, surat ke 6, ayat no.112.

SYAYAATHIINAL INSI WAL JINNI
Artinya : " Syaithon berbentuk jin dan syaithon berbentuk manusia ".

Sejelek-jelek manusia adalah manusia yang tidak mempunyai musuh, karena syaithon yang seharusnya menjadi musuhnya malahan dijadikan teman. Ketemu Syaithon dianggap teman, ketemu penipu dianggap teman, sedangkan kita itu wajib mempunyai musuh syaithon. Bagaimana memusuhi syaithon,  kalau tidak tahu Syaithon ?

Oleh karena itu  wajib pula mengetahui syaithon. Untuk bisa mengetahui syaithon harus kemasukan ilmu  Sangkan Paraning Dumadi, setelah kemasukan ilmu tersebut maka akan menjadi SYEKH SITI JENAR.

* SYEKH.

Kalimat syaikh itu bisa diartikan menurut bahasa juga dapat diartikan menurut istilah.

1.   Kalimat Syekh menurut bahasa adalah : Setiap orang yang sudah berumur lebih dari 40 tahun, itu dinamakan syaikh baikpun orang itu kafir ataupun mukmin.

2.   Kalimat Syekh menurut istilah adalah : Setiap orang yang mempunyai ilmu haqiqot itu dinamakan syaikh, walaupun orang tersebut baru berusia 17 tahun ( Syaikho untuk putri ).

* SITI.

Siti adalah isinya hati, tempatnya didalam hati bukan dibibir.

* JENAR.

Jenar itu artinya kuning, kuning adalah menggembirakan. Tetapi bukan kuningnya mundu, bukan kuning emas akan tetapi kuningnya logam mulia. Makanya iman, islam ditempatkan didalam bokor emas. Dimana emasnya ? ya disitu ( bokor emas).

Siti Jenar : isinya  hati yang kuning ( yang meggembirakan) Disebutkan didalam Al Qur-an, surat Al Baqoroh surat ke 2, ayat no. 69.

SHOFROO-UN FAAQI'UL LAUNUHAA TASURRUN NAADHIRIIN
Artinya : " Kuning warnanya, menggembirakan hati, orang-orang yang melihatnya ".

Kamis, 26 Maret 2015

Sangkan paran ing dumadi

Dalam hidup ini, manusia senantiasa diingatkan untuk memahami filosofi Kejawen yang
berbunyi "Sangkan Paraning Dumadi". Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahuikemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat.

Manusia sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat Indonesia lebih suka menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri dengan mudik. Nah, mudik itulah yang menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Ketika mudik, kita dituntut untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya.

Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak tembang dhandanggula warisan para leluhur yang sampai detik ini masih terus dikumandangkan.

Kawruhana sejatining urip/
(ketahuilah sejatinya hidup)
urip ana jroning alam donya/
(hidup di dalam alam dunia)
bebasane mampir ngombe/
(ibarat perumpamaan mampir minum)
umpama manuk mabur/
(ibarat burung terbang)
lunga saka kurungan neki/
(pergi dari kurungannya)
pundi pencokan benjang/
(dimana hinggapnya besok)
awja kongsi kaleru/
(jangan sampai keliru)
umpama lunga sesanja/
(umpama orang pergi bertandang)
njan-sinanjan ora wurung bakal mulih/
(saling bertandang, yang pasti bakal pulang)
mulih mula mulanya
(pulang ke asal mulanya)

Kemanakah kita bakal 'pulang'?
Kemanakah setelah kita 'mampir ngombe' di dunia ini?
Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari 'kurungan' (badan jasmani) dunia ini?
Kemanakah aku hendak pulang setelah aku pergi bertandang ke dunia ini?
Itu adalah suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di benak orang-orang yang mencari ilmu sejati.

Yang jelas, beberapa pertanyaan itu menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah tempat yang
langgeng. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita menyimak tembang dari Syech Siti Jenar yang digubah oleh Raden Panji Natara dan digubah lagi oleh Bratakesawa yang bunyinya seperti ini:

"Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong urip,
akerat kuwi ngalame wong mati; mulane kowe pada kanthil-kumanthil marang
kahanan ing donya, sarta suthik aninggal donya." ("Terbalik pendapatmu, mengira dunia ini alamnya orang hidup, akherat itu alamnya orang mati. Makanya kamu sangat lekat dengan kehidupan dunia, dan tidak mau meninggalkan alam dunia")

Pertanyaan yang muncul dari tembang Syech Siti Jenar adalah:
Kalau dunia ini bukan alamnya orang hidup, lalu alamnya siapa?

Syech Siti Jenar menambahkan penjelasannya:
"Sanyatane, donya iki ngalame wong mati, iya ing kene iki anane swarga lan naraka, tegese, bungah lan susah. Sawise kita ninggal donya iki, kita bali urip langgeng, ora ana bedane antarane ratu karo kere, wali karo bajingan." (Kenyataannya, dunia ini alamnya orang mati, iya di dunia ini adanya surga dan neraka, artinya senang dan susah. Setelah kita meninggalkan alam dunia ini, kita kembali hidup langgeng, tidak ada bedanya antara yang berpangkat ratu dan orang miskin, wali ataupun bajingan")

Dari pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa belajar, bahwa hidup di dunia ini yang serba berubah seperti roda (kadang berada di bawah, kadang berada di atas), besok mendapat kesenangan, lusa memperoleh kesusahan, dan itu bukanlah merupakan hidup yang sejati ataupun langgeng.

Wejangan beberapa leluhur mengatakan:
"Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati". (hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup yang
sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana?

Ajaran para leluhur juga menjelaskan:
"Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati,
yen siro ora ngerti sampurnaning urip."
(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna,
jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).

Oleh karena itu, kita wajib untuk menimba ilmu agar hidup kita menjadi sempurna dan mampu meninggalkan alam dunia ini menuju ke kematian yang sempurna pula.

Minggu, 22 Maret 2015

Ada ruh gentayangan atuuutt...

Jika kita mengetahui keberadaan roh–apakah di jasad, di langit, atau di bumi–apakah kemudian kita akan menjadi semakin rajin beribadah, atau kita menjadi semakin takut kepada Allah? Jika yang ditanyakan “Apakah roh orang yang zalim juga disiksa?”, mungkin bisa kita katakan bahwa pertanyaan tersebut termasuk pertanyaan yang wajar karena, boleh jadi, jawaban atas pertanyaan tersebut bisa menambah ketakwaan kita. Namun, tentunya tidak bermanfaat jika pertanyaan tentang keberadaan roh ini terkait dengan pemahaman yang salah di masyarakat. Oleh karena itu, Allah mencela sikap orang Yahudi yang bertanya tentang roh, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Isra`, ayat 85.

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Kedua, dari penjelasan di atas, bukan berarti bahwa para ulama tidak membahas masalah tempat roh setelah orangnya meninggal. Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar menjelaskan posisi roh setelah terpisah dari jasad (dalam buku Al-Yaumul Akhir, hlm. 102), dengan rincian sebagai berikut:

a). Roh para nabi.
Roh mereka berada di tempat tertinggi, bersama para malaikat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada detik-detik wafatnya, mengatakan, “Ar-Rafiiqul a’la (kumpulkanlah aku bersama sahabat terbaik yang berada di atas).”

b). Roh para syuhada.
Roh mereka berada di tembolok burung-burung hijau di surga. Burung ini memiliki sarang yang menggantung di bawah ‘Arsy, sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih riwayat muslim.

c). Roh orang mukmin yang saleh.
Roh mereka berada di tembolok burung (bukan burung berwarna hijau) yang bergelantungan di pohon-pohon surga, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ahmad yang dinilai sahih oleh Al-Albani.

d). Roh ahli maksiat (orang yang gemar bermaksiat).
Roh mereka berada di tempat mereka mendapat siksaan.
– Roh pezina berada di suatu lubang seperti tanur; bagian atasnya sempit, dan bagian bawahnya longgar. Dari bawah tanur ini dinyalakan api, kemudian mereka berlomba-lomba berebut naik ke atas.
– Roh orang yang makan hasil riba berada di sungai darah; dia berenang, berusaha menepi. Ketika hampir sampai ke tepi, dia dilempari batu, kemudian dia berbalik lagi ke tengah.
– Roh tukang bohong akan digantung, kemudian mulutnya dirobek sampai ke tengkuk.
Semua ini disebutkan dalam hadis sahih yang diriwayatkan Bukhari.

e). Roh orang kafir.
Roh mereka disiksa di alam kubur, dengan siksaan yang pedih. Dia dipukul dengan gadha oleh sosok makhluk yang buta lagi tuli. Andaikan gadha itu dipukulkan ke gunung, niscaya gunung tersebut akan menjadi tanah. Ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat An-Nasa’i. Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits, dari Dewan Pembina Konsultasi Syariah.
Artikel www.KonsultasiSyariah.co

Leak

Sedikit Artikel Mengenai LEKA,

Kata leak sudah mendarah daging di benak masyarakat hindu di Bali atau asal Bali yang tinggal di perantauan sebab kata-kata ini sangat sering kita dengar dan membuat bulu kuuk merinding atau hanya sekedar ga berani keluar malam gara-gara kata "leak" ini. Begitu juga keributan sering terjadi antar tetangga gara-gara seorang nenek di sebelah rumah di tuduh bisa ngeleak…ironisnya lagi yang menyebut si A atau B bisa ngeleak adalah sekelas balian sonteng, dan sebangsanya. Bahkan bayi menangis tengah malam, yang mungkin kedinginan atau perut kembung yang tidak di ketahui oleh ibunya, juga tuduhannya pasti "amah leak" apalagi kalau yang bilang balian sakti, wah…pasti tokcer..

Sedemikian parahkah, atau sangat saktikah leak tersebut, dan kalausaya tanya kepada pembaca semua pernahkah melihat leak, atau paling tidak mayat leak…paling yang ada mayat manusia… Apakah hal itu tidak lebih sebuah anggapan yang perlu di telusuri kebenarannya, sebab arti kata leak itu sendiripun kita jarang yang tahu… Asumsi kita tentang leak paling-paling rambut putih dan panjang, gigi bertaring, mata melotot, dan identik dengan wajah seram.. Hal inilah yang membuat kita semakin tajam mengkritik leak dengan segala sumpah serapah, atau hanya sekedar berpaling muka bila ketemu dengan orang yang bisa ngeleak…

Pada dasarnya ilmu leak adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut dengan leak, yang ada adalah " LIYA, AK yang berarti lina aksara ( memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu). Kekuatan aksara ini disebut panca gni aksara, siapapun manusia yang mempelajari kerohanian merk apapun apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya ( aura). Cahaya ini bisa keluar melalui lima pintu indra tubuh , telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan. Pada umumya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut, sehingga apabila kita melihat orang ngelekas di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.

Pada prinsipnya ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang, yang di pelajari adalah bagaimana dia mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo, kata ngelekas artinya kontraksi batin agar badan astral kita bisa keluar, ini pula alasannya orang ngeleak apabila sedang mempersiapkan puja batinnya di sebut "angeregep pengelekasan". Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum di sebut "ndihan" bola cahaya melesat dengan cepat. Ndihan ini adalah bagian dari badan astral manusia, badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain.

Jangan salah… dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya, sebab tidak semua orang bisa melihat ndihan, juga tidak sembarangan berani keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak. Peraturan yanglain juga ada seperti tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati, oang ngeleak hanya shopingnya di kuburan ( pemuhunan) apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya, begini bunyi doanya leak memberikan berkat, "ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta, mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahutama, ong rang sah, prete namah.." sambil membawa kelapa gading untuk dipercikkan sebagai tirta. Nah..di sinilah ada perbedaan pandangan bagi orang awam dikatakan leak ke kuburan memakan mayat, atau meningkatkan ilmu.

KENAPA HARUS DI KUBURAN…

Paham leak adalah apapun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan. Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat yang tersuci selain di kuburan, kenapa demikian di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit, bagi penganut tantric bermeditasi di kuburan di sebut meditasi "KAVALIKA". Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang meyeramkan, ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar "tatwaning ulun setra" sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang paling baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa. Sang Buda kecapi, Mpu kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan, di Jawa tradisi ini di sebut " TIRAKAT. Di Bali ada beberapa daerah yang terkesan lucu mengganggap kuburan adalah tempat sebel, leteh, ketika ada orang meninggal, atau ngaben, tidak boleh sembahhyang ke pura karena sebel, padahal.. kalau ngaben kita juga mengahaturkan panca sembah kepada Hyang Widi di kuburan, lantas di mana letak beda sebel Pura dan sebel kuburan bagi TUHAN ? itu hanya awig-awig manusia. Leak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari, ada tujuh tingkatan leak, leak barak (brahma) ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api, leak bulan, leak pemamoran, leak bunga, leak sari, leak cemeng rangdu, leak siwa klakah, leak siwa klakah inilah yang tertinggi, sebab dari ke tujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya. Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu, di sinilah penganut leak sering kecele, ketika emosinya labil ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan, sama halnya seperti pistol salah pakai berbahaya. Makanya kestabilan emosi sangat penting, dan di sini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.

BEDA PENESTIAN, PENGIWA, DAN LEAK.

Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut "penestian" ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam ini disebut " PENGERANCAB". Adapun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi, setelah emosi barulah dia bereaksi, jadi emosi dijadikan pukulan balik bagi penestian. Dalam ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana, termasuk aji nomoto, he..he.. Aliran ini disebut "pengiwa' ( tangan kiri) kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energy dari belahan badan kiri. Sedangkan ilmu leak dari tangan kanan, makanya disebut penengen ( tangan kanan). Pengwia banyak menggunakan rajah-rajah ( tulisan mistik) juga dia pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan dijamin tidak bisa dirontgen dan di lab, dan yang paling canggih adalah cetik ( racun mistik). Dan aliran ini bertentangan dengan pengeleakan, apabila perang beginilah bunyi mantranya, "ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan segara gni..bla..bla…". Jadi kesimpulannya adalah leak tidak perlu di takuti, tidak ada leak yang menyakiti, takutlah terhadap pikiran picik, dengki, sombong, pada diri kita sebab itu sumber pengiwa dalam tubuh kita. Bila tidak diantisipasi tekanan darah jadi naik, dan penyakit tiga S akan kita dapat, Stres, Stroke, Setra. Pada hakekatnya tidak ada ilmu putih dan hitam semua itu hati yang bicara, boleh jadi dasar ilmu yang di anut hitam, namun digunakan untuk kebaikan, dan sangat tercela dasar ilmu putih kita gunakan untuk kejahatan. Sama halnya seperti hipnotis, bagi psikiater ilmu ini untuk penyembuhan, tapi bagi penjahat ilmu ini untuk mengelabui serta menipu seseorang, tinggal kebijaksanaan kita yang berperan. Pintar, sakti, penting namun..ada yang lebih penting adalah kebijaksanaan akan membawa kita berpikir luas, dari pada mengumpat serta takut pada leak yang belum tentu kita ketemu tiap hari.

Sebelum seorang belajar ilmu leak terlebih dahulu harus diketahui otonan orang tersebut ( hari lahir versi Bali) hal ini sangat penting, karena kwalitas dari ilmu yang dianut bisa di ketahui dari otonanya, satu contoh apabila murid mempunyai otonan SUKRA PON MEDANGSIA berarti dewanya adalah Brahma, otomatis karakter orang tersebut cendrung emosional dalam hal apapun, dan digandrungi perempuan, nah..sang guru harus hati-hati memberikan pelajaran ini kalau tidak murid akan celaka oleh ilmu tersebut.

Setelah diketahui barulah proses belajar di mulai, pertama-tama murid harus mewinten Brahma widya, dalam bahasa lontar NGERANGSUKAN KAWISESAN, dan hari baik pun tentunya dipilih oleh sang GURU.Tahap dasar murid diperkenalkan dengan AKSARA WAYAH atau MODRE, dalam hal ini tidak bisa dieja aksara tersebut BAKU !!! Selajutnya murid diRajah seluruh tubuh dari atas sampe bawah...oleh sang guru, hal ini di lakukan di KUBURAN pada saat kajeng kliwon nyitan.

SUMPAH...

Selesai dari proses ini barulah sang murid sah diajarkan oleh sang guru, ada 5 sumpah

yang dilakukan di kuburan : 1 hormat dan taat dengan ajaran yang di berikan oleh guru 2 Selalu melakukan ajapa-ajapa dan menyembah SIWA Dan DURGA dalam bentuk ilmu kawisesan, 3 tidak boleh pamer kalau tidak kepepet, selalu menjalankan darma, 4 tidak boleh makan daging kaki empat, tidak boleh bersetubuh ( zina) 5 tidak boleh menyakiti atau dengan carapapun melalui ilmu yang kita

pelajari...

Mungkin karena peraturan no 4 ini sangat ditakuti akhirnya kebanyakan ilmu ini di pelajari oleh perempuan, sebab perempuan lebih kuat menahan nafsu birahi dari laki-laki. Di Bali yang namanya Rangda selalu indentik dengan wajah seram, tapi di jawa di sebut RONDO berarti janda, inilah alasanya kenapa dahulu para janda lebih menguasai ilmu pengeleakan ini dari pada laki-laki, dikarenakan wanita lebih kuat nahan nafsu... Pada dasarnya kalau boleh

saya katakan ilmu ini berasal dari tanah Jawa, campuran aliran SIWA dan BUDHA, yang di sebut dengan BAJRAYANA.

TINGKATAN PELAJARAN...

Tingkat satu kita diajari bagaimana mengendalikan pernafasan, di bali dan bahasa lontar di sebut MEKEK ANGKIHAN, atau PRANAYAMA.

Tingkat dua kita diajarkan VISUALISASI, dalam ajaran ini di sebut " NINGGALIN SANGHYANG MENGET"

Tingkat tiga kita diajar bagaimana kita melindungi diri dengan tingkah laku yang halus serta tanpa emosi dan dendam, di ajaran ini di sebut "PENGRAKSA JIWA.

Tingkat empat kita di ajar kombinasi antara gerak pikiran dengan gerak tubuh, dalam bahasa yoga di sebut MUDRA, karena mudra ini berupa tarian jiwa akhirnya orang yang melihat atau yang nonton di bilang " NENGKLENG ( berdiri dengan kaki satu ).

Mudra yang kita pelajari persis seperti tarian siwa nata raja.

Tingkat empat barulah kita diajar MEDITASI, dalam ajaran pengeleakan disebut " NGEREGEP, yaitu duduk bersila tangan disilangkan di depan dada sambil mengatur pernafasan sehingga pikiran kita tenang...atau ngereh, dan ngelekas..

Tingakat lima kita di ajarkan bagaimana melepas roh ( MULIH SANGHYANG ATMA RING BAYU SANDA IDEP ) melalui kekluatan pikiran dan batin dalam bahasa sekarang disebut LEVITASI, berada di luar badan. Pada saat levitasi kita memang melihat badan kita terbujur kaku tanpa daya namun kesadaran kita sudah pindah ke badan halus, dan di sinilah orang disebut berhasil dalam ilmu leak tersebut, namun..ini cukup berbahaya kalau tidak waspada dan kuat iman serta mental kita akan keliru, bahkan kita bisa tersesat di alam gaib. Makanya kalau sampai tersesat dan lama bisa mati, ini disebut mati suri, maka begawadgita benar sekali, ( apapun yang kamu ingat pada saat kematian ke sanalah kamu sampai...dan apapun yang kamu pikirkan begitulah jadinya )

Tentu dalam pelajaran ini sudah pasti dibutuhkan ketekunan, puasa, berbuat baik, sebab ilmu ini tidak akan berhasil bilamana dalam pikiran menyimpan perasaan dendam, apalagi kita belajar ilmu ini untuk tujuan tidak baik saya yakin tidak akan mencapai tujuannya. Kendati demikian godaan selalu akan datang seperti, nafsu sek meningkat, ini alasanya kenapa tidak boleh makan daging kaki empat, dan kita diajurkan tidur di atas jam 12 malam agar konisi agak lemah sehingga nafsu sek berkurang..kata guru saya kalau ada orang mempelajari leak tidur sore-sore disebut LEAK SANJE didoktrin, padahal menurut saya agar kondisi agak lemah saja. Dan tengah malam tepat jam 12 kita diwajibkan untuk meditasi sambil mencoba melepas roh, tapi di ajurkan yang deket-deket dulu, jangan coba-coba shoping ke MONAS dari BALI...he,he.. yach...paling-paling ke parit, sawah, atau ke sungai,..

Celakanya apabila kita melepas ROH pas lewat di rumah tetangga yang sedang mempunyai BAYI otomatis bayi tersebut pasti terbangun dan menagis teriak-teriak, hal ini disebabkan frekwensi bayi sama seperti kita. sebab bayi masih peka banget. Bayi tersebut tidak takut cuma kaget aja ada SEPLETERAN yang lewat, kayak handphone adu signal n blenggg...inilah yang dikatakan sama orang awam bahwa bayi itu di " AMAH LEAK" padahal tidak. Maka dari itu dalam dunia leak, ada aturan dilarang keras untuk lewat atau berada di keluraga yang mempunyai bayi untuk melepas ROH..( ngelekas, ngereh, ). Nah...bagi yang jahil tidak tertutup kemungkinan melepas roh dan mondar mandir di depan rumah orang yang punya bayi, ini yang sering terjadi di BALI, sehingga leak namanya rusak banget dan di tuduh nyakitin. Apalagi ada orang sakit keras, kita iseng lewat atau sekedar jenguk melalui ROH sudah dipastikan orang tersebut kaget dan bisa jadi denyut jantung berhenti, alhasil MATI inilah hal-hal yang oleh orang awam di katakan bahwa leak itu jahat...makanya sang balian yang bijak akan memagari rumah orang sakit atau yang punya bayi itu dengan aksara tertentu, yang artinya sebagai simbul PARA PENGANUT LEAK DILARANG MASUK !!!

Apabila ini di langgar perang atara leak dan balian pun terjadi masalah kalah dan menang tergantung sapa yang mumpuni, disini tidak lagi berbicara dari fakultas mana, atau universitas mana tapi sudah PERANG...KAWISESAN>>> Nah inilah yang sering terjadi di Bali yang di sebut dengan SIAT PETENG, pada umumnya dari pihak leak yang sering kalah, sebab leak tidak mempelajari ilmu menyerang..namun ilmu bertahan, sedangkan balian bisa saja ngiwa tengen, positif negatif..udah pasti dia yang menang, nyakitin bisa, ngobati juga bisa, ini yang di sebut balian ngiwa tengen...

Pada umumnya, penganut ilmu leak ( ngisinin jengah) ..terpacing emosi, inilah kelemahanya apabila itu terjadi sudah dipastikan ilmu hitam yang menang sebab emosi adalah makanan ilmu hitam... Kalau penganut ilmu leak memegang teguh janjinya dia tidak akan berontak bilamana terpancing emosinya, malah dia mendoakan dan memaafkan sudah pasti dia yang menang..sebab itulah dasar ilmu leak tersebut, sabar dan darma untuk mencapai tujuan.

SANGKEPAN LEAK....

Kata ini juga sering kita denger sehingga timbul pertanyaan apakah LEAK ada rapatnya, atau REUNI, serta bagi ibu-ibu ARISAN LEAK, TEMPEK INI, DAN ITU, he,he,hahhha.. Yang bener adalah dalam dunia leak sama seperti perkumpulan spiritual, pada hari-hari tertentu pada umumnya KAJENG KLIWON, kaum leak mengadakan puja bakti bersama memuja SIWA, DURGA, BERAWI, biasanya di pura dalem atau di Kuburan, Prajapti..dalam bentuk NDIHAN, bukan kera, anjing, dan lain-lain.

Saya tekankan lagi sekali ilmu leak bukan ilmu merubah wujud, jadi kalu ada yang bilang melihat KERA, PITIK BEGIL dan lain-lain itu yang melihat kena sihir, akibat biasa nonton PERCAYA GA PERCAYA, atau UJI NYALI... jadi kata sangkepan leak bisa dibenarkan namun..sesungguhnya bukan rapat tapi puja bakti, hanya itu !!! dan hal ini sekarang sudah langka baget..sebab para leak udah pindah ke kota semua he..he..apalagi sekarang banyak LEAK MATAH...he,he, berbuat jahat mengatasnakaman kebenaran tuk mencapai tujuan

KEKUATAN LEAK TERLETAK PADA SIHIRNYA...

Baru-baru ini saya dishoting oleh stasiun TV Saswta Jakarta , dan maaf saya tidak sebutkan, sebagai uji coba bisa ga di shot oleh kamera. Saya tahu beberapa orang yang mencela serta apriori dengan ilmu leak, terutama kru TV tersebut, di sinilah kelemahan orang tersebut bagi saya...lalu saya suruh menatap mata saya, dan baca mantra..abrakedabra...tiga kru TV lari..sambil menjerit...katanya dia melihat saya kayak patung Rangda, yang kebetulan sebelum shoting saya ajak ke pasar SUKAWATI untuk liat-liat patung-patung meyeramkan itu...he,he he..sedangkan ada lagi 3 orang yang saya tahu imannya cukup bagus, dia melihat saya biasa-biasa aja....

Makanya tidak gampang NGELEAKIN ORANG, apalagi orang tersebut kuat iman, rajin meditasi, berdoa, sampe berbuih pun mulut kita komat-kamit baca mantra, gak bisa bikin takut, paling-paling diledekin, kok tidak berubah....he he he he..

Makanya cobalah SEMETON tanya dan kumpulkan 10 orang pernahkah mendengar leak..jawbnya PERNAHHHHHHH...pernakah melihat leak..TIDAKKKKKKKK...tidak setiap orang mampu melihat leak dan tidak setiap leak berkuasa atas diri orang lain.

DASA AKSARA BUKAN DASAR ILMU LEAK...

Pernah mendengar dasa aksara atau yang umum di jabarkan sebagai berikut, SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG. ilmu ini adalah dasar dari sepuluh prana atau DASA BAYU.. dasa aksara ini mempunyai arti memuliakan dewa SIWA, seperti SAGORA, BAMADEWA, TATPURUSHA..dan selanjutnya. Dasa aksara ini murni dibawa oleh aliran SIWA SHIDANTA dan bagian untuk mencapai pencerahan batin melalui aksara tersebut, hasilnya hampir mirip sama-sama mengeluarkan CAHAYA namun tidak spesifik..Sedangkan PANCA GNI WIJAKSARA, sangat spesifik sekali, SAYANG...SEMETON..saya tidak berani katakan sebab ini bagian dari sumpah saya...untuk tidak mengatakan hal ini, kecuali semeton mau belajar...he,he...

Dasa aksara lebih banyak akan mengakses kedunia kerohanian bukan KEWISESAN(KEBIJAKSANAAN) ...sehingga dasa akasara ini akan mencapai puncaknya apabila seseorang memurnikan batinya melalui dasa yama brata, dan ini murni ilmu krohanian...

Jadi demikian semeton yang bisa saya sampaikan, mudah mudahan tulisan ini menambah wawasan di bidang ilmu leak sehingga besok-besok kita tidak MILU_MILU TUWUNG mengatakan LEAK itu jahat..atau tanpa tahu sebabnya kita getok KULKUL supaya banjar datang tuk menggerebeg orang yang di katakan bisa NGELEAK. Seperti kata semeton juga, YA SAKTI SANG SAJANA DARMA RAKSAKA, orang yang bijaksana pasti berpegang teguh pada DARMA, dan orang yang berpegang darma sudah pasti bijaksana.

Orang yang sakti belum tentu suci hatinya, namun orang yang suci sudah pasti SAKTI tingkah lakunya, jaman sekarang sulit membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, kecuali bertanya pada kedalaman hati kita masing-masing... sebuah lentera akan padam apinya, apabila minyaknya megering, namun jangan pernah padamkan api rohani n kebersamaan melalui persahabatan...

Ruwatan

Ruwatan merupakan salah satu dari sekian banyak upacara tradisional Jawa peninggalan para leluhur. Upacara ritual ruwatan di Jawa menggunakan lakon Murwakala yang mengambil tokoh utama Bathara Kala. Dalam filosofi Jawa, ada orang-orang Sukerta yang dianggap  memiliki potensi untuk ingkar terhadap Tuhan. Mereka dikatakan akan dimakan waktu yang disimbolkan dengan Bathara Kala. Di dunia ini ada yang selalu berputar dan bergerak maju. Jika kita menyepelekannya, maka kita akan dilibasnya habis. Itulah sang waktu. Hakekat hidup kita adalah bahwa  kita harus menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya untuk berbuat kebajikan agar tidak terlibas oleh sang waktu.

Siapa saja yang termasuk bocah sukerta?
Pedoman tentang siapa saja  yang menjadi sasaran  Bathara Kala adalah Serat Murwakala dan Serat Pustaka Raja yang jumlahnya mencapai 171 macam anak. Anak-anak tersebut dianggap kotor, maka harus dibebaskan dengan upacara ruwatan. Daftar anak sukerta antara lain adalah :
1.      Ontang-anting, yaitu anak tunggal
2.      Kadana kadini, yaitu dua anak bersaudara laki-laki dan perempuan
3.      Kembar, yaitu dua anak keluar bersamaan dalam sehari
4.      Jumpita, yaitu bayi lahir belum waktunya (premature)
5.      Uger-uger lawang, yaitu dua putra bersaudara
6.      Sendang kapit pancuran, yaitu tiga bersaudara satu perempuan di tengah.
7.      Pancuran kapit sendang, yaitu tiga bersaudara satu laki-laki di tengah
8.      Saramba, yaitu empat bersaudara laki-laki semua
9.      Sarimpi, yaitu empat saudara puteri semua
10.  Siwah, yaitu anak idiot, dll
Pada dasarnya hampir semua jenis anak mendapatkan sukerta dan harus diruwat. Hal ini menandakan bahwa manusia perlu untuk selalu mengingat sang waktu yang senantiasa berjalan tak henti. Pepatah Arab menyatakan waktu laksana pedang, jika tidak mampu menggunakannya dengan baik maka pedang tersebut akan melibas kita. Tentunya upacara ruwatan yang dipaparkan disini berbeda dengan ruwatan yang dilaksanakan pada jaman sekarang yang biasanya dilakukan oleh seorang dalang sejati atau dalang kondho buwono. Namun esensi dari ruwatan Jawa adalah sebagaimana mendidik dan mengarahkan anak untuk dapat menggunakan hidupnya dengan sesuatu yang positif, sehingga berguna bagi bangsa, negara dan agama.
Kecuali hal tersebut diatas, ada yang perlu diruwat karena perbuatan-perbuatan tercela  yang dilakukan, misalnya :
-         Orang-orang yang tidak pernah menanam benih, akan cepat menimbulkan kerusakan dunia, tidak tahu balas budi
-         Orang yang tidak pernah memberi, akan merusak hubungan social, orang harus timbal balik dengan sesamanya
-         Orang yang selalu bertengkar, orang harus berperasaan lembut, mau berempati terhadap orang lain dan mengoreksi diri sendiri
-         Orang tidak pernah menyapu, tidak menjaga kebersihan dan membahayakan kesehatan
-         Orang yang ceroboh, membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain
-         Orang yang kaya akal tapi licik
-         Orang yang tidak setia dan mau enaknya sendiri
Daftar di atas hanyalah sebagian kecil dari segala perilaku kita yang tercela. Oleh karena itu perlu untuk diingatkan. Orang Jawa mempunyai cara tersendiri untuk menerapkan pendidikan dalam kehidupan bersosial. Cara terselubung sangat biasa digunakan oleh orang Jawa untuk menyatakan sesuatu dengan secara tidak langsung. Upacara ruwatan merupakan cara terselubung untuk memberi pendidikan terhadap anak sukerta dan orang-orang yang melakukan perbuatan tercela agar senantiasa berbuat baik untuk keselamatan diri sendiri dan orang lain

Manunggaling kawula lan gusti

MANUNGGALING KAWULA LAN GUSTI MELALUI NGELMU SANGKAN PARANING DUMADI DAN NGELMU KESEMPURNAAN

A. PENDAHULUAN
1. Untuk menjawab”misteri” tentang “Manungggaling Kawula lan Gusti” terlebih dahulu menelusuri dan memahami beberapa petunjuk “laku” yang perlu diketahui terlebih dahulu sebagai pengetahuan dasar, agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian serta salah perilaku yang harus dipahami dan dimengerti benar-benar teori “laku” untuk mencapai tataran :”Manunggaling Kawula lan Gusti” (menyatunya insane dengan Tuhan Yang Maha Esa). Pada umumnya orang akan mengatakan tidak mungkin, dengan berbagai dalih dan argumentasi. Namun bagi manusia yang telah “Tinar Buka” dan memperoleh petunjuk dari pinisepuh yang telah mumpuni (menguasai ngelmu tersebut) maka kemungkinan itu dipastikan ada dan bias sebab manusia diberikan pengetahuan sedikit tentang rahasia Tuhan. Perbedaan pendapat mengenai hal tersebut pasti ada di samping ada yang bersikap dogmatis.
2. Di sini kita akan mencoba membahas berbagai pengertian dasar yang dikutip dari berbagai kitab suci Al-Qur’an, Kitab Suci Injil, Kitab Suci Weda, dan Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Kaweruh). Ternyata dari sumber-sumber tersebut mempunyai persamaan persepsi. Dengan demikian memberi petunjuk kepada umat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna khususnya bangsa Indonesia melalui leluhur kita yang mewariskan “Ngelmu Adiluhung” kepada kita, sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai dan sejahtera abadi. Karena adanya persepsi yang sama, tujuan yang sama, maka kerukunan antar umat beragama, kerukunan antar pengahayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta kerukunan antar umat beragama dengan penganut kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat diciptakan di Indonesia karena adanya saling pengertian dan kesadaran sebagai sesame umat Tuhan Yang Maha Esa dengan segala ciptaannya. Agama dan Ngelmu Kejawen mempunyai tujuan yang sama, ialah iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan “Ngelmu Kejawen” dilanjutkan dengan “Manunggaling Kawula Lan Gusti”
3. Para leluhur kita dengan buku tuntunan “WEDHA TAMA” telah memberi petunjuk dengan bentuk tembang PUCUNG sebagai berikut : “Ngelmu iku kelakone kanti laku, lekase lawan khas, tegese khas nyantosani, setya budya, pengikise dur angkara” yang artinya (bahwa untuk menguasai ngelmu (ilmu kebatinan dan kesempurnaan) pelaksanaannya / cara mempelajarinya harus dengan ‘laku’ latihan fisik (jasmani dan rohani). Budi yang halus akan mengalahkan watak angkara murka).
4. Adakah ‘Ngelmu’ dan ‘Laku’ untuk mempelajari cara-cara untuk “Menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ngelmu Manunggaling Kawula lan Gusti”? kiranya tidak berlebihan apabila diketengahkan tulisan ini terlebih dahulu mempelajari beberapa macam ajaran, di antaranya :
 Memahami ngelmu sangkan paraning dumadi
 Memahami ngelmu kesempurnaan
 Memahami dan mendalami ngelmu “manunggaling kawula lan gusti”
Dengan penjelasan ini maka cukuplah sebagai pendahuluan, kemana dan dari mana ’ngelmu’ tersebut sampai paham benar dan mengerti arahnya, sehingga tidak tumpang tindih/tumpangsuh, sehingga dapat benar-benar menguasai ‘ngelmu’ tersebut dengan sebaik-baiknya.

B. MEMAHAMI JATIDIRI BERTOLAK DARI NGELMU SANGKAN PARANING DUMADI
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna yang terdiri dari unsur :
– BADAN JASMANI
– BADAN ROHANI (ROH)
Dengan rincian penjelasan sebagai berikut :
• BADAN JASMANI
Badan jasmani terdiri dari 4 (empat) macam unsur sari dari :
1) Sari Bumi / Tanah
2) Sari Api / Panas
3) Sari Air
4) Sari Angin / Nafas
Badan jasmani tersebut oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dianugerahi panca indera sebagai alat komunikasi antara lain :
– Pendengaran melalui telinga
– Pengucap melalui mulut
– Penglihatan melalui mata
– Penciuman melalui hidung
– Perasa/perasaan melalui saraf otak
Badan jasamani tersebut oleh Tuhan Yang Maha Mulia diberi 4 (empat) macam nafsu :
1) Dari unsur Sari Bumi/Tanah : menumbuhkan unsur nafsu LAUWAMAH, yang memiliki sifat jail, serakah, mala, tamak dan sejenisnya.
2) Dari unsur Sari Api/Panas : menumbuhkan unsur nafsu AMARAH yang memiliki sifat beringas, mudah tersinggung, bertindak kekerasan, gelap mata dan lain sebagainya
3) Dari unsur Sari Air : menumbuhkan unsur SUFIAH dimana menumbuhkan hasrat keinginan untuk asmara, meminum minuman keras atau molimo (madat, main, minum, maling, madon) dan sejenisnya.
4) Dari unsur Udara/Nafas : menumbuhkan unsur MUTMAINAH yang memiliki watak narimo, watak suci, watak berbakti, watak kasihan, suka menolong dan lain-lain.
Kedua kelengkapan badan jasmani (panca indera dan nafsu) ini hanya merupakan pelengkap sarana penggerak yang belum sempurna. Padahal manusia diciptakan Tuhan yang paling sempurna, apa kekurangannya?

• BADAN ROHANI
Dalam badan rohani terdapat dua lapis yang terdiri dari Badan Rokh dan Cahaya Tuhan (Nur Muhammmad, lintang tagih, lintang johar, Nur Illahi dan sukma sejati) yang hidup tan kena ing pati. Untuk memperkuat dan meyakinkan kita semua, maka khususnya mengenai badan rohani tersebut dipersilahkan membaca ayat-ayat Kitab Suci antara lain :
1) Baca Al Isra’ (17 ayat 85) yang artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ROKH, katakanlah ROKH itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit saja”. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan manusia tentang Rokh sangatlah sedikit, sangat terbatas, karena merupakan rahasia Tuhan Sang Pencipta Alam semesta dengan segala isinya.
2) Baca Al Hijr (15 ayat 29) yang artinya berbunyi “ Maka apabila aku tekah menyempurnakan dan telah meniupkan kedalam Rokh (ciptaan-Ku), maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud/ bersembahyang.
3) Baca Qaaf (50 ayat 16) : “Dan sesungguhnya Kami telah ciptakan manusia dan mengetahui apa yang telah dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat nadi lehernya” (Utusan Tuhan bersemayam di tempat dekat urat nadi leher manusia, dengan bukti penggerak sepanjang hidupnya). Jadi di samping rokh ada sesuatu yang ditiupkan oleh Tuhan kedalam Rokh yaitu Cahaya Tuhan (Nur Muhammmad, Nur Cahaya, lintang tagih, lintang johar, Nur Illahi dan sukma sejati)
4) Dapat disimpulkan bahwa meskipun manusia hanya diberi pengetahuan sedikit oleh Tuhan tentang rokh, namun dapat disimpulkan bahwa rokh yang bersemayam di dalam tubuh manusia adalah sama dengan CAHAYA TUHAN yang dapat menghidupi manusia. Tanpa CAHAYA tersebut manusia tidak akan hidup. Jadi HURIP TAN KENA ING PATI. Inilah yang harus kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa apabila manusia yang hidup di dunia fana ini MATI.
5) Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber dari pada sumber CAHAYA, adalah SANG HIDUP BESAR, satuan dari MAHA CAHAYA, dimana kilatan/pletikan CAHAYA yang bersemayam dalam diri manusia dapat menghidupi manusia, dapat mempergunakan panca indera dan nafsu untuk melaksanakan dharmanya di dunia. Dapatkah CAHAYA yang ada dalam diri manusia itu kembali kepada sumbernya MAHA CAHAYA? Belum pasti dapat apabila sepanjang hidupnya di dunia tidak mengerti caranya kembali pada sumber MAHA CAHAYA.
6) Baca Yahya (4-24) Injil Kristen, yang berbunyi “Allah itu Rokh adanya, maka orang menyembah Allah wajiblah dengan Rokh dan kebenaran. Makin jelas bahwa manusia bisa hidup karena CAHAYA TUHAN. Maka CAHAYA itulah yang wajib MENYEMBAH Tuhan, dan pada waktunya kembali kepada Tuhan dengan membawa amal perbuatan yang benar di hadapan Tuhan, bukan benar di hadapan manusia.
7) Kebenaran Tuhan adalah kebenaran sejati. Benering bener (pener). Karena hanya dengan kebenaran sejati, Rokh manusia dapat kembali kepada-Nya, setelah mempelajari Ngelmu Sagngkan Paraning Dumadi dan Ngelmu Kesempurnaan, kemudian melatih diri “Mati Sajroning Urip” Belajar mati sewaktu masih hidup di dunia.

C. HAKEKAT TUHAN
1. Baca AN-NUR (24 ayat 35) Al-Qur’an. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya seperti Misykat. Dalam misykat itu ada pelita. Pelita itu dalam kaca. Itu merupakan bintang berkilau dinyalakan dengan pohon yang diberkati. Pohon Zaitun yang bukan di timur atau di barat yang minyaknya hamper-hampir menyala dengan sendirinya, walaupun tidak disentuh oleh api. CAHAYA DI ATAS CAHAYA Allah menuntun cahaya-Nya, siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia. Sesungguhnya Allah mengetahui segalanya.
2. Hakekat CAHAYA.
– NUR (cahaya) yang sebenarnya itu adalah Allah SWT sendiri
– Sebutan CAHAYA bagi selain Dia hanyalah majaz (kiasan/sanepan) sebenarnya tak ada wujud.
3. AN-NISA (4 ayat 174) dari Al Qur’an. Hai manusia telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu dan telah Kami turunkan kepadamu “CAHAYA” yang terang benderang.
4. YAHYA 12-46 (Injil Al-Kitab Kristen) yang berbunyi : AKU (Allah) adalah CAHAYA yang datang di dunia ini, supaya barang siapa yang kenal dengan Aku jangan tinggal di dalam gelap
5. Umat Budha Indonesia menyebut “SANG HYANG ADI BUDHA” bagi Tuhan Yang Maha Esa. SANG HYANG ADI BUDHA sebagai sumber dari semua sumber yang memancarkan sinarnya dan menciptakan dari pada diriNya sendiri 5 (lima) DHYANI BUDHA yang masing-masing mengandung unsur :
a. VAIROCONO : sumber CAHAYA AGUNG
b. AMITABHA : CAHAYA tanpa batas
c. RATNA SANBHAWA : PERMATA alam semesta
d. AMOGASIDHI : Maha Jadi yang tidak mengenal KEGELAPAN
e. AKSOBYA : sumber ketenangan
Dari agama Budha ini juga menggambarkan SANG HYANG ADI BUDHA adalah CAHAYA MAHA CAHAYA. Langgeng tan owah gingsir. Tan kena kinaya ngapa.
6. Umat Hindhu dalam “BHAGAWAD GHITA” menguraikan sebagai berikut : “Beri santaplah yang BERCAHAYA (Brahma Sang Pencipta Alam Semesta seisinya) mudah-mudahan engkau akan dikarunia/berkahi : dari jalan inilah akan tercapai jalan keselamatanmu yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu yang BERCAHAYA diberi santap koraban/sesaji, segala kenikmatan yang diharapkan umatNya”.

D. MEMAHAMI NGELMU KASAMPURNAN
1) Dari beberapa kitab suci tersebut jelaslah memberikan jawaban kepada kita akan kebenaran bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah MAHA CAHAYA, sumber pada sumber CAHAYA. Baik pengertian yang bersumber dari agama-agama maupun pengertian ajaran penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah sama. Bahkan lebih dari itu, ajaran pengahay kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa khususnya :
a. ngelmu sangkan paraning dumadi
b. ngelmu kasampurnan
c. ngelmu manunggaling kawula lan gusti
dapat menghantarkan insan (cahaya Tuhan) manusia kembali pada MAHA CAHAYA Tuhan Yang Maha Esa. Ngelmu ini sejak sebelumnya masuk ke persada bumi nusantara Indonesia telah dihayati sebagai bangsa Indonesia terutama para pemimpin negara (para Ratu/Raja). Oleh karena cahaya hidup yang oleh manusia disebut Nur Muhammad, Lintang Tagih, Lintang Johor, Inti Rokh yang hidup kekal abadi yang wajib kembali pada induk cahaya (Tuhan YME), maka menjadi kewajiban manusia untuk mengembalikan pada induknya. Apakah manusia dapat melaksanakan tugas ini? Jawabanya adalah “TIDAK DAPAT” kecuali telah memperoleh perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai manusia pilihan/pethingan yang hidupnya selalu belajar kembali pada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara “belajar mati sebelum waktunya tiba” atau “sinau mati sajroning urip”. Jika latihan ini telah mahir dan matinya memang karena dipanggil Tuhan Yang Maha Suci untuk kembali kehadirat-Nya, sedangkan benda-benda jasmaninya, nafsu-nafsu, panca indera, dan badan wadhak/tubuh manusia dikembalikan pada unsurnya masing-masing. Maka sempurnalah kematian manusia tersebut di atas.
2) Tidak semua manusia dapat mati sesempurna itu, meskipun ia telah belajar mati sebelum takdir tiba, namun kalau perilakunya di dunia tidak baik mencari kebenaran sejati, maka masih perlu menerima karmanya lagi untuk turun menjadi manusia lagi, yang disebut reinkarnasi. Hanya manusia-manusia terpanggil yang dapat kembali, untuk memenuhi tugasnya yang disebut pemakaman umat Islam “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” yang artinya asalnya dari Tuhan Yang Maha Esa kembalilah kepada Tuhan Yang Maha Esa

Falsafah kejawen

FALSAFAH KEJAWEN

Pewarisan kawruh Kejawen atau falsafah Jawa dari generasi ke generasi berikutnya pada umumnya tidak disertai bahasa yang rasional dan mudah dipahami. Maka, sebagai akibatnya, kawruh Kejawen di masa kini banyak yang tidak dimengerti oleh orang Jawa sendiri. Bahkan kemudian banyak yang menganggap kawruh Kejawen sebagai klenik. Anggapan Kejawen sebagai tahayul atau klenik tersebut sudah pasti tidak nyaman dirasakan bagi kebanyakan orang Jawa. Oleh karena itulah, diperlukan penjelasan-penjelasan yang masuk akal tentang Kejawen guna menepis anggapan minor tersebut.
Untuk itulah, diperlukan sebuah usaha penjelasan sekaligus upaya menggugah kesadaran Jawa untuk kembali memiliki kedaulatan spiritual hingga kembali berjaya dalam peradaban umat manusia. Saatnya Jawa menyumbangkan cita-cita peradaban umat manusia yang ayem tentrem kerta raharja.
Jelas bahwa kawruh Kejawen adalah falsafah hidup orang Jawa. Merupakan sebuah kristalisasi pengalaman hidup orang Jawa sejak zaman prasejarah hingga zaman globalisasi saat ini. Sebagian besar merupakan hasil interaksi dan observasi orang Jawa dengan alam semesta di Pulau Jawa. Sudah barang tentu ditambah hasil interaksi dengan falsafah dan kebudayaan bangsa-bangsa lain yang berdatangan ke Jawa sejak ratusan tahun lalu.
Dikarenakan sifat alam tanah Jawa vulkanis subur, warga masyarakat semenjak dahulu hidup bercocok tanam. Cara hidup agraris menjadi nuansa falsafah dan kebudayaan orang Jawa selalu selaras dengan suasana agraris yang mengutamakan mencapai kondisi masyarakat yang laras, ayem tentrem, dan rukun. Dengan demikian, tumbuh kembangnya naluri nalar dan rasa pangrasa orang Jawa selalu memuat tujuan dan upaya mencapai situasi dan kondisi masyarakat yang laras ayem tentrem kerta raharja dan rukun. Karena memiliki dasar tujuan yang seperti itu, maka menjadikan orang Jawa memiliki watak lower dan bisa menerima siapa saja sebagai saudara.
Karena memiliki toleransi yang kuat, orang Jawa bisa menerima dengan baik masuknya falsafah dan kebudayaan bangsa lain. Selanjutnya malah bisa membaur dengan rukun. Konon orang Jawa pandai mensinergikan falsafah dan kebudayaan aslinya dengan semua falsafah dan kebudayaan lain yang diterima. Kejawen merupakan tuntunan atau ajaran hidup yang di dalamnya termasuk konsep kebertuhanan orang Jawa. Maka Kejawen juga mencakup masalah hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta seisinya yang khas orang Jawa. Sedemikian rumit dan luas cakupan Kejawen sehingga pada masa kini masyarakat Jawa sendiri banyak yang tidak memahami Kejawen itu sendiri. Bahwa teologi, mitologi, kepercayaan, tradisi, dan adat Jawa adalah masuk akal sering diabaikan, dianggap yang tidak-tidak. Oleh karena itulah, perlu pemahaman agar ada saling pengertian antar komponen bangsa.
Apapun anggapan orang tentang Kejawen, kenyataannya sejauh ini Kejawen sudah berhasil mengampu perjalanan masyarakat Jawa sejak ribuan tahun yang lalu hingga kini. Maka Kejawen pasti memiliki sisi positif. Buktinya Jawa merupakan salah satu bagian bumi yang padat penduduknya. Posisi Jawa untuk Indonesia sangat penting. Pulau Jawa yang luasnya cuma 6 persen luas daratan Indonesia, namun menampung 60 persen penduduk Indonesia. Dengan demikian, jelas bisa dibuktikan bahwa situasi dan kondisi di Jawa sangat nyaman bagi umat manusia untuk berkembang biak dan bermukim.
Kenyamanan itu salah satu penyebabnya adalah sistem kemasyarakatan Jawa yang beradab serta tidak senang konflik. Sistem kemasyarakatan sudah pasti terbangun oleh adanya falsafah hidup masyarakat yang tidak lain kawruh Kejawen. Begitu rupa beradab dan berbudayanya Jawa sehingga di pulau ini ada peninggalan tempat melaksanakan ritual agama seperti Borobudur yang megah dan Candi Prambanan yang anggun. Indah dan populis
Yang sangat menarik adalah berkembangnya agama Islam yang tumbuh subur di Jawa sampai-sampai dinyatakan bahwa umat Islam terbesar dalam jumlah di dunia ini adalah Indonesia. Perlu diingat bahwa 60 persen penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam tinggal di Jawa. Ingat juga tradisi halalbihalal pada hari raya Idul Fitri yang dikembangkan dari tradisi sungkeman khas Jawa. Selanjutnya berkembang pula menjadi tradisi mudik yang khas Jawa. Makna hari raya besar Islam ini menjadi indah dan populis. Kalau dikatakan bahwa Jawa sebelum masuknya agama-agama dari Asia daratan merupakan “zero zone” budaya kiranya tidaklah masuk akal. Karena banyak produk budaya Jawa yang kemudian mewarnai kebudayaan- kebudayaan Hindu, Budha, dan Islam. Di antaranya bangungan-bangunan candi dan masjid di Jawa yang khas dan tidak diketemukan di tempat asal agama-agama tersebut. Demikian pula produk kesenian Jawa berupa gamelan, wayang, seni tari, batik, dan lain sebagainya jelas merupakan asli Jawa yang mempunyai kualitas dunia.
Begitu kayanya ragam budaya Jawa yang merupakan hasil kreativitas masyarakat Jawa. Keragaman tersebut juga atas pengaruh kebudayaan pendatang sehingga tidak mudah menelusuri dan memilah serta memilih untuk menemukan yang asli Jawa. Namun begitu, masih bisa dikenali mengapa Jawa bisa menjadi media subur untuk tumbuh kembangnya agama-agama besar di dunia.
Meskipun cakupan falsafah Jawa atau kawruh Kejawen sedemikian luas meliputi seluruh aspek kehidupan, ada beberapa pokok pandangan Jawa yang bisa dijadikan wacana dialog peradaban dan budaya. Pandangan atau konsep dasar falsafah Jawa meliputi adanya Tuhan, jagat raya, asal-usul manusia, mitologi Jawa, tata peradaban dan laku budaya, tata penanggalan dan basa atau carakan Jawa. Berpijak pada konsep Jawa tersebut maka bisa dipaparkan sumbangan pemahaman dan pandangan atau paradigma baru tentang wawasan kebangsaan kita. Bahkan, besar kemungkinan untuk menopang tegaknya peradaban Nusantara di mata dunia.
Bahwa sampai saat ini peradaban dan budaya Bali telah mampu menundukkan hati nurani umat manusia seluruh dunia, maka Jawa yang memiliki akar peradaban dan budaya yang sama dengan Bali pasti mampu pula menundukkan hati nurani dunia. Kalau Bali diakui sebagai Pulau Dewata, maka meminjam istilah Prof Dr Damarjati, Jawa bisa jadi Tamansarinya dunia
Dalam literatur dan kaidah kebudayaan Jawa tidak ditemukan adanya pakem dalam kalimah doa serta tata cara baku menyembah Tuhan. Dalam budaya Jawa dipahami bahwa Tuhan Maha Universal dan kekuasaanNya tiada terbatas. Kejawen bukanlah agama, dalam falsafah kejawen yang ada hanyalah wujud “laku spiritual” dalam tataran batiniahnya, dan “laku ritual” dalam tataran lahiriahnya. Laku ritual merupakan simbolisasi dan kristalisasi dari laku spiritual. Ambil contoh misalnya mantra, sesaji, laku sesirih (menghindari laku pantangan) serta laku semedi atau meditasi. Banyak kalangan yang tidak memahami asal usul dan makna dari semua itu, lantas begitu saja timbul suatu asumsi bahwa mantra sama halnya dengan doa. Sedangkan sesaji, laku sesirih dan laku semedi dipersepsikan sama maknanya dengan ritual menyembah Tuhan. Asumsi dan persepsi ini salah besar. Menurut para pengamat, kaum akademisi dan budayawan, ada suatu unsur kesengajaan untuk mempersepsikan dan mengasumsikan secara tidak tepat dan melenceng dari makna yang sesungguhnya. Semoga hal itu bukan termasuk upaya politisasi sistem kepercayaan, untuk mendestruksi budaya Jawa yang sudah “mbalung sungsum” di kalangan suku Jawa, dengan harapan supaya terjadi loncatan paradigma kearifan lokal kepada paradigma asing yang secara naratif menjamin surga. Awal dari penggeseran dilakukan oleh bangsa asing yang akan menjalankan praktik imperialisme dan kolonialisme di bumi nusantara sejak ratusan tahun silam. Baiklah, terlepas dari semua anggapan, asumsi maupun persepsi di atas ada baiknya dikemukakan wacana yang mampu mengembalikan persepsi dan asumsi terhadap ajaran kejawen sebagaimana makna yang sesungguhnya. Setidaknya, kejawen dapat menjadi monumen sejarah yang akan dikenang dan dikenal oleh generasi penerus bangsa ini. Agar menumbuhkan semangat berkarya dan nasionalisme di kalangan generasi muda. Di samping itu ada kebanggaan tersendiri, sekalipun zaman sekarang dianggap remeh namun setidaknya nenek moyang bangsa Indonesia pernah membuktikan kemampuan menghasilkan karya-karya agung bernilai tinggi.

MELURUSKAN MAKNA
Mantra tidaklah sama maknanya dengan doa. Bila doa merupakan permohonan kepada Tuhan YME, sedangkan mantra itu umpama menarik picu senapan yang bernama daya hidup. Daya hidup manusia pemberian Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian sesaji, laku sesirih (mencegah) dan laku semedi memiliki makna tatacara memberdayakan daya hidup agar dapat menjalankan kehidupan yang benar, baik dan tepat. Yakni menjalankan hidup dengan mengikuti kaidah “memayu hayuning bawana”. Daya kehidupan manusia menjadi faktor adanya aura magis (gelombang elektromagnetik) yang melingkupi badan manusia. Aura magis memiliki sifatnya masing-masing karena perbedaan esensi dari unsur-unsur yang membangun menjadi jasad manusia. Unsur-unsur tersebut berasal dari bumi, langit, cahya dan teja yang keadaannya selalu dinamis sepanjang masa. Untuk menjabarkan hubungan antara sifat-sifat dan esensi dari unsur-unsur jasad tersebut lahirlah ilmu Jawa yang bertujuan untuk menandai perbedaan aura magis berdasarkan weton dan wuku.
Aura magis dalam diri manusia dengan aura alam semesta terdapat kaitan erat. Yakni gelombang energi yang saling mempengaruhi secara kosmis-magis. Dinamika energi yang saling mempengaruhi mempunyai dua kemungkinan yakni pertama; bersifat saling berkaitan secara kohesif dan menyatu (sinergi) dalam wadah keharmonisan, kedua; energi yang saling tolak-menolak (adesif). Laku sesirih (meredam segala nafsu) dan semedi (olah batin) merupakan sebuah upaya harmonisasi dengan cara mensinergikan aura magis mikrokosmos dalam kehidupan manusia (inner world) dengan aurora alam semesta makrokosmos (lihat juga dalam posting “Sejatinya Guru Sejati”). Agar tercipta suatu hubungan transenden yang harmonis dalam dimensi vertikal (pancer) antara manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal yakni manusia sebagai jagad kecil dengan jagad besar alam semesta.

PRINSIP KESEIMBANGAN, KESELARASAN & HARMONISASI
Sesaji atau sajen jika dipandang dari perspektif agama Abrahamisme, kadang dianggap berkonotasi negatif, sebagai biang kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Tapi benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini ? Seyogyanya jangan lah terjebak oleh keterbatasan akal-budi dan nafsu golek menange dewe (cari menangnya sendiri) dan golek benere dewe (cari benernya sendiri). Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun makhluk gaib. Dengan kata lain sesaji merupakan harmonisasi manusia dalam dimensi horisontal terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap diri) sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri paling mulia di antara makhluk lainnya. Karena kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal-budi dalam diri kita sendiri. Bila akal-budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi bangkrut, masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling hina.

HARMONI & KESELARASAN MERUPAKAN WAHYU TUHAN
Dalam konteks kebudayaan Jawa, wahyu diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia Tuhan yang diperoleh manusia secara gaib. Wahyu juga tidak dapat dicari, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan, sedangkan manusia hanya dapat melakukan upaya dengan melakukan mesu raga dan mesu jiwa dengan jalan tirakat, bersemadi, bertapa, maladihening, dan berbagai jalan lain yang berkonotasi melakukan laku batin. Tapi tidak setiap kegiatan laku batin itu akan mendapatkan wahyu, selain atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan wahyu menurut kamus Purwadarminta mempunyai pengertian suatu petunjuk Tuhan atau ajaran Tuhan yang perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya. Dalam konteks budaya Jawa, wahyu dipandang sebagai anugrah Tuhan yang sekaligus membuktikan bahwa Tuhan bersifat universal, Mahaluas tanpa batas, dan Tuhan yang Mahakasih tidak akan melakukan pilih kasih dalam menorehkan wahyu bagi siapa saja yang Tuhan kehendaki. Falsafah Jawa memandang suatu makna terdalam dari sifat hakekat Tuhan yang Maha Adil, yang memiliki konsekuensi bahwa wahyu bukanlah hak atau monopoli suku, ras, golongan, atau bangsa tertentu.
Mekanisme kehidupan di alam semesta adalah bersifat dinamis. Dinamika kehidupan berada dalam pola hubungan yang mengikuti prinsip-prinsip keharmonisan, keseimbangan, atau keselarasan (sinergi) jagad raya seisinya. Dinamika dan pola hubungan demikian sudah menjadi hukum atau rumus Tuhan Yang Maha Memelihara sebagai ANUGRAH terindah kepada semua wujud ciptaanNYA, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.

WAHYU PURBA
Anugrah tersebut dalam terminologi Kejawen dikenal istilah Wahyu Purba. Kata Purba, menurut kamus Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba mempunyai pengertian, Dewa Wisnu atau sama hakekatnya dengan kebenaran Illahiah, adalah bersifat memelihara. Ini suatu pelajaran hidup yang mengandung “rumus Tuhan” bahwa di dalam kehidupan alam semesta dengan segala isinya termasuk juga manusia, semua dipelihara oleh kebenaran sejati, yakni kebenaran Illahi. Di mana kehidupan alam semesta dan manusia akan mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman, kebahagiaan dan kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan ditegakkan dengan baik dan benar.
Walaupun manusia percaya bahwa hidup ini dipelihara oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga terdapat ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan mengganggu keselarasan, kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan. Semua itu terjadi sebagai akibat “kenekadan” manusia melakukan pelanggaran hukum kebenaran. Untuk memelihara ketenteraman dan kesejahteraan dunia maka dewa Wisnu turun ke dunia menitis pada Prabu Arjunawijaya (Arjunasasrabahu) raja Negara Maespati, dan kepada Ramawijaya, raja Negara Ayodya.

WAHYU DYATMIKA
Barang siapa yang berhasil membangun harmonisasi dan sinergi atau keselarasan energi antara “jagad kecil” yang ada di dalam diri pribadi (inner world) dengan “jagad raya” disebut sebagai orang yang sudah memperoleh wahyu dyatmika. Dyatmika berarti batin, atau hati, wahyu dyatmika artinya wahyu Tuhan yang diterima seseorang untuk memiliki daya linuwih meliputi daya cipta, daya rasa, dan daya karsa yang disebut sebagai prana. Prana dalam terminologi Jawa berbeda dengan perguruan tenaga prana sebagaimana dikenal masyarakat sebagai seni bela diri dan olah tenaga dalam.

HUBUNGAN MANTRA DENGAN PRINSIP KESELARASAN

Mantra adalah Teknologi Kuno
Perlu kami tegaskan lagi bahwa mantra BUKANLAH DOA, akan tetapi merupakan sejenis SENJATA atau ALAT berujud kata-kata atau kalimat sebagai “teknologi spiritual” tingkat tinggi hasil karya leluhur nusantara di masa silam. Mantra dibuat melalui tahapan spiritual yang tidak mudah, bentuknya laku prihatin, perilaku utama dan maneges kepada Tuhan, yang ditempuh dengan cara tidak ringan. Hasilnya beragam, secara garis besar ada dua jenis mantra (baca; senjata) yakni;
1. Khusus menurut fungsinya; hanya dapat digunakan untuk keperluan tertentu misalnya menaklukkan musuh di medan perang. Atau diperuntukkan sebagai alat “medis” sebagai mantra untuk penyembuhan.
2. Mantra khusus menurut sifatnya; dibagi dua; pertama, mantra yang hanya dapat BEKERJA jika digunakan untuk hal-hal sifatnya baik saja. Mantra jenis ini tidak dapat disalahgunakan untuk hal-hal buruk oleh si pemakai. Mantra jenis ini paling sering digunakan di lingkungan kraton sebagai salah satu tradisi turun temurun. Kedua; mantra yang bersifat umum, bebas digunakan untuk acara dan keperluan apa saja tergantung kemauan si pemakai. Ibarat pisau dapat digunakan sebagai alat bedah operasi, alat memasak, atau disalahgunakan untuk mencelakai orang. Namun mantra jenis ini setiap penyalahgunaannya pasti memiliki konsekuensi yang berat berupa karma atau hukuman Tuhan yang dirasakan langsung maupun kelak setelah ajal.
Citra Buruk Karena Pemahaman Yang Salah Kaprah
Terdapat pula kesalahan memaknai mantra secara simpang siur; di mana mantra dianggap sebagai hal yang selalu berhubungan dengan setan/makhluk halus dan bersifat negatif/hitam. Misalnya lafald komat-kamit yang diucapkan seorang dukun santet, itu bukanlah sejenis mantra, namun password atau kata kunci, atau kode isyarat berupa kata-kata untuk memanggil sekutunya yakni sejenis jin, “setan” atau makhluk gaib sebagai pesuruh agar mencelakai korbannya. Perlu saya luruskan bahwa yang demikian ini, bukan termasuk mantra. Lalu apakah substansi dari mantra itu sendiri ? Baiklah, berikut ini kami berusaha mendeskripsikan kronologi dan proses bagaimana mantra (teknologi kuno) dapat diciptakan oleh manusia zaman dulu yang banyak dicap menganut faham religi primitif.
Hamemayu Hayuning Bawono & RAT, serta Pangruwating Diyu
Di atas telah kami singgung sedikit mengenai PRANA, sebagai sinergisme dan harmonisasi energi vertikal-horisontal, mikro-makro kosmos, inner wolrd dengan alam semesta, jagad kecil dengan jagad besar. Mantra merupakan salah satu bentuk pendayagunaan prana. Khusus untuk mantra umum, agar supaya siapapun yang memanfaatkan mantra umum tidak menyalahgunakannya untuk hal-hal yang negatif, ajaran Jawa menekankan keharusan eling dan waspada. Sikap eling dan waspada akan memelihara seseorang dalam mendayagunakan prana yang berwujud mantra yang dimanfaatkan untuk kebaikan hidup bersama menggapai ketentraman dan kesejahteraan. Yang paling utama bilamana semua jenis mantra ditujukan sebagai upaya untuk keselarasan dan harmonisasi alam semesta dalam dimensi horisontal dan vertikal dengan Yang Transenden. Mantra adalah salah satu bentuk pencapaian dalam pergumulan laku spiritual “Sastra Jendra” sedangkan tujuannya yang mulia menjadi makna di balik “Hamemayu hayuning Rat, hamemayu hayuning bawono, lan pangruwating diyu” (lihat posting; “Puncak Ilmu Kejawen”). Menjadi satu kalimat dalam falsafah Jawa tingkat tinggi yakni “Sastra jendra, hayuning Rat, pangruwating diyu”. Yang tidak lain untuk menyebut pencapaian spiritual dalam konteks kemanunggalan diri dengan alam semesta (Hamemayu hayuning Bawono). Dalam rangka panembahan pribadi dimanifestasikan budi pekerti luhur (Hangawula kawulaning Gusti/Pangruwating diyu), keduanya BERPANGKAL dan BERUJUNG pada panembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu hayuning Rat). Dengan kata lain budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni; jagad kecil (pribadi) dan jagad besar manembah kepada Tuhan YME.
Bentuk panembahan dalam pada tingkat tata lahir (sembah raga/syariat) dimanifestasikan dalam berbagai kearifan budaya yang menampilkan berbagai keindahan tradisi misalnya; upacara ruwat bumi seperti garebeg, suran, nyadranan, apitan dan sebagainya. Atau berbagai upacara kidungan, ritual gamelan, bedhaya ketawang, dan seterusnya. Intinya adalah rasa kebersamaan dalam manembah pada tingkat tata batin (sembah jiwa), menyatukan kekuatan hidup atau prana kehidupan untuk mewujudkan mantra-agung (mahamantra) yakni sastra jendra yang berfungsi membangun keseimbangan (balancing) dan keselarasan (harmonic) antara aura spiritual manunsia dengan aura spiritual jagad raya seisinya. Tujuan utama dari balancing dan harmonic jelas sekali jauh dari tuduhan subyektif musrik maupun bid’ah, jelas ia sebagai bentuk konkritisasi doa untuk mohon keselamatan bagi alam semesta dan seluruh isinya.
Sayang sekali, zaman semakin berubah, perilaku budi daya yang memiliki nilai kearifan (wisdom) yang tinggi, telah banyak ditinggalkan orang Jawa sendiri. Alasannya demi mikul duwur mendhem jero falsafah dan budaya asing. Atau takut oleh tuduhan-tuduhan subyektif, yang hanya berdasar prasangka buruk (su’udhon), dan tidak berdasarkan metode ilmiah maupun informasi lengkap dan jelas. Sebuah nasib yang tragis ! Tradisi yang masih dapat dijalankan pun akhirnya hilang nilai kesakralannya. Grebeg, suran, sadranan, apitan telah melenceng dari nilai luhur yang sesungguhnya yakni menyatukan prana kehidupan. Sebaliknya tradisi tersebut hanya sekedar menjadi tontonan murahan, menjadi kebiasaan yang diulang-ulang (custom), pemerintah melestarikan tardisi hanya karena bermotif materialistis laku dijual, dan menjadi daya tarik turis asing karena mungkin dianggap aneh dan lucu saja. Seaneh dan selucu cara bangsa ini memandang dan memahaminya.
Itulah, wujud “sejati” wong Jawa kang kajawan (ilang jawane), rib-iriban. Manusia telah menjadi seteru Tuhan, karena telah melanggar rumus (hukum) kodratulah, yakni harmonisasi dan keseimbangan alam semesta. Rusaknya prinsip keseimbangan alam semesta berakibat fatal dan kini dapat kita rasakan dan saksikan sendiri; hujan salah musim, jadwal musim kemarau-penghujan tidak disiplin, kekeringan, kebakaran, banjir, tanah longsor, elevasi suhu bumi, distorsi cuaca, hutan gundul, sungai banyak kering, satwa liar semakin langka dan mengalami kepunahan. Distorsi musim mengakibatkan gagal panen, hama tanaman, wabah penyakit aneh-aneh (pagebluk), serangan hawa panas dan hawa dingin secara ekstrim (el

Rabu, 18 Maret 2015

Sangkan paraning manungsa(sangkanparan) urep ana nang paran paran

SANGKAN PARANING MANUNGSA

SANGKAN PARANING MANUNGSA

SIPAT RONG PULUH
BISA DADI GURU ILMU TANPA GURU

DIKARANG DENING :
Rd. Mugihardjo
Al. Mbah Lantip

TJAP²AN KANG KATIGA.


DIBABAR DENING :

Toko Buku  “KENG”

Djl. Mataram 133 – Semarang.


























BEBUKA

Para maos kang minulja, buku gantjaran Sipat Rongpuluh utawa Sangkan Paraning Manungsa, utawa ing sédjé tembung diarani Sangkan Paraning Dumadi.

Sengadja dak ontjèki nganggo tembung ngoko, iku mung murih nggampangaké para sedulur sing pada matja, ing pangangkah adja nganti anduwèni pikiran kang mbingungaké, amargo arep dak terangaké kang sarana blak-blakan, adja was sumelang marang katranganku kang dak printji sarana tatanan kang ganep.

Sanadjan aku wis ngarani ganep, nanging bab ganeping unèn-unèn, éwa semono isih ana kang winadi, jaiku bab kang diarani, ana padang, bjar padang terawangan, nanging dudu padanging lampu lan dudu padanging Srengéngé, uga dudu padanging Rembulan, gumantung tanpa tjantèlan. Bab iki kang ana walaté gedé banget, kudu dilakoni dening wong loro, kang marahi lan kang diwarahi, ateges ana ing papan pamedjangan. Jèn nganti kena ditulis kabèh ana ing buku, mangkono mau wis dudu djeneng kawruh kebatinan, mula ana kang kineker.

                                                                  Surabaja, Slasa Legi ping 30-6-1959.



Buku iki gandèngané.

Djilid 1.  Primbon Kelahiran Djangkep.
    ,,    2.        ,,       Nasib Manungsa.
    ,,    3.        ,,       Nudjum Djawa Sedjati.
    ,,    4.        ,,       Tjakramanggilingan.
    ,,    5.        ,,       Mustikaning Kidungan.
    ,,    6.        ,,       Pulanggeni.







Bab pambukaning aksara Djawa.

Aksara Ha = Tegesé  Hurip/Ana urip.
Urip iku ora ana kang nguripi, urip idjèn, urip langgeng ora kena ing Pati. Nguripi sakabèhing kahanan.

Aksara Na = Tegesé Nur.
Nuring Gusti dumunung anèng sipating Manungsa.

Aksara Tja = Tegesé Tjahja.
Tjahjaning Gusti dumunung anèng sipating Manungsa.

Aksara Ra = Tegesé Roh.
Rohing Gusti dumunung anèng sipating Manungsa.

Aksara Ka = Tegesé Kumpul.
Kumpuling Gusti dumunung anèng sipating Manungsa.

Aksara Da = Tegesé Dat.
Dating Gusti dumunung anèng sipating Manungsa.

Aksara Ta = Tegesé Tes.
Tesing Gusti dumunung anèng sipating Manungsa.

Aksara Sa = Tegesé Sidji.
Gusti Allah mung sidji ora ana kang madani.

Aksara Wa = Tegesé Wudjud.
Wudjuding Gusti dumunung anèng sipating Manungsa, jèn wis wetengan 9 sasi bandjur lair djabang baji.

Aksara La = Tegesé Langgeng.
Gusti Allah Langgeng ing salawas-lawasé.

Aksara Pa = Tegesé Papan.
Papaning Gusti angebaki ing djagad.

Aksara Dha = Tegesé Dawuh.
Dawuhing Gusti dumunung anèng lèsaning Adam, jaiku Manungsa kang utama.

Aksara Dja = Tegesé Djasat.
Djasating Gusti dumunung anèng sipating Manungsa kang utama.

Aksara Ja = Tegesé dawuhing Allah.
Gusti Allah tansah neksèni marang kareping Manungsa, Ala lan Betjik ngagem pangandika “JA”.

Aksara Nja = Tegesé Pasrah = / ngulungaké.
Gusti Allah kalajan éklas ngulungaké kang wis tjumawis ana ing ngalam donja.

Aksara Ma = Tegesé Marga/dalan.
Gusti Allah wis paring  Marga marang Manungsa sing ala lan sing betjik.

Aksara Ga = Tegesé Gaib.
Gaibing Gusti dumunung anèng sipating Manungsa.

Aksara Ba = Tegesé Babar.
Babaring Manungsa saka Gaibing Gusti.

Aksara Ta = Tegesé Tukul.
Tukuling Gaib, saka karsaning Gusti. Gaib ana paribasan. Adoh tampa wangenan tjedak tampa sènggolan, ana rerupan mantjorong tan kena digrajang, gedene samritja binubut, jaiku Gaibing Gusti.

Aksara Nga = Tegesé Ngalam kang Gumilang.
Gumilanging Gusti/Gaibing Gusti ana rerupan kang Gumilang.

Bab Aksara 20 kang digandèng.

1.      Ha                   +                      Nga                 =                      Hanga  tegesé  Hangen-hangen.
2.      Na                   +                      Ta                                =                      Nata                            ,,        Nutuk.
Tja                   +                      Ba                                =                      Tjaba                           ,,        Tjoblong.
Ra                    +                      Ga                               =                      Raga                            ,,                      Awak.
Ka                   +                      Ma                   =                      Kama                           ,,                      Kama/widji.
Da                   +                      Nja                  =                      Danja                           ,,                      Donja.
Ta                    +                      Ja                                 =                      Taja                             ,,                      Toja/banyu
Sa                    +                      Dja                  =                      Sadja                           ,,                      Sidji.
Wa                   +                      Da                               =                      Wada                           ,,                      Wadah.
La                    +                      Pa                                =                      Lapa                            ,,                      Lampus/mati.







Bab tegesé Aksara 20 kang wis digandèng.

Angen-angen = tegesé kang diarani Pantja Drija. Pantja tegesé 5 = jaiku kang diarani angen-angen 5 prakara kajata :

a.       Angen-angen kang dumunung ana ing bun-bunan kanggo mikir sakabèhing kahanan.
b.      Angen-angening mripat mung kanggo ndeleng sekabèhing kahanan.
c.       Angen-angening kuping mung kanggo ngrungokaké suwaraning kahanan.
d.      Angen-angening irung mung kanggo ngambu sakabèhing kahanan.
e.       Angen-angening lesan (tjangkem) kanggo ngrasakaké pangandu. Wis djangkep limang prakara, kang diarani Pantja  drija utawa kang diarani bagean Kéblat Papat kalima pantjer kang dumunung ana ing Sirahing Manungsa utawa kasebut Bental Mukaram.

Bab kang diarani Nutuk lan Tjoblong (Bolong).

Tembung loro kang kasebut ing nduwur ngemu wadahing antarane Prija lan Wanita nalikané ulet rasa dadi sidji. Jaiku anané tembung “Kun” tegesé Prija lan Wanita pada ngetokaké tembung Ja ! lan Ajo! Lan Gelem.

Bab kang diarani Raga/Awak.

Tembung Raga (Ragangan) kareping Prija lan Wanita nalika ulet rasa dadi sawidji pada karepé njipta raganganing Awak supaja bisa kabul duwé turun.

Tembung kang diarani Kama.

Bab tembung “Kama” tumrap Prija lan Wanita kaja-kaja wis ora kesamaran manèh, amarga wis pada kanggonan lan wis pada mangerti. Aning Raga kang kasebut ing Bab 3, bisané dadi widji amarga saka Kama. Kama diarani awang uwung.

Bab kang diarani Donja.

Tembung Donja mungguh tegesé, kaja kang kasebut ing Bab 4 sawisé sawidji, widji mau bisa dadi bakal katurunaké ing Donja (Ngalam donja) mungguh gamblanging manèh, saking Kresaning Gusti Allah : saka ing Kahajangan katurunaké ing Ngretja Pada, jaiku ing Ngalam donja.

Bab kang diarani Taja.

Tembung Taja tegesé, nalika ana Baji lair, kang luwih disik mung dipetuk Banju (toja), mula saka iku Banju iku kang luwih tuwa déwé, utawa kang kasebut Mutmainah, ing mburi uga bakal dak terangaké.

Bab kang diarani “Sidji”.

Tembung Sidji, Baji kang lagi lair iku lumrahé ja mung Sidji, déné jèn ana baji lair nganti loro (kembar) iku sedjatiné mung saka kaélokané utawa Kanugrahaning Sing Maha Kuwasa.

Bab kang diarani Wadah.

Tembung Wadah, ing nalika Hardaning Prija lan Wanita, nalika uleting Rasa dadi Sawidji, ing kono kang diarani isi golèk wadah, nanging adja klèru panampa wadah golèk isi, amarga saka tembung lumrah, wadah karo isi iku panganggepé tuwa Wadah, nanging sedjatiné tuwa isi. Mungguh terangé mangkéné,jaiku omah. Déné omah iku sedjatiné wadah, bandjur dienggoni uwong. Déné wong (Manungsa) dak upamakaké isi, dadi ja wis terang banget, jèn sing butuh wadah iku isi, tegesé sing butuh panggonan isiné. Nanging dudu panggonan nggolèki isiné. Bab iki perlu dak terangaké manèh, supaja adja nganti isih ana kang bingung panampané. Buktiné jèn sing butuh wadah mau Si Isi. Jèn ana wong mati kaé  rak ditinggal Isi (Urip). Jèn rumangsa wadah luwih tuwa tinimbang Isi (Urip) mbok ija ragané bengok-bengok adja gelem ditinggal, apa manèh jèn sing ditinggal mau isih enom, isih akèh kesenengané, mbok adja gelem, malah mung meneng waé. Ja apa ora para maos ? Bener lan salahé katranganku mung dak pasrahaké pandjenegan kabèh. Dadi adja sok udur bab tuwaning wadah lan isi. Sebab sok wonga, bab ananing wadah lan isi iku diaréné tuwa isi. Mbok ja di priksa ananging tembung kang uniné mangkéné Sadurungé Djagat dumadi isih awang-uwung ora ana apa-apa, sing Djumeneng mung Ingsun tegésé anané mung Urip/Gusti Allah.
Ana katrangan manèh, jèn kersa manggalih sing tenan (sing temen-temen) nalika uleting rasa Prija lan Wanita iku tegesé isih awang-uwung, bandjur nibakaké widji (urip), déné widji kang tiba mau, jèn olèh wadah bisa lair djabang baji, nanging jèn ora olèh wadah, nandakaké ora katrima ateges isih suwung, nanging Si Urip tetep ana tegesé Si Isi. Ana ing ngendi dunungé Si Isi ? Jaiku ana Bapa lan bijung. Selawasé Bapa lan bijung isih urip, selawasé isih bisa nibakaké isi.

Bab kang diarani Lampus/Mati.

Tembung Mati, tegesé mangkéné, sekabèhing kahanan kang diarani Urip, bisa mobah mosik, jèn ditinggal uripé, diarani Mati, tembung iki sedjatiné tembung lumrah, nanging salah kaprah. Mungguh tembung sing sabeneré ora mati, nanging bali menjang asalé tegesé, sarèhning Manungsa iku asalé siraga saka lemah, ja bali menjang lemah (njang kuburan). Déné Si Urip, sarèhning asal saka Suwung ja bali menjang Suwung (awang-uwung). Nanging kang diarani Suwung sedjatiné ana. Bab iki ora kena katulis amarga walaté gedé banget ora kena kanggo sembarangan.

Bab Kéblat Papat kalima Pantjer ing Rasa.

Ing nduwur wis ana katrangan bab ananing Kéblat Papat kang dumunung ana ing Béttal Muharam, ing ngisor iki babarané bab Kéblat papat kalima pantjer kang dumunung ana ing Rasa, kajata.

1.      Kang tuwa déwé jaiku kang djenengé Mutmainah Wudjudé Banju, rupané putih, wateké sutji/kang sutji tegesé kang temen déwé, lawangé ana ing Irung, pérangan awak iku kang temen déwé ja mung Irung, umpamané mangkéne, ana tanggané nggorèng gerèh, mripaté durung weruh, nanging Irungé wis mambu disik, umpamané dinjatakna ja gorèng gerèh temenan, lan lija-lijané. Ewa semono uga isih bisa goroh, tegesé mangkéné, trasi iku ambuné ora ènak, nanging rasané ènak, njatané dibutuhaké wong akèh, kang kapindo, kembang iku ambuné wangi, nanging jèn dirasakaké pait, lan lija-lijane.

Mutmainah iku lungguhé ana ing Djantung.

2.      Kang nomer Loro kang diarani Amarah, Wudjudé Getih (Rah) rupané abang, wataké keras, angkara murka, brangasan, jèn duwé kekarepan prasasat ora kena diendakaké ateges bregudul, lawangé ana ing Kuping. Katrangané mangkéné, sekabèhing wong bisané ngrasakaké tembung ala lan betjik amarga duwé kuping, kang kupingé ora budeg, upama ana wong dipisuhi bandjur nesu, amarga kupingé isih krungu, lan sapanunggalané. Manungsa bisa duwé kekarepan ala lan betjik amarga saka dajaning getih, amarga getih iku, kang mobah mosiking kareping Manungsa. Manungsa tanpa duwé getih abang, kahananing Djahat ora bakal ramé kaja kang kita lungguhi saiki, tanpa ramé ateges isih suwung sepi njejet.

Amarah iku lungguhé ana ing amperu (Peru).

3.      Kang nomer telu, kang diarani Supijah, wudjudé angin, rupané kuning, wataké kanggo ngudja kasenengan utawa ngumbar hawa napsu, lawangé ana ing Mripat, déné mripat iku kang diarani lananging djagad, djalaran Manungsa jèn mripaté wuta, ora weruh apa-apa, ateges mati oboré, jèn ana apa-apa sing krungu mung kupingé, samono uga jèn kupingé ora budeg. Mripat gunané kanggo ndeleng barang kang gumelar, bisané duwé pepinginan amarga saka mripaté sing weruh, bisané nggelaraké djagat ja saka weruhing mripat, wudjuding angin kang metu saka ing Irung.

Lungguhing Angin ana ing Pusuh.

4.        Kang nomer papat kang diarani Aluamah wudjudé Lemah, rupané Ireng, wataké mung seneng ngrasakaké Panganan (mung seneng mangan). Lawangé ana ing lèsan (tjangkem). Déné tjangkemé  iku kanggoné mung kanggo mangan lan guneman. Kanggo ngrasakaké panganan énak lan sing ora énak, kanggo guneman tembung kang apik lan kang ora betjik. Mulané Manungsa iku bisané slamet lan ora slamet jèn tumrap menjang tembung, mung saka uniné déwé. Mula saka iku si pengarang atur pamrajoga, pada-pada ngetokaké tembung (gunem) tinimbang lambé mau kanggo ngetokaké tembung sing rusuh-rusuh sing ala-ala ora pantes dirungokaké ing lijan, supaja andjalari slamet, aluwung ngetokaké tembung sing betjik apik-apik, mangkéné saterusé.
Aluamah lungguhé ana ing Waduk. Déné waduk iku gedonging panganan, nanging jèn usus gedonging kotoran.

5.      Djangkep kang kaping lima. Jaiku Urip, kang Nguripi patang prakara kang kasebut ing duwur utawa kang diarani Sedulur Papat kalima Pantjer. Jaiku Pantjeré ana ing Urip = Katrangané mangkéné :
a.       Mutmainah
b.      Amarah                  diwengku déning urip.
c.       Supijah
d.      Aluamah
e.       Urip mung sidji ora ana kang nguripi. Uripi kang langgeng, ora owah gingsir ing selawas-lawasé.

Bab kéblat papat kalima pantjer ing lair.

Manungsa duwé tangan tengen          1
Manungsa duwé tangan kiwa 1
Manungsa duwé sikil     tengen          1
Manungsa duwé sikil     kiwa 1

Kang kalima jaiku Gembung = kang diarani :
a.       Bèntal  Makmur.
b.          ,,      Muhadas.
c.           ,,      Mukaram.

Telung prakara ing duwur kang kasebut, jaiku kang diarani teluning atunggal ing lair, tegesé kenjataan. Mula saka iku akèh sing pada dadi soalan, ing pitakon kang diarani teluning atunggal, lan loroning atunggal, ing kéné sok umjek, amarga pada kurang mangertiné. Sing ditakokaké mau, apa gandèng karo lair apa batin, marga  djaman saiki akèh tembung kang pada plèsètan.

Bab tegesé Ha. Na. Tja. Ra. Ka.

1.      Ha, Na, Tja, Ra, Ka, tegesé ana utusan, utusaning Gusti Allah jaiku Manungsa Bapa lan bijung. Ananging para maos adja nganti klèru tampa, Manungsa lumrah ora duwé pangkat Nabi. Nanging aku ngarani tetep dadi utusan. Mungguh kenjataané.
Kang diarani Pangkat Nabi iku saumpama jèn dibandingaké karo djaman saiki, kajata. Kebajan iku uga utusaning Pemerintah nanging kegolong pangkat kang asor déwé, beda karo pangkating Lurah. Asistèn iku uga utusaning Pemerintah, nanging luwih duwur manèh kang Pangkat Gupernur, mangkéné sabandjuré. Sebab mulané dak terangaké mangkéné marga aku kuwatir jèn diarani njinggung asmané K.N. Sw. sebab katranganku babar pisan ora magepokan karo anané Kenabian, ananging mung njang djeneng utusan waé. Amarga aku uga duwé kejakinan kang maton, jèn Manungsa iku dudu/ora dadi utusan/rak ora diparingi kapinteran kang luwih-luwih déning kang Maha Kuwasa. Amarga Manungsa salah sawidjining titah kang luwih-luwih, ana ing ngalam donja kéné.

Bab tegesé Da,Ta, Sa, Wa, La :

2.      Da, Ta, Sa, Wa, La : tegesé pada sawala (Perang) jaiku kang terang ja utusan mau Bapa lan bijung jèn digatukaké karo tjarita ing Kuna jaiku perangé utusané K.N. kang aran Dora lan utusané Hadji Saka aran Si Sembada, déné kang direbut Gamané. Ing wusana sarèhning pada digdajané bandjur sampjuh, tegesé mati bareng. Sawisé mangkono bandjur anané aksara Ha – Nga Lha ! Saiki ajo pada diontjèki, tinggalaning wasiat Hadji Saka karo kahanan saiki tjotjok apa ora. Nalika Bapa lan bijung pada sawala (Perang) ana ing papan sepi, tegesé ora kawruhan dèning lijan jaiku nalika ulet rasa dadi sawidji, sing direbut ja gaman. Gaman apa ? Gaman Saru tama, salah sawidjining Gaman kang ampuh banget, ana unèn-unèn ing pedalangan, tedas mati ora tedas ja mati, ja apa ora ? Kang diarani Gaman Saru tama tegesé Saru ananging utama. Mungguh saruné tegesé jèn mlaju karo wuda, rak diarani wong Edan. Mungguh utamané, kadjaba wis umum kanggo Bapa lan bijung, jèn duwé turun, bandjur lairé si Djabang baji mau, ja anané Ha. Na. Tja. Ra. Ka. kang anjar manèh, mengkono sabandjuré, saben ana baji lair jaiku Ha. Na. Tja. Ra. Ka. Mungguh ontjèk-ontjèk aku, kaprijé penggalihé para maos, bener lan luputé, jèn rumangsa bener adja dialem, nanging jèn luput adja ditjatjat, djer donja iku isiné ja mung rong warna iki, djandji ana bener ja ana luput. Dadi sipating aksara Djawa iku ja ana Manungsa Lanang lan Wadon. Djalaran kanggo awakku déwé, ora bungah jèn dialem lan ora susah lamun ditjatjat.

Bab tegesé aksara Pa, Da, Dja, Ja, Nja.

3.      Tegesé aksara Pa. Da. Dja. Ja. Nja. mangkéné. Pada Djajané/Pada Digdajané/amarga pada karepé,ja pada senengé, ja pada pasrahé (Nja), apa kang direbut ja Gaman Saru Tama sing digdajané ja Bapa lan bijung. Bab iki ora perlu akèh-akèh katrangan amarga wis tjukup ana ing aksara Da. Ta. Sa. Wa. La ing nduwur mau.

Bab aksara Ma, Ga, Ba, Ta, Nga.
4.      Aksara Ma. Ga. Ba. Ta. Nga. tegesé Pada dadi Batangé/sampjuh, sing Sjampjuh jaiku Bapa lan bijung. Kang diarani  Sampjuh iku tegesé mati bareng. Mungguh kenjatakané sawisé perang bandjur pada saré, wong saré iku pada karo wong mati tur sedjatiné ja ora krungu apa-apa, mengkéné iki kang diarani mati sajroning urip. Tegesé Ragané wis katon kaja wong mati, nanging isih kadunungan urip. Buktiné terkadang-kadang omahé digangsir wong ja sok ora weruh. Déné sing weruh mung uripé. La urip mau ora butuh Banda, si urip mung butuh ngemong Raga jèn bab Banda rak bandaning Manungsa sing kanggonan urip. Mangkono katranganku bener luputé, dak pasrahaké pandjenegan kabèh.

Bab Tjarakan Djawa iku uga golongan kèblat Papat kalima Pantjer. Sedjatiné Tjarakan Djawa iku ja dipèrang dadi 9 pèrangan, Sepisan kanggo paseksèn anané Wali wolu sanga tinari. Kaping pindo kanggo paseksèn anané Babahan nawa Sanga. Kaping telu kanggo paseksèn anané Baji ana ing kandungan sangang wulan bandjur lair, lan uga kena diarani Teluning Atunggal manèh. Sanadjan ing buku lijané wis ana gambaré kéblating Tjarakan Djawa ing kéné uga bakal dak gambar manèh, amarga wong tuku buku iki, mung milik menjang kasenengané déwé-déwé. Kaja ing ngisor iki kéblating Aksara Djawa Rong puluh. Sipat rong puluh kang dipèrang dadi 9.

                                  Neptuné dina lan Pasaran
                                            8 – 12 – 16
                                    Ma. Ga. Ba. Ta. Nga.

  Lor
                                                            Pa                                                                                  Urip                                                                                       Ha
Neptuné dina  Da                                                                                                                                                                                           Na       Neptune dina
lan Pasaran                  Dja                  Kulon                                                                          Wetan              Tja       lan Pasaran
7 – 11 – 15                  Ja                                                             Langgeng                                                                Ra                        9 – 13 - 17
                                    Nja                                                                  Kidul                                                              Ka

Da. Ta. Sa. Wa. La.
Neptuné dina lan Pasaran
                                              10 – 14 – 18








                                          Pasaran  Wage

                                          Ra. Wa. Ja. Ta.

 
                                                            Tja                                                                                                                                                                               Ha
Pasaran                                    Sa                                                        Ka. La. Nja. Nga                                                         Da       Pasaran
Pon                                          Dja                                                      Pasaran Kliwon                                                           Pa                    Legi
                                                            Ba                                                                                                                                                                                Ma                  
                                                                                                                                                                                                                       

 Na. Ta. Da. Ga.
   Pasaran Paing

Bab dunungé Aksara Djawa kang ana pèrangan awak.
1.      Ha. Na. Tja. Ra. Ka. Dunungé ana ing dridji tangan tengen.
2.      Da. Ta. Sa. Wa. La. Dunungé ana ing dridji tangan kiwa.
3.      Pa. Da. Dja. Ja. Nja. Dunungé ana ing dridji sikil tengen.
4.      Ma. Ga. Ba. Ta. Nga. Dunungé ana ing dridji sikil kiwa.
5.      Kang pantjèn ana ing tengah, jaiku urip langgeng kang ora owah gingsir ing salawas-lawasé.
Aksara Djawa kang ana pèrangan ing nduwur, kanggo djodoan, bojongan, lan sapanunggalané, nanging ora dak emot ing kéné amarga wis ana bagèan buku Nudjum Djawa Sedjati, amarga buku iki mung ngemot/nerangaké Sangkan Paraning dumadi, sanadjan sing nomer 2 uga wis ana Buku Primbon Nudjum Djawa Sedjati, jèn perlu supaja mundut Buku kang kasebut, uga wis pepak isining panudjuman.

Akasara 20 dipèrang manèh kaja ing ngisor iki :
1.      Aksara kang sidji kang Nguripi, ananging urip.
2.      Aksara kang 3 jaiku anané.
a.  Bétal Mukaram.
b. Bétal Makmur.
c.  Bétal Mukadas.

Aksara kang 4 kaja ing ngisor iki.
a.  Mutmainah
b. Amarah
c.  Supijah
d.       Aluamah

Aksara kang 5 kaja ing ngisor iki.
a.  Kliwon
b. Legi
c.  Paing
d.                   Pon
e.  Wagé

Aksara kang 7 kaja ing ngisor iki.
a.  Akat
b. Senèn
c.  Slasa
d.                   Rebo
e.  Kemis
f.  Djumuah
g. Setu

Aksara 20 kang dipèrang kaja ing ngisor iki.
Aksara Ha. Na. Tja. Ra. Ka. Da. Ta. Sa. Wa. Sangang aksara iki bagèjané wong lanang, amarga wong lanang iku mung duwé bolongan 9 = nanging wong wadon duwé bolongan 11, jaiku kang loro ana ing Pajudara (Susu) aksarané kaja ing ngisor iki.
La. Pa. Da. Dja. Ja. Nja. Ma. Ga. Ba. Ta. Nga.

Bab kedadèjaning Manungsa.
Manungsa iku kedadèjan saka patang prakara.
a.  Mutmainah              Banju
b. Amarah                               Getih                           Kang pantjer urip.
c.  Supijah                                            Angin
d.                   Aluamah                                 Bumi

Kaja kang kasebut ing nduwur mau.
Manungsa pada ngrumangsani duwé banju, jaiku kang dadi ujuh.
Manungsa duwé getih (geni) kang dadi kringet, lan duwé nepsu, iku saka dajaning getih.
Manungsa duwé angin jaiku kang metu saka ing irung.
Manungsa duwé lemah jaiku kang dadi bolot, mulané Manungsa iku sanadjan adus resikan sing kaja apa, tansah isih duwé bolot, ora bisa entèk-entèk.
Ing ngisor iki katrangan neptuné dina lan pasaran kang kasebut ing Kéblat.

1.      Slasa                                  Kliwon                              =              Slasa                      neptu      3                              Kliwon   neptu      8              =        11           Keb.       Kulon
2.      Rebo                                  Legi                   =              Rebo                      neptu      7                              Legi                        neptu      5              =        12           Keb.       Lor
3.      Kemis                           Paing                      =              Kemis                    neptu      8                              Paing                      neptu      9              =        17           Keb.       Wetan
4.      Djumuah      Pon                         =              Djumuah               neptu      6                              Pon                         neptu      7              =              13        Keb.       Wetan
5.      Setu                                               Wagé                      =              Setu                        neptu      9                              Wagé                      neptu      4        =              13           Keb.       Wetan
6.      Akat                                              Kliwon   =              Akat                       neptu      5                              Kliwon   neptu      8              =              13        Keb.       Wetan
7.      Senen                            Legi                        =              Senen                     neptu      4                              Legi                        neptu      5              =          9            Keb.       Wetan
8.      Slasa                                             Paing                      =              Slasa                      neptu      3                              Paing                      neptu      9        =              12           Keb.       Lor
9.      Rebo                                             Pon                         =              Rebo                      neptu      7                              Pon                         neptu      7        =              14           Keb.       Kidul
10.     Kemis                           Wagé                      =              Kemis                    neptu      8                              Wagé                      neptu      4              =        12           Keb.       Lor
11.     Djumuah      Kliwon   =              Djumuah               neptu      6                              Kliwon   neptu      8              =              14           Keb.        Kidul
12.     Setu                                               Legi                        =              Setu                        neptu      9                              Legi                        neptu      5        =              14           Keb.       Kidul
13.     Akat                                              Paing                      =              Akat                       neptu      5                              Paing                      neptu      9        =              14           Keb.       Kidul
14.     Senen                            Pon                         =              Senen                     neptu      4                              Pon                         neptu      7              =        11           Keb.       Kulon
15.    Slasa                                              Wagé                      =              Slasa                      neptu      3                              Wagé                      neptu      4        =              7             Keb.       Kulon
16.    Rebo                                              Kliwon   =              Rebo                      neptu      7                              Kliwon   neptu      8              =              15        Keb.       Kulon
17.    Kemis                            Legi                        =              Kemis                    neptu      8                              Legi                        neptu      5              =        13           Keb.       Wetan
18.    Djumuah                       Paing                      =              Djumuah               neptu      6                              Paing                      neptu      9              =        15           Keb.       Kulon
19.    Setu                                                Pon                         =              Setu                        neptu      9                              Pon                         neptu      7        =              16           Keb.       Lor
20.    Akat                                               Wagé                      =              Akat                       neptu      5                              Wagé                      neptu      4        =              9             Keb.       Wetan
21.    Senen                                             Kliwon   =              Senen                     neptu      4                              Kliwon   neptu      8              =              12        Keb.       Lor
22.    Slasa                                              Legi                        =              Slasa                      neptu      3                              Legi                        neptu      5        =              8             Keb.       Lor
23.    Rebo                                              Paing                      =              Rebo                      neptu      7                              Paing                      neptu      9        =              16           Keb.       Lor
24.    Kemis                            Pon                         =              Kemis                    neptu      8                              Pon                         neptu      7              =        15           Keb.       Kulon
25.    Djumuah                       Wagé                      =              Djumuah               neptu      6                              Wagé                      neptu      4              =        10           Keb.       Kidul
26.    Setu                                                Kliwon   =              Setu                        neptu      9                              Kliwon   neptu      8              =              17        Keb.       Wetan
27.    Akat                                               Legi                        =              Akat                       neptu      5                              Legi                        neptu      5        =              10           Keb.       Kidul
28.    Senen                                             Paing                      =              Senen                     neptu      4                              Paing                      neptu      9        =              13           Keb.       Wetan
29.    Slasa                                              Pon                         =              Slasa                      neptu      3                              Pon                         neptu      7        =              10           Keb.       Kidul
30.    Rebo                                              Wagé                      =              Rebo                      neptu      7                              Wagé                      neptu      4        =              11           Keb.       Kulon
31.    Kemis                            Kliwon   =              Kemis    neptu      8                              Kliwon   neptu      8              =              16           Keb.       Lor
32.    Djumuah                       Legi                        =              Djumuah               neptu      6                              Legi                        neptu      5              =        11           Keb.       Kulon
33.    Setu                                                Paing                      =              Setu                        neptu      9                              Paing                      neptu      9        =              18           Keb.       Kidul
34.    Akat                                               Pon                         =              Akat                       neptu      5                              Pon                         neptu      7        =              12           Keb.       Lor
35.    Senen                                             Wagé                      =              Senen                     neptu      4                              Wagé                      neptu      4        =                8            Keb.       Lor

Bab neptu kang kasebut ing nduwur, jèn mestiné wis ora dak terangaké ing kéné, amarga aku ndjagani sing durung tau magepokan bab dina lan pasaran, wis mesti gawé bingung. Djalaran wis dak patjak ana ing Primbon Widjaja Kusuma.

Bab djamu Djawa sedjati.

Ha. Na. Tja. Ra. Ka. – Nga iku pangandikaning Allah. Para maos kiraku sing mesti pratjaja jèn Tjarakan Djawa iku, Pangandikaning Allah, kanggo ing tanah Djawa kéné, Aksara arab iku uga pangandikaning Allah ing tanah Arab lan lija-lijané. Ing saindenging donja duwèni basa déwé-déwé kabèh mau uga kena diarani pangandikaning Allah, amarga saindenging donja iki kabèh ja kagungané Gusti Allah. Mula saka iku saka kejakinanku déwé, mungguh ananing Agama mau bandjur ditulis nganggo tembungé déwé-déwé, kiraku ja luwih gampang tur gelis ngerti kang dadi teges-tegesé, dadi nggampangaké ing pasinaon (pamulangé), kaja mangkéné sabandjuré.

Bab neptuné Dina lan Pasaran.

Akat                neptu   5                                                                                              1.         Kliwon                        neptu   8
Senen              neptu 4                                                                                                2.         Legi                             neptu   5
Slasa                neptu   3                                                                                              3.         Paing                           neptu   9
Rebo                neptu   7                                                                                              4.         Pon                              neptu   7
Kemis              neptu   8                                                                                              5          Wagé                           neptu   4
Djumuah         neptu   6                                                                                                                                                ________
Setu                             neptu   9                                                                                                          Gunggung                            33
_______
                           Gunggung                42

Neptuning Dina lan Pasaran jèn digunggung ana 42 + 33 = 75 = Angka 75 iki jèn dipetjah, dadi loro kaja ing ngisor iki =
Angka 7 = kang dadi Dina pitu.
Angka 5          = kang dadi Pasaran.
Angka 7 + 5 = gunggung ana 12 jaiku bandjur dadi taun, (12 sasi) mangkéné katrangané.
Déné gunggunging Dina + Pasaran jèn didjèjèr bisa dadi 4 2 3 3.
Angka 4 2 3 3 iki tegesé Aksara Djawa iku bisa djawab tembung kèhé 4 2 3 3 tembung, mangkéné iki katrangané.

Bab Aksara Arab lan Aksara Djawa.
Aksara Djawa iku sedjatiné ana 21 nanging kang sidji ora mlebu ing etungan lair, amarga Aksara kang sidji iki Aksara kang ora bisa mati jaiku “..?..”
Mangkono uga Aksara Arab iku sedjatiné ana 31 déné kang sidji Aksara Alip kang ora bisa mati.
Gunggungé Aksara Djawa      21.
Gunggungé Aksara Arab                    31. =  kang 1 Aksara Alip kang ora bisa mati.
Jèn digunggung dadi                          52. =  ora bisa mati.
Angka 52 iki uga anduwéni teges kang gandèng karo kahananing Manungsa.
Angka 5 = tegesé saka anané Keblat papat kalima pantjer.
Angka 2 = tegesé saka anané Bapa lan bijung.                      

Mungguh katrangané kang tjeta Bapa lan bijung iku asalé ja ora ana bèdané pada-pada Kèblat papat kalima Pantjer.
Angka lima uga anduwéni teges ananging Agama Islam limang prakara.
Kang diarani   Isa
Kang diarani   Subuh
Kang diarani   Lohor
Kang diarani   Asar
Kang diarani   Maghrib
Déné Aksara Arab iku tegesé asal saka wadon.
Lan Aksara Djawa iku tegesé asal saka Lanang.
Jèn dipikir sing temenan, sedjatiné kang kasebut ing nduwur iku kang diarani Loroning atunggal jèn dideleng saka wiwitané, nanging bareng dideleng menjang kenjataané kok tansah padudon waé. Nanging jèn didjupuk saka anané utusané, K.N. Mohamad SW. lan utusané Hadji Saka jaiku kang aran Dara lan Sembada, ja anané. Lanang lan Wadon ja akèh èmperé. Amarga saakèh-akèhané jèn wong Wadon iku pantjèn panggonané srèi, ja panggonané rèwèl mangkono sabandjuré. Mangka jèn didjupuk ladjeré kang wiwitan, kang diarani loroning atunggal iku saka anané Abang lan Putih tegesé mangkéné :
a.       Wudjud kang Putih asalé saka Bapa kang kedadèjané Sukma.
b.      Wudjud kang Abang asalé saka bijung kang kedadèjané Raga.
Mangkéné iki katrangané, njumanggakaké panganggepé para maos.

Bab ananing Angka 1 – 9.

Kajata 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 0. =
Mungguh wedarané (wiridané) angka 9 salah sawidjining etungan kang gedé déwé kajata :
a.       Baji kang ana guwa garbaning Ibu 9 sasi.
b.      Petungan dina kang gedé déwé Setu 9.
c.       Pasaran dina kang gedé déwé Paing 9.
Katrangan iki uga kena kang diarani teluning atunggal.
Printjènané angka 1 – 9 kaja ing ngisor iki :
1.      Angka 1 tegesé Urip = langgeng kang ora owah gingsir.
2.      Angka 2 tegesé Anané lanang                  lan wadon.
   Anané ngisor                   lan nduwur
                                                   Anané ala                                         lan betjik
                                                   Anané awan                         lan bengi
                                                   Anané srengéngé      lan rembulan
                                                   Anané raga                           lan sukma

Bab katrangané Angka 3.

a.       Tegesé anané Allah, Mohamad Rasul.
b.      Tegesé anané Betal Mukaram, Betal Makmur, Betal Mukadas.
c.       Tegesé anané Neptuné dina Slasa 3.
d.      Tegesé anané Urip, Rasa, Raga.

Bab katrangané Angka 4.

a.       Tegesé anané Mutmainah, Amarah, Supijah, Aluamah.
b.      Tegesé anané Wetan, Kidul, Kulon, lan Lor.
c.       Tegesé anané Tangan 2, lan sikil 2.
d.      Tegesé anané Neptuné dina Senèn  4.
e.       Tegesé anané Neptuné Pasaran Wagé 4.

Bab katrangané Angka 5.

a.       Tegesé anané Keblat papat kalima Pantjer, kaja kang kasebut ing angka 4 bagèan a.
b.      Tegesé anané Tangan 2, lan sikil 2 = kang tengah gembung.
c.       Tegesé anané Kliwon, Legi, Paing, Pon, Wagé.
d.      Tegesé anané Neptuné dina Akat 5.
e.       Tegesé anané Neptuné Pasaran Legi 5.
f.       Tegesé anané Pantja drija.
g.      Tegesé anané Agama Islam kang 5 wektu.

Bab katrangané Angka 6.

a.       Tegesé anané Mutmainah, Amarah, Supijah, Aluamah, Ajang-ajangan kang 6 urip langgeng.
b.      Tegesé anané Wétan, Kidul, Kulon, Lor, Ngisor, lan Nduwur.
c.       Tegesé anané Neptuné dina Djumuah 6.
Mungguh ganepé katrangan, enem tegesé mung kari Nemu, jaiku, anané ajang-ajangan, tur iki uga kegolong ja sedulur déwé, nanging sok ora diakoni, amarga anané ajang-ajangan sawisé baji lair, sadurungé lair kang duwé ajang-ajangan mung bijungé. Mulané bandjur anané angka 6 tegesé mung kari nemu.

Bab katrangané Angka 7.

a.       Tegesé anané :  Wulu, kulit, daging, balung, sungsum, otot, getih, utawa kang diarani Bumi sap Pitu.
b.      Tegesé anané   :    Neptuné dina Rebo 7.
c.       Tegesé anané   :    Neptuné Pasaran Pon 7.
d.      Tegesé anané   :    Akat, Senèn, Slasa, Rebo, Kemis, Djumuah, Septu.
e.       Tegesé anané   :    Kuping 2, Mripat 2, Bolongan irung 2 lan lesan (tjangkem) 1.

Bab katrangané Angka 8.

a.       Tegesé anané   :    Neptuné dina Kemis 8.
b.      Tegesé anané   :    Neptuné Pasaran Kliwon 8.
c.       Tegesé anané   :    Windu 8.
d.      Tegesé anané   :    Wali wolu.

Bab katrangané Angka 9.

a.       Tegesé anané   :    Wali wolu, sanga tinari/tinutup.
b.      Tegesé anané   :    Babahan nawa Sanga                                                                        Teluning
c.       Tegesé anané   :    Neptu dina Septu 9                                                                           atunggal
d.      Tegesé anané   :    Neptuné Pasaran Paing 9

Bab katrangané Angka 0.

a.       Nul (0) tegesé barang kang kosong, utawa isih awung-uwung bisané dadi angka 10 = sawisé ing ngarep ditambahi angka 1 iki wis mènéhi pasemon marang Manungsa, raga iku bisané obah mosik amarga kanggonan urip, ora béda karo angka 1 + 0 + (das) ora duwé adji jèn ora diwènéhi angka 1 = bandjur djeneng Sepuluh (10).
Anané angka 10 iki mratandani paring sasmita marang kita jaiku kumpuling kawula lan Gusti. Ja kang diarani Silih sinilihan, utawa kang diarani Samat sinamatan. Tegesé : Gusti (urip jèn ora nganggo) njilih Raga bisa mobah mosik, kasampar kesandung prasasat tanpa adji, samono uga si Raga jèn wis diontjati déning urip, digolingaké, dibungkus lawon, di dusi di talèni, ja wis ora mobah mosik tanpa adji. Mangkéné jèn sedulur kang bisa nitèni.
Bab katrangané angka 11.

a.       Tegesé anané angka 11 : paring pasemon marang kita nalika Bapa lan bijung dadi mantèn wetu didjèdjèraké/ditemokaké.

Bab katrangané angka 12.

Tegesé paring sasmita marang kita, angka 1 : tegesé urip angka 2 tegesé lanang lan wadon ja bapa lan bijung, dadi terangé Urip 1 kanggo wong 2 = utawa wong-wong uripé mung 1 = ora ana bèdané, katulis angka 12 (Ronglas) teges urip ngerong ana ing Bapa lan bijung. Donja iki isiné mung Ronglas (Rong idji).
a.       Bapa lan Bijung.
b.      Ala lan Betjik.
c.       Awan lan Bengi.
d.      Ngisor lan nDuwur.
e.       Srengéngé lan Bulan.
f.       Raga lan Djiwa.

Bab katrangané angka 13.

Tegesé urip iku nguripi telung prakara.

a.       Nguripi manungsa.
b.      Nguripi bangsané kéwan.
c.       Nguripi bangsané Wit-witan lan saisining Djagad.

Bab katrangané angka 14.

Tegesé urip iku nguripi patang prakara :
a.             Nguripi Banju.
b.            Nguripi Geni/Srengéngé.
c.             Nguripi Angin.
d.            Nguripi Lemah.

Bab katrangané angka 15.

Tegesé urip iku nguripi limang prakara :
a.       Nguripi Kuping 2.
b.      Nguripi Mripat.
c.       Nguripi Bolongan Irung 2.
d.      Nguripi Lèsan(Lambé) 2.
e.       Nguripi Ilat.

Bab katrangané angka 16.

Urip iku tegesé nguripi nem prakara.
a.       Nguripi Mutmainah.
b.      Nguripi Amarah.
c.       Nguripi Supijah.
d.      Nguripi Aluamah.
e.       Nguripi Ajang-ajangan.
f.       Nguripi Wudjut gleger.

Bab katrangané angka 17.

Urip iku tegesé Nguripi pitung prakara.
a.       Nguripi Wulu.
b.      Nguripi Kulit.
c.       Nguripi Daging.
d.      Nguripi Balung.
e.       Nguripi Sungsum.
f.       Nguripi Getih.
g.      Nguripi Otot.

Bab katrangané angka 18.

Urip iku tegesé nguripi 8 prakara.
Jaiku nguripi Wali Wolu, Kedjaba Nguripi Ragané uga Nguripi kaluhurané, utawa urip asmané nganti isih ganda arum tekan sapréné, amarga saking Sutjiné lan temené, ja iki kang diarani urip kang utama, sanadjan wis bali menjang djaman kalanggengan, djenengé isih langgeng, nganti sapréné isih bisa blèbèri marang wong pirang-pirang juta, kang pada sudjut, kang pada sungkem, pada njuwun berkah, lan sapanunggalané. Kaja mangkéné tjontoné jèn pada bisa ngemong urip kang sedjati, ja kang diarani sedjatining kasutjian, kang ora gampang katur marang dajaning lair, kang ora ngadji pumpung ing kamurkan.

Bab katrangané angka 19.

Urip iki nguripi sangang prakara, jaiku kang nguripi babahan nawa sanga.
a.       Nguripi Kuping 2.
b.      Nguripi Mripat 2.
c.       Nguripi Irung 2.
d.      Nguripi Lesan 1.
e.       Nguripi Dubur 1.
f.       Nguripi Wadi 1.
Kadjaba saka Nguripi kang kasebut ing nduwur, uga Nguripi anané Wali Wolu sanga tinari. Mungguh katrangané pada karo ing angka 18 mau.
a.       Kang diarani uriping Kuping jèn isih krungu.
b.      Kang diarani uriping Mripat jèn isih bisa ndeleng.
c.       Kang diarani uriping Irung jèn isih ngambu.
d.      Kang diarani uriping Lèsan jèn isih bisa guneman.
e.       Kang diarani uriping Dubur (silit) jèn isih bisa bebuang.
f.       Kang diarani uriping Wadi jèn isih bisa ngujuh.

Bab katrangané angka 20 = ja Sipat Rongpuluh kang diarani.

Rongpuluh : tegesé urip iku ngerongé marang bapa lan bijung (lanang wadon) wong loro kanggo ngerong (kanggo manggon urip sidji) lan kabasakaké loroning atunggal, (ja loro dadi sidji, lan jèn sidji dadi loro). Kaja-kaja wis terang olehku nerangaké anané Sipat Rongpuluh saka Aksara Djawa, kang dumunung ana ing djasating Manungsa/kang diwengku manungsa.
Mula saka iku djedjering Manungsa kena diarani Sastra Djèndra Juningrat. Tegesé Tulising Gusti kang tjeta (kang terang) dumunung ana ing wudjuding Manungsa Lanang lan Wadon. Mula adja was sumelang manèh Manungsa kang utama, supaja bisa nggajuh kaluhuraning Budi (Rahajuning wiwitan lan pungkasan) sanadjan manungsa iku diwenangaké duwé karep, menjang keahiran (tegesé nggajuh redjaning donja lan banda) kudu sing manut marang krenteging ati kang resik. Bisoa ngemong urip kang Sutji mau, lan supaja bisa sampurna lair lan batiné, jèn wis mangkono bandjur bisa ajem lan tentrem. Katentreman mung dumunung ana ing Rasa, jaiku Rasa kang resik (Rasa kang Sutji) déné Rasa kang kotor ora bisa nggawé tentrem. Rasa tentrem tegesé Rasa kang semèlèh. Rasa kang ora gawé kesruh ing kelairan. Bab dunungé tentrem (manggoné) ora pilih-pilih Manungsa. Apa ija sing wis duwé omah gedé lan duwé montor, rasané wis tentrem ? Apa ja wong sing gawéné mung ngarit omahé tjilik tur ora apik, rasané ora tentrem ? O ! durung karuan. Dak tjekak saméné disik bakal dak terusaké ing mburi. Bab sipat rongpuluh kang dumunung ana ing manungsa. Sedjatiné sipat mau ora mung rongpuluh  nanging malah pirang-pirang puluh. Nanging patokan saka sipat 20.
a.       Ha, Na, Tja, Ra, Ka, - Nga, -     dumunung ana ing Manungsa.
b.      Anané dina                     7                                                          dumunung ana ing Manungsa.
c.       Pasaran                                                                                       dumunung ana ing Manungsa.
d.      Djam                                                                                                      dumunung ana ing Manungsa.
e.       Wuku                                                                                                     dumunung ana ing Manungsa.
Lan lija-lijané, mulané Manungsa iku uga dadi utusané Kang Maha Kuwasa. Nanging panampané adja nganti salah paham. Kang diarani utusan iku, kuwasané ora bisa ngluwihi karo sing ngutus, tegesé mung diwenangaké nggaduh (nguwasani) nanging ora Maha Kuwasa. Kang diarani Maha Kuwasa tegesé ora ono kang ngluwihi. Mungguh kuwasané manungsa bisa gawé wudjud kang pada karo gambaré Manungsa, nanging ora bisa gawé urip, bisa gawé mobil bandjur bisa mlaku, wong akèh olèhé ngarani ja urip, nanging dudu sedjatining urip, nanging bisané urip mung saka dajaning bensin (lenga), lan lija-lijané manèh kang ora perlu dak emot ana ing kéné. Sigeg.

Bab urip kang langgeng.

Ing kitab Alqur’an pambukaning wulangan mesti ana tulisané kang wiwitan A.I.U. mungguh tegesé. Aksara telu iku mangkéné :
A.    tegesé Aku.
I.       tegesé Iki.
U.    tegesé Urip.
Mungguh kumpuling aksara telu mau bisa muni mangkéné. Aku iki urip. Jèn para maos bisa menggalih sing temenan bab tembung sing telung bab mung tjekakan mau, tegesé bisa ngebaki ing sadjagat tanpa pilihan. Kang bisa muni (guneman) Aku Iki Urip iku, ora ana manèh kedjaba mung Manungsa. Déné urip ana ing Manungsa iku, urip kang sedjati, urip kang sampurna, urip kang dadi tungguling kahanan. Urip kang nguwasani isining alam donja, kang dititahaké déning Gusti kang Maha Kuwasa, ja Gusti Allah, ja Gusti kang Agung. Mungguh keagungané wis ora ana kang madani, kaja anané tembung “Kun” tegesé ngandika sepisan dadi, Pangandikané Gusti ora kaping pindo/kaping telu. Mengkono jèn para maos kersa nitèni.

Manungsa iku minongka wadahing urip kang Sutji, sawisé ana ing Manungsa, kresaning kang Maha Sutji, mestiné Manungsa supaya nindakaké sekabèhing laku kang Sutji, tingkah laku  kang djujur, tembung kang betjik-betjik, lan sapanunggalané. Ing wasana bareng Urip wis dumunung ana ing Manungsa, urip kang Sutji bandjur diombang-ambingaké ing Manungsa tegesé ing Wadah, déné wadah iku sedjatiné ana rong rupa kajata :
a.       Ana wadah kang apik.
b.      Ana wadah kang ala.
Wadah kang apik diwengku déning rasa kang resik (sutji).
Wadah kang ala diwengku déning rasa kang ala.
Mungguh tegesé Rasa Sutji, kang anuwuhaké, tingkah laku lan tembung-tembung kang sarwa betjik-betjik. Kosok baliné rasa kang ala, kang bisa nuwuhaké tingkah laku, lan tembung-tembung kang ora pantes, kang tansah agawé tatuning rasaning lijan. Rasa iku wudjudé Abang jaiku Getih kang dumunung ana ing Daginging Manungsa. Kang bisa nganakaké kanepson Ala lan Betjik mau dak upamakaké mangkéné.
Sanadjan sing diwadahi mau wédang susu, nanging wadahé batok, tur wadahé ditutupi, si wédang susu mau ja ilang regané ora duwé adji. Kosok baliné, sanadjan wédang kopi lumrah, nanging jèn wadahé tjangkir sing bagus, isiné mau katut karo wadah. Mula sabisa-bisa kang kudu dilakoni bisaha dadi utusan kang utama, isiné sutji lan wadahé bagus, iki kang diarani loroning atunggal temenan, djalaran djaba lan djeroné pada, lair lan batiné pada, kang diarani Djodo. Ora ana bèdané karo wong djodohan laki rabi, jèn djodo tenan nganti dadi kakèn-kakèn  ninèn-ninèn. Semono uga wong kang bisa mengku urip sutji, bisa wengku-winengku, bisa emong kinemong, nganti tumekèng lampus. Djiwa lan lan ragané bisa oleh anugerahing Gusti Kang Maha Agung, kaja tjontoné para Sunan lan sapanunggalané kang kagolong Aulijak. Mangkéné sabandjuré, para maos kudu sing awas lan kudu sing éling.
a.       Kudu awas tegesé, kudu awas karo tindak sing betjik-betjik.
b.      Kudu éling tegesé éling awas tembung sing betjik-betjik.
c.       Tembung Wali tegesé tingkah laku kang apik adja diuwali, adja nganti uwal saka rasa kang sutji resik. Sanadjan si pengarang, uga isih nudju marang katentreman kang bakal andjog ing kaluhuran lair lan batin kang bakal teka, rumangsa durung tjukup, amarga isih kagoda déning lair, nanging sanadjan kegoda ora mbebejani tumrap ing kahanan rasa kang ala , mung nari manut ing kodrat, nanging ja ora pisah saka ichtijar kang betjik-betjik, mungguh pedjangkané si pengarang kurang kang dikarepaké kira-kira kari 20% tekaning panggonan. Si pengarang uga isih duwé nepsu. Nanging nepsu kekarepan kang betjik-betjik. Si pengarang uga isih duwé murka nanging murka marang barang kang halal. Si pengarang isih duwé pamrih, nanging pamrih, ja pamrih kang halal, ora gawé rugining lijan. Para maos tembung iki minongka kanggo seselan, dak pasrahaké para maos, kaprijé olèhé manggalih, mongsa bodoha.

Bab printjènané Manungsa.

a.       Gusti Allah = (Urip langgeng).
b.      Rasa                                                                                                                                           teluning atunggal.
c.       Raga (wadah).
Mungguh katrangané mangkéné. Gusti iku lungguhé ana ing rasa (urip iku lungguhé ana ing getih) déné getih iku lungguhe ana ing raga, ja tembung iki kang diarani teluning atunggal, déné kang diarani Loroning atunggal iku mangkéné.

Kang kapisan nalika raga diontjati déning Urip (Gusti). Pesating rasa lan sukma bareng (getih lan urip), dak upamakaké wong kang lagi bojongan, klasa lan bantal karo sing duwé omah, omahé ditinggal glanggang, kari ora diadjak (ora dikon mèlu), semono uga si raga sing wis ora dikanggokaké déning urip, ja ditinggal glanggang ora béda karo wong sing lagi bojongan mau. Ewa semono sing gulawentah uga urip (tegesé ja wong sing isih kadunungan urip). Mula saka iku anané wong kang diarani mati tegesé wis mati rasané, déné ragané bali njang asalé manèh, tegesé asal saka lemah bali njang lemah manèh, nanging lemah iku ja urip, adja dianggep lemah iku mati, jèn lemah iku mati rak ora bisa nguripaké tanduran, ja mula saka iku ora pisah saka urip manèh.

Loroning atunggal kang kapindo, nalika wong kang lagi turu, wis ora krasa apa-apa, ora krungu, ora ideleng, sing ana mung raga kang isih kepandjingan urip kaja sing dak terangaké ing nduwur, urip iku kang nguripi Panguripan. Tegesé mangkéné, Manungsa iku urip (kadunungan urip) sawisé ana manungsa bandjur pada nandur wiwitan (wit-witan) kang bakal metu hasilé. Kajata nandur pari, djagung, tela, lan lija lijané manèh, bareng wis metu wohé bandjur genti nguripi manungsa. Tembung ing nduwur mau uga diarani telu-teluning atunggal, ubenging kahanan ing ngalam donja tansah ana tembung sing bolak-balik ngéné iki. Nanging uga ana salah sidjining wong, kang kurang mengerti karo anané tembung ing nduwur mau nganti dadi bengkerengan. Pandakwané urip iku ana kang nguripi. Mangka sedjatiné ora mengkono, jèn urip selawasé ora ana kang nguripi nanging urip  kang idjèn. Malah nguripi sekabèhing dumadi.

Déné sekabèhing tanduran kang bakal nguripi manungsa uga ora pisah karo urip, tegesé mangkéné, wit kang ngisor tumantjep ing lemah kang mawa banyu, sing ana saduwuring lemah diuripi (srawungan) karo srengéngé lan angin déné patang prakara iku wis kadunungan urip mula ja bisa nguripi tanduran. Mungguh buktiné tanduran kang ora srawungan déning panasing srengéngé, ora bisa subur, ora bisa lemu, kajata tanduran kang kajoman wit-witan kang gedé-gedé, kang godongé ngrembujung ora bakal lemu lan uga ora metu wohé sanadjan diopènana sing kaja apa waé, sakabèhing tanduran kang bakal dipurik wohé, jèn sing nguripi mau ora ganep patang prakara ja ora bisa betjik hasilé.

Bab urip kang telung prakara.

a.       Uriping manungsa.
b.      Bab uriping kéwan.
c.       Bab uriping wit-witan.

Bab uriping manungsa pérangané mangkéné.

a.       Kanggonan Dading Gusti Allah.
b.      Kanggonan Rasaning Gusti Allah.
c.       Kanggonan Budining Gusti Allah.
d.      Kanggonan Nepsuning Gusti Allah.
e.       Manungsa ja Sipating Allah, Manungsa ja Pasemoning Allah.
Manungsa utusaning Allah. Ananging kang dadi utusaning Allah :
a.       Manungsa kang sutji, lan temen.
b.      Manungsa kang sugih (kang ambeg) Welas asih.
c.       Manungsa kang ambeg Tapa.
d.      Manungsa kang bisa dadi pangajoman, bisa tulung sapada-pada.
e.       Manungsa kang bisa gawé padanging lijan.
f.       Manungsa kang ora sipat mentingaké awaké déwé.
g.      Manungsa kang bisa mulang marang kabetjikan (nuntun kabetjikan).

Bab uriping Kéwan.

Uriping kéwan béda banget karo uriping manungsa, nanging kang béda dudu uripé (dudu wudjuding urip), jèn djeneng urip ora ana bédané ja mung sidji, déné sing béda antarané manungsa lan kéwan mung sipaté lan kekarepané, amarga kéwan ora duwé (kandungan) Dating Gusti, kajata :
a.       Kéwan bisané mung mangan.
b.      Kéwan bisané mung ngising.
c.       Kéwan bisané mung turu.
Wataking kéwan ora ana manèh kadjaba mung telung prakara iki, saka olèhé ora kanggonan Dat lan Budi mau.
Bab uriping Wit-witan.

Uriping wit-witan mung katon wudjut, tandané mati lan uriping wit-witan mau sing ngarani manungsa. Déné manungsa bisané ngarani jèn mati, wit mau katon garing, lan bisané ngarani jèn urip wit mau isih teles. Nanging manungsa diwenangaké nguripi wit-witan, tegesé bisa ngolah (ngrupakara) wit-witan amrih bisané urip.

Bab dajaning Manungsa.

Manungsa diparingi warisan déning Gusti Allah kang Maha Kuwasa kang wis disedijakaké isining ngalam donja kabèh, ora kurang sawidji apa-apa, djangkep ora kekurangan, diparingi purba wasésa, kajata diparingi wasijat Tjarakan Djawa, ja pangandikaning Allah. Ing Tjarakan Djawa kang wiwitan muni mangkéné Ha, Na, tegesé :
a.       Hana sandang ja ana pangan.
b.      Hana ala ja ana betjik.
c.       Hana ngisor ja ana nduwur.
d.      Hana lanang ja ana wadon.
e.       Hana raga ja ana sukma.
f.       Hana awan ja ana bengi.
g.      Hana lair ja ana batin. Hana batin ja ana lair.

Mungguh dajaning manungsa iku kang gedé déwé ana ing batin, djalaran sakabèhing barang apa waé kang katindakaké déning manungsa sadurungé wudjud wis dibatin luwih disik, wis dipikir luwih disik, wis diangen-angen luwih disik. Mula saka iku sing luwih tuwa déwé mung batin. Mangkéné sabandjuré, kabèh kang kedadèjan ing ngalam donja kedjabaning urip saka dajaning manungsa kabeh, kajata :
a.       Segara kang djembaré tanpa wangenan bisa diréka daja déning manungsa kena disabrangi nganggo kapal geni, kapal silem kang ana sajroning banju, kapal gegana kang ana ing awang-awang. Hara kabèh kahanan kang dak terangaké ing nduwur mau, kabèh pirang taun olèhé mbatin nganti bisané kalakon, bisané wudjud. Bareng batin iki wis kabul, bandjur mbatin manèh, ngangen-ngangen manèh bisané munggah menjang bulan arep mbukak lan ngedegaké pabrik ana ing bulan, arep marung ana ing bulan, arep ngedegaké kamar bolah ing bulan. Seméné kareping  manungsa olèhé ngatokaké kebatinané, olèhé arep mudjudaké kebatinané. Pantjèn ing atasé manungsa diudja tenan karo kang Maha Kuwasa. Nanging sanadjan diudja sing kaja apa, ora kena madani Kuwasané Gusti Allah, nanging manungsa ora diwenangaké nguripaké wong  kang wis mati, bab iku mau kabèh mung ana Kuwasané Gusti Allah pijambak.
b.      Dèk djaman bijèn, sadurungé ana tilpun, sadurungé ana radio, uwong Djawa wis duwé tilpun lan radio nanging mung saka batin, nanging kawruh kang semené iki mung pilih-pilih djanma ora angger uwong, terkadang 1000 mung ana wong sidji, terkadang bisa luwih, nanging kepinterané wong Djawa (Indonesia) bandjur diwudjudaké karo wong Eropa, nanging ja pirang taun olèhé mikir, pirang tahun olèhé mbatin. Sanadjan bab iki aku mung krungu sedjarahé Kandjeng Sultan Agung, nanging ing djaman bijèn, Pandjenengané saking luhuré kebatinané sedjarahé (tjritané) saben bangun ésok (sembahjang Subuh) tindak njang Mekah perlu ibadah Subuh, nanging sanadjan aku ora weruh déwé, pertjajaku 100% ora dak kurangi. Kapindo bab sedjarahé R. Ng. Ronggo Warsito Pudjangga ing Surakarta nalika isih Djumenengé Sinuhun kang kaping 9. Salah sawidjining Pudjangga kang misuwur saindenging djagad. Sedané ing taun 1873 sepréné lagi 86 taun. Pandjenengané bisa priksa (bisa ngerti) uniné kutu-kutu walang ataga, bisa ngerti gunemané (tembungané wong sadjagad) sing gumunaké manèh nalika djaman isih sugengé, bisa ngerti surasané lajang kang bakal dikirim menjang Radja saka Negara Landa. Lajang durung budal saka negara Landa wangsulan saka Kandjeng Sinuhun wis dikirimaké luwih disik, saka Tanah  Djawa menjang negara Landa, ing wusana gawé gègèring para pudjangga sadonja. Bab iki aku ngaturaké sedjarah kang tjekak minangka kanggo tulada. Mula saka iku, kita bangsa Djawa ing dinané iki jèn gelem nggunakaké kebatinan, sanadjan ora 100% kaja kang dak aturaké ing nduwur, kaja-kaja mesti bisa kaleksanan. Mung sanguné kang abot banget kaja ing ngisor iki :
a.       Kudu mantep.
b.      Kudu kendel.
c.       Kudu bandel.
d.      Bandjur eling, ening mesti ana.
Kabèh kang dak aturaké iki mung gumantung ana ing rasa.
a.       Rasané mantep apa ora.
b.      Rasané kendel apa ora.
c.       Rasané bandel apa ora.
Djalaran sakabèhing kekarepan mau mung dumunung ana tekat.

Dajaning bangsa kita ing tanah Djawa (Sinatria ing tanah Djawa) wiwit ing djaman bijèn, kang misuwur ing saindenging djagad mung kasektèné, jèn bangsa sabrang kang misuwur mung radja branané (kasugihané).

Sanadjan tjarita ing kuwajangan pisan, jèn ing negara Ngamarta iku kang disungkani wong sabrang ja mung kasektèné. Sanadjan tjritané Ki dalang jèn pinudju djedjer ing Ngamarta, ora tau njritakaké Ngamarta, ora sugih banda abandu kaja ing negara sabrang.

Mungguh jèn kagatukaké ananging djaman kang merdika iki, kadjaba kita nggula wentah ing kelahiran, kiraku sanadjan dibarengi dening batin kaja-kaja ja ora bakal ana larangané, jèn tudjuan batin mau kanggo ngluhuraké negara lan bangsa, kedjaba jèn arep kanggo ngrusak negara waton kanggo nglabuhi lan ndjaga katentremaning negara sakabèhing tékad kang sutji ora bakal ana rintangan, lan adja sumelang lair lan batin kudu djudjur, adja bèntjèng tjèwèng, adja ndjaba putih ndjero kuning, wis mesti bakal kabul kang dadi sedjané.

Bab ananing Rasaning Manungsa.

Ing ngarep wis dak aturaké jèn Manungsa iku kadunungan rasa, déné rasa iku rupané abang, jaiku kang arupa getih, rasa mau kang ngratani awak sekodjur. Déné rasa mau ana 3 prakara. Rasa kang ana ing djero, lan ana rasa kang bagèaning ndjaba. Awak sakodjor mau uga ana kang ora dirambati (di ilèni) ing rasa (getih) kabèh kang dirambati dèning rasa, ditjakot lemut waé  ja krasa lara, apa manèh tatu kena gaman lan lija-lijané luwih lara manèh. Badan sakodjur kang ora di ileni Rasa (getih) jaiku luwihané kuku, sing ora ana getihé jèn diketoki ja ora krasa lara, kaping pindo rambut kang ora  mentjok (gondelan) ing kulit jèn dipotong ja ora krasa lara.

Bab pérangané rasa.

a.             Rasaning urip, jaiku rasa sedjati kang mènèhi rasa sekabèhing rasa (pantjering rasa) kang ora kena ditulis ing kéné, djalaran walaté gedé banget.
b.            Rasaning ilat, gunané kanggo ngrasakaké panganan kang énak lan kang ora énak, kanggo ngrasakaké panganan kang legi, kang gurih, kang asin lan sapanunggalané.
c.             Rasaning kulit (rasaning raga) kanggo ngrasakaké jèn kesandung, tatu gaman, ditjakot klabang lan sapanunggalané. Kang diarani rasa sedjati, jaiku rasa kang langgeng kang ora owah gingsir, ana ing ngendi panggonan panggah, béda karo rasaning ilat lan rasaning kulit. Jèn rasaning ilat upama kakèjan olèhé ngombé, mangan wis ora krasa énak, lagi pileg waé mangan wis ora ngrasakaké énak, dadi rasaning isih bisa owah gingsir, tegesé rasané ilat ora tetep. Semono uga rasaning kulit (awak) prasasat tansah kerep owah (brobah) upamané, lagi kesuwèn lungguh waé, rasané wis ora kepénak, turu ora alih-alihan waé wis krasa pegel, turu kagèt rasané wis béda manèh, mangkéné sabandjuré.

Mula saka iku jèn dirasakaké kang tenan, lan dipikir kang tenan, sekabèhing rasa manungsa bisa ngrasakaké, manungsa diwadjibaké milih, sing dipilih rasa kang lara apa rasa kang kepenak, wis mesti kabèh manungsa milih sing énak,weruh panganan kang énak-énak. Nanging gènèja sok terkadang lan sebagèan gedé ora ngerti karo rasané kang sedjati, kang mènèhi sekabèhing rasa ; mangka sedjatiné ja pada-pada kena dirasakaké. O! Para maos, bab iki pantjèn gawat, lamun ora gawata rak ora susah digurokaké, ora susah nganggo digolèki, jèn saben sok wonga pada ngerti, rak ja ora ana sing djeneng kapir. Nanging para maos, adja nganti klèru ing semu, adja nganti salah paham. Kang dak karepaké dudu kapiring wong kang ora sunat, tegesé kapir, déné kok nganti kapiran ora ngerti njang rasaning urip, ja kang diarani lungguhing urip, ja kang diarani pantjering rasa, ja rasa kang mulja, ja rasa kang langgeng kaja dak aturaké ing nduwur mau.

Manungsa kang sampurna kawruhé, tegesé kawruh kebatinan kang sedjati, kawruh kebatinan kang tenan putus ing samubarang rèh kebatinan perlu dak balèni manèh bab R. Ng. Ronggowarsita, bakal séda kurang pitung dina bandjur ngarang buku Kalatida, mula saka iku manungsa wis tjukup ngerti ing ugering urip ja ngerti uga menjang sangkan paraning dumadi, mula wong urip kudu dipada prajitna marang uripé, tegesé ja uriping kelahiran kanggo teteping tata pradja, kanggo njukupi sandang pangan, netepi ganeping urip bebrajan ana ing alam donja, tegesé wis samestiné ichtiar kanggo lair, samono uga kanggo kebatinan kang bakal kena diturunaké ing wiwitan nganti tekan pungkasan (awal lan achir) jèn wis titi mangsané katimbalan ing Gusti, utawa bali menjang djaman kelanggengan, lan jèn tekan ing djaman kijamat kobra, tegeseé kijamaté awaké déwé. Jèn si anak putu ditinggali omah lan radja brana wa, durung mesti jèn bakal duwé gonda arum, utawa kang umum pada ngarani gampangé munggah suwarga. Kang mangka jèn ana suwarga ja ana neraka, djer iki wis gandèngané. Mangkono jèn para maos kersa nitèni.

Bab gaibing Gusti.

Kang diarani tembung gaib iku tegesé, sawidjining barang kang samar. Barang kang samar iku tegesé sawidjining barang kang ora kena digrajang déning tangan, kang ora kena dideleng nganggo mripat, kang diarani tjedak tanpa senggolan lan adoh tanpa wangenan, gedéné samritja binubut. Déné sipaté Gusti Allah kaja kang kasebut ing ngisor iki.
a.       Gusti Allah iku ora lanang ora wadon.
b.      Gusti Allah iku ora djaman lan ora makam.
c.       Gusti Allah iku ora arah lan ora papan.
d.      Gusti Allah iku ora konta lan ora kanti.
e.       Gusti Allah iku ora rupa lan ora warna.
f.       Gusti Allah iku ora peputra lan ora mutrakaké
g.      Gusti Allah iku ora dahar lan ora saré.
Jèn para maos kersa nggalih tembung-tembung kang kasebut ing nduwur iku, nanging adja nganti salah paham ing panampa (olèhé nampani), mungguh sakabèhing tembung mau, sanadjan tembung apa waé mesti ana kosok baliné, tegesé tembung mau upama ana tembung ngisor ja ana tembung nduwur. Dadi jèn ana tembung ora ja mesti ana tembung ana. Apa ora ngono ? Jèn mangkono sipaté Gusti Allah iku terangé mangkéné :
a.       Gusti Allah iku tegesé ja lanang ja wadon.
b.      Gusti Allah iku tegesé ja djaman ja makam.
c.       Gusti Allah iku tegesé ja arah ja papan.
d.      Gusti Allah iku tegesé ja konta ja kanti.
e.       Gusti Allah iku tegesé ja rupa ja warna.
f.       Gusti Allah iku tegesé ja peputra ja mutrakaké.
g.      Gusti Allah iku tegesé ja dahar ja saré.
Ing ngarep wis dak terangaké sepisan bab manungsa iku Sipating Allah. Ja pasemoning Allah, kang kapindo ana ing pasemoné sasmitané angka 1 + 0 = kang ateges silih sinilihan.
Isi + wadah, tegesé kaja ing ngisor iki.
a.       Gusti Allah iku jèn mriksani nganggo mripaté manungsa.
b.      Gusti Allah iku jèn mirengaké nganggo kupingé manungsa.
c.       Gusti Allah iku jèn ngambu nganggo irungé manungsa.
d.      Gusti Allah iku jèn dahar nganggo lesané manungsa.
e.       Gusti Allah iku jèn ngandika nganggo lesané manungsa.
f.       Gusti Allah iku jèn tindak nganggo sikilé manungsa.

Sekabèhing tindak lakuné Gusti Allah kang betjik-betjik ngagem (njilih) awaké manungsa, amarga manungsa iku ja uripé Gusti Allah, kang diarani Gusti Allah iku ja urip. Mulané bareng wis Gusti Allah djedjer (manggon) ana ing manungsa, kaprijé olèhé arep mbédakaké, sing endi kawulané lan sing endi Gusti amarga wis kasebut loroning atunggal, lan dak upamakaké gula kang wis ditjampur banju, endi banjuné lan endi gulané, mungguh rasaning banju ja wis kumpul karo rasané gula. Bab iki perlu aku ngaturaké njuwun pangapura marang para maos kang klèru tampa (kang salah paham), mula ing ngarep wis dak terangaké Gusti Allah (Urip) iku sing mbutuhaké wadah (panggonan) urip kang tanpa njilih raganing manungsa, urip tanpa manggon ing manungsa ora bakal ana utusan, lan ora bakal ana sastra djendrajuningrat, ja ora ana tjarakan djawa, ja ora ana sipat rongpuluh, ja ora ana lanang lan wadon. Mangkéné ganepé katrangan ndak pasrahaké para maos kaprijé olèhé menggalih bener lan luputé, aku mung sadrema tjaos wawasan marang para sedulur kang kersa ngagem lan sing mbutuhaké ing kebatinan kanggo ngluhuraké ing kelahiran sumrambahé marang katentreman, kang bakal kena kanggo sangu ing donja tumekaning ing achirat, tegesé raté (pengadilané) awake déwé wektu bebrajan ana ing donja, akèh alané apa akèh betjiké. Mula ing wektu kita isih bagas kewarasan adja ngadji pumpung, malah sawenèh ana sing sok guneman mangkéné, Allah urip sepisan kanggo apa, jèn ora dak tutug-tutugaké olèhku seneng, mbésuk jèn wis mati apa bisa seneng, senengku dak entèk-entèkaké saiki. Karepé sing guneman saka kurang ngertiné tegesé Allah Urip Sepisan, mangka pantjèn bener, jèn Allah iku ora urip ping pindo, nanging Allah (uripé) iku mung sepisan, mulané diarani langgeng (selawasé) mangka karepé sing guneman awaké kang urip sepisan. Déné jèn raga kang wis rusak mung sepisan (raga) kang wis disenengi déning Urip (Allah) mung sepisan.

Bab Gusti Allah ja Djaman ja Makam.

Gusti Allah iku djamané (djagadé) kang gedé kang dumunung ana ing manungsa, amarga manungsa kang dikuwasakaké mengku, kang wis gumelar ing djagad. Makamé Gusti Allah ana ing Alam Suwung, kang diarani Suwung nanging sedjatiné djalaran urip iku jèn ora mbutuhaké panggonan alamé ana sing kesampar kesandung nanging ora pada diweruhi. Sebagèan akèh kang diweruhi mung kelairan tegesé sing sarwa katon. Gaibing Gusti Allah, samaring Gusti Allah kang tjedak tanpa sénggolan, adoh tanpa wangenan, kang anguripi manungsa terkadang ora diweruhi.

Bab Gusti Allah ja arah ja papan.

Gusti Allah iku arahé ja ana Manungsa, Gusti Allah papané ja ana Manungsa. Gusti Allah ja mapan ana djagad kang gumelar.

Gusti Allah ja kanta ja kanti.

Gusti Allah kantané ja ana Manungsa  ja ana djagad kang gumelar.
Gusti Allah kantiné ja ana Manungsa ja ana djagad kang gumelar.

Gusti Allah ja rupa ja warna.

Mangkéné katrangané rupa lan warnané Gusti Allah ing lair, ja ana ing Manungsa, lan saisining djagad kabèh. Mungguh rupa kang gaib ja kang samar, kang dak aturaké ing nduwur, kang tjedak tanpa sénggolan adoh tanpa wangenan, ana rupa kang padang terawangan, kang gumantung tanpa tjantèlan, kang manggon ing pribadiné déwé, kang dumunung ing rasané déwé, kang dumunung ana pandelengé déwé, ja kang manggon ing suwung, nanging ana ja ana djaba ja ana ndjero. Bab iki kang kudu diweruhi déning wong sing gelem meruhi, supaja bisa mangerti sangkan paraning dumadi.

Bab Gusti Allah ja peputra ja mutrakaké.

Katrangan, sedjatiné Gusti Allah ja peputra ja mutrakaké ing lair lan batin, ing gaib lan kang ora gaib, Gusti Allah ja dahar ja saré, bab iki ora perlu dak djèrèng amarga ing nduwur wis tjukup terang.
Ing ngisor iki ngaturaké tembang dandang gula minangka kanggo ganeping ulur-ulur, supaja antuk wawasan saka lija tembung.

Kawruhana dunungé wong urip, lamun mbèndjang amanggih palastra, wong mati njang ndi parané ; upama peksi mabur, mlesat saking kurungan nèki, upama wong sesandjan ing béndjang mesti mantuk ; poma dipun kawruhana lamun sira ing tembé tumekèng pati, djaléna sangkan paran.
Kaja mangkono udjaré wong tuwa djaman bijèn bakal dak terangaké sawidji-widji kaja ing ngisor iki.

a.       Kawruhana dunungé wong urip.

Kabèh wong pada ngakoni jèn urip, nanging akèh kang ora ngerti dunungé urip. Nanging lamun ngertija diarani kupur, déné jèn ora ngerti diarani kapir. Kupur tegesé sampurna, lan kapir tegesé kapiran, nanging ora kapiran olèhé golèk sandang pangan, mung kapiran ora ngerti karo sing nguripi, tegesé ora gelem wawuh karo sing gawé urip. Mangka sing nguripi (Gusti Allah) trésna banget marang kawulané, ja Berbudi Bawa Leksana, ja Murah, ja Asih, ja Adil, ja Sutji, mulané Maha Kuwasa hara ! Ana ing ngendi dunung urip ? Golèkana ing rasamu déwé.

Lamun bendjang manggih palastra.

Jèn besuk tekaning djandji (jèn bali menjang djaman klanggengan) upama ora weruh saiki, apa weruh bésuk ? Dimokalaké banget wong isih urip ora weruh, kok jèn mati bakal weruh ? Sedeng awaké dirubung wong akèh wis ora weruh djawané, didusi, dibuntel, dipikul, dipendem, wis ora weruh. Ja apa ora rasakna déwé.

Wong mati menjang endi parané.

La ! tembung iki sing mandes banget, tembung iki sing gawat banget. Katrangan ing ngarep kaja-kaja ja wis dak terangaké jèn wong mati iku sing mati ragané, déné ragané sarèhning asal saka lemah, ja bali menjang lemah (kuburan). Raga iku sedulur kang nomer 4 : tunggalé 1. Mutmainah, 2. Amarah, 3. Supijah lan sing nguripi Gusti Allah parané menjang ngendi ? Golèkana menjang Panaraga delengen karo rasamu déwé.

Upama peksi mabur mlesat saking kurungané.

Manungsa diupamakaké manuk kang miber, utjul saka kurungan. Katrangané mangkéné, sing dak terangaké iki kabèh kasunjatan, para maos ora sumelang manèh, sing ora wani nerangaké mung bab gaib, ing ngarep wis dak aturaké jèn malati, manuk iku asalé saka kaju, lan manuké manuk apa, sing disenengi manuk iku kaju apa, upamané manuk perkutut. Manuk perkutut kang wis-wis sing disenengi kaju nangka, kaju pelem lan lijané. Tegesé sarèhning manuk iku asalé saka kaju ja bali menjang kaju, tegesé sanadjan kéwan, ja ngerti asalé, asal saka kaju (wit-witan) ja bali menjang wit-witan ora bakal bali menjang gerdu, mangkéné sabandjuré. Kaja sédjéné manuk kang dak kandakaké iki, jaiku manuk blekok (kuntul) jèn wis kulina turu ana ing wit asem, utawa kaju lijané kang gedé-gedé, ana ing desa A jèn wajah ésuk olèhé golèk panggonan menjang désa B ing wusana bareng ing wajah soré ja bali menjang désa A mau, lan turuné uga ora gelem ngalih saka kaju kang dituroni saben dinané mau.
Lo ! mengkéné sedulur jèn kersa nitèni, ing  ngatasé sato kéwan ngerti marang sangkan parané, kaja manuk kang dak aturaké mau, mangka désa B iku djaraké kira-kira ana limang kilometer (5 Km) kok perlu temen bali menjang désa A, apa ing kono ora ana kaju kang gedé ? Mestiné ja ana ! Nanging dèwèké ngrumangsani jèn duwé omah ana ing désa B, lan uga ora asal saka désa B. Adja aku kang djeneng manungsa, jèn nganti ora ngertija menjang sangkan parané manungsa, ja kegolong nggumunaké. Malah djeneng kapir.
Upama wong sandja, ing bendjing mesti mantuk.
Manungsa ing ngalam donja iki, dianggep wong sandja, jèn wis wareg olèhé sandja, ja bakal mantuk. Ora béda karo manuk mau, jèn wong kang sandja mau omahé ing désa C, apa ija bakal bali menjang désa  D ? Kiraku ja ora ! Jèn nganti bali menjang désa lija rak klèru. Mula saka iku wong urip kang kudu disumurupi, bésuk baliné menjang djaman klanggengan, jèn bisa adja nganti kliru (adja nganti kesasar). Mangkéné para maos kahanané wong urip.

Bab wong bali menjang djaman klanggengan.

Panuwunku marang para maos, jèn wis maos buku mung kari ngudi marang gaib, jaiku barang samar. Sigeg.
Satemené mangkéné, manungsa kang wis putus kawruhé, wis ora kesamaran kang bakal patiné, amarga wis pada kanggonan lan wis pada ngawuningani sangkan paran. Apa ta sebabé wong mati iku kok mung dislameti kang entèk-entèkan mung 1000 dina ? Kok ora bandjur 1100 – 1500 dina ? Amarga mangkéné sedjatiné, kang diarani wong kang sampurna kawruhé, ja iku batin lair wis mengku kahanan Djati, ja wis ngerti menjang sangkan paraning awal lan achir, bakal baliné menjang djaman wiwitan, kurang 1000 dina wis ngerti. Mungguh katrangané kaja kasebut ing ngisor iki.

1.      Tengeran kang kurang 1000 dina.

Wong kang bakal ditekakaké ing dina wekasan (ngadjal) utawa tinggal donja, jèn kurang 1000 dina (3 tahun kurang). Kerep ngimpi gawé omah tegesé tembung kerep terkadang seminggu sepisan, terkadang ja 10 dina sepisan. Bandjur omah mau ja dienggoni, déné omah mau mesti tjotjok karo lairé, tegesé jèn wong lairé ala, kang murang sarak lan wataké rusuh, gawéhané omah (olèhé ngimpi gawé) omahé ja ala, manut marang kelakuané wongé. Ngimpi kaja mangkéné iki lawasé nganti setaun.

2.      Tengerané wong mati kurang 2 taun.

Wong kang bakal mati kurang 2 taun utawa kang diarani pendak pindo, ketarané tansah kangen karo sanak sedulur kang wis ngadjal kang rumangsa ditrisnani, mèh saben-saben bandjur lungguhan ngemu susah, amarga kangen karo sing wis mati, bab kaja ngéné iki ja ora saben dina, terkadang jèn pinudju lali ja ora ngono, jèn pinudju kèlingan ja bandjur tenger-tenger manèh sadjak ketara susah, mangkéné sabandjuré bab tengeran sing kaja ngéné iki suwéné nganti setaun. Adja nganti kesupèn karo tengeran-tengeran kang wis dak wedaraké iki, poma-poma sing nganti éling tenan.

3.      Tengeran wong arep mati kurang setaun.

Wong kang bakal mati kurang setahun, tanda-tandané ndeleng kahanan wis ora adjeg, tegesé, ndeleng barang kang warna putih terkadang sagebjaran katon abang, katon ireng, katon kuning lan sapanunggalané.
Nanging ja ora suwé mung watara ½ - 1 menit. Mangkéné sabandjuré tengeran kang mangkéné suwéné nganti 6 sasi, bab kang kaja ngéné iki jèn tumrap wong lija, sing wis tau ndak seksèni, djer ja sadulur déwé, malah sok alok déwé = malah sok alok mangkéné. Ora aku iki jèn ndeleng barang-barang kok sok molah-malih ngéné. Malah ana sing nganggep wetengé kotor. Merga saka kurang ngertiné mau. Sing pratitis karo tanda-tanda kang dak aturaké iki, adja nganti kasupèn sing awas sing éling.

4.      Tengeran wong ngadjal kurang 9 sasi.

Menawa wong ngadjal kurang sangang sasi tengerané, kekarepan sarwa keimba (gela) tegesé samubarang kang ditindakaké mung tansah gela, adja manèh kok njambut gawé, la wong mangan waé ja anduwèni rasa keimba (gela) djalaran jèn kurang 9 sasi, kurangé getih ± wis ana 3 liter, dadi ilining getih wis ora rata, tjekaké wis ngurangi sekabehé, ngurangi kekuwatan, kekarepan lan lija-lijané.

5.      Tengerané wong mati kang kurang 6 sasi.

Tengeran wong mati kang kurang 6 sasi iki kang ora slametané. Mungguh kang dadi tandané, sikilé tansah krasa ngetok utawa linu, kekarepan apa waé wis tansah kemba (gela) karemané mung seneng turu kaja déné wong wadon kang lagi meteng, isih ésuk-ésuk wis krasa ngantuk, menjang penggawéjan wis tansah males, tangi turu kepénginané, mangan panganan kang pedes-pedes, bubar mangan ja wis ngantuk manèh, mangkéné, kang mangkéné suwéné nganti telung sasi, utawa terkadang sok dibarengi wis lara. Kaja wong kang ketabrak mobil lan sapanunggalané ja wis krasa  ngétok, nanging sarèhning pantjèn saka ora ngertiné, mung dianggep dudu apa-apa, terkadang sanadjan ana ing penggawéjan, wektu njambut gawé tansah klakepan waé, amarga wis krasa ngantuk.

6.      Tengeran wong arep mati kurang 3 sasi.

Tanda-tandané wong kang arep ngadjal kurang 3 sasi sanadjan wis lara apa durung, tansah utawa saben dina krungu suwara. Déné suwara mau ana warno loro. Kang kapisan suwarané kahanan, tegesé : krungu suwaraning montor, krungu suwarané asu ndjenggong, krungu suwarané kang pating grubug, lan lija-lijané. Déné suwara-suwara kang dak terangaké iku dudu suwara kang semestiné, suwara kang samestiné jaiku krungu suwarané botjah nangis, amarga kudu ana tanda kang mangkéné iki, tanda kang sabeneré, tanda kang mesti bali menjang asalé. Sarèhning asal-asalé saka baji, dadi tanda-tanda kang asal ja baji, mulané krungu baji nangis. Déné kedadéjan-kedadéjan kang mangkéné iki wongé, sanadjan durung lara, utawa wis laraha pisan, wis dadi kodrat, wis ora kena disrengati manèh, mung kari ngentèni katetepan saka Kang Maha Kuwasa. Nanging sanadjan tumrap kanggo wong sédjé (wong lija) kang ora duwé buku iki, adja diterangaké supaja adja nganti gawé tjilik atiné kang waras, malah diwènèhi tembung kang maremaké marang kang ngopèni. Ananging marang  wong kang ana tanda kurang 3 sasi mau, jèn durung lara awaké wis mèh pulih, tenagané kaja wong ora bakal ana apa-apa. Tengeran kang mangkéné iki para maos kudu sing awas lan éling adja nganti kesupèn. Poma diwaspadakna.

7.      Tengeran  wong kang arep ngadjal kurang 40 dina.

Bab tanda-tanda kang kurang 40 dina iki, wongé wis lara apa durung, sanadjan durung lara bab tanda, uga ira bakal pisah. Mungguh tandané mangkéné, ajang-ajangan terkadang ora katon, nanging uga ora suwé, suwé-suwéné samenit, bandjur pulih manèh. Jèn ing wajah bengi, deridji tangan ditawangaké ana ing lampu wis ora ketara peteng, amarga si getih kurangé wis akèh banget. Supaja dipenggalih sing tenan. Manungsa iku kekuwatané amarga saka getih.
Supaja kang waspada marang tanda-tanda kang kasebut kabèh.

8.      Tengeran wong kang arep ngadjal kurang 30 dina.

Wong iki wis lara apa durung, jèn durung lara, lagèané nganjar-ngajari, tegesé salah hawané ora kaja adat saben, kajata sing kerep dak njatakaké tansah brahi, nanging dudu brahiné wong meteng, sanadjan ana ing dajohan, apa manèh sing wis ditepungi, ngadjak gujon kang ora kaja adaté, lan lija-lijané, béda banget kaja adat saben. Déné jèn wong mau wis lara pendjalukané sing anèh-anèh lan rupa-rupa, ananging sawisé ora dipangan, mangkéné sabandjuré.
Dipoma kudu sing awas, lan sing éling karo tengeran.
Malah ana sing sok angunandika mangkéné. O lajak sisuta dèk anu kaé réné, kok ndjaluk mangan barang, wong adaté ja ora ngono, malah bandjur gujon luar biasa, E ! dadi arep mati ta. Bab sing kaja mangkéné loro-loroné, isih pada durung ngertiné. Diawas lan éling karo tanda-tanda kang kaja mangkéné, lan kudu sing titèn tenan karo samudanané wong, sédjé, dipriksani apa ija apa ora.

9.      Tengeran kang kaping 8 kurang 7 dina.

Wong kang bakal ngadjal kurang 7 dina, wis ketara putjet, ing praupan wis ketara mringkus. Kuping wis ketara kèplèh, tegesé ketara lemes. Sebab ana kedadéjan sing lara mung 3 dina, wis teka adjalé, uga ana kang dadakan, bab sing kaja mangkéné saking ora ngertiné, nanging terkadang omongané wis tjemlang-tjemlong wis dudu sabahéné déwé.

10.  Tengeran wong ngadjal kurang telung dina.

Bab wong ngadjal kang kurang 3 dina ana tanda kang kena dideleng jaiku, jèn wis ngising kok ora ngujuh wis ora kena di srengati manèh, iki sawidjining tanda kang tjedak déwé. Djalaran sakabèhané wong pada nglakoni. Wong kang arep ngising kang luwih disik ngujuh, jèn ujuh wis metu, bandjur ngetokaké kotoran, tandané jèn wis mampet bandjur ngujuh manèh. Kadjaba saka iku ana kang Gaib, kang ora kena dak terangaké ana ing kéné, amarga gedé banget walaté jèn ora sapatemon loro.

11.  Barang wis kurang sedina kudu pasrah marang Gusti.

Kang Maha Kuwasa, amasrahaké sedulur papat mau = jaiku :
1.      Mutmainah asal saka banju balija menjang banju.
2.      Amarah asal saka geni balija menjang geni.
3.      Supijah asal saka angin balija menjang angin.
4.      Aluamah asal saka lemah balija menjang lemah.
5.      Gusti Allah kang asalé saka langgeng ja bali menjang suwung manggon ing kahanan kang Maha Mulja tetep angratoni kahanan djati ora owah gingsir langgeng ing salawasé.
Mungguh rapalé uga ora dak tulis ing kéné amarga tetep gedé (walaté) Njumanggaké para maos olèhé nampani tjamut-tjamut kawruhku mung seméné. Dén jèn kurang marem supaya olèh tambahan lija-lija, supaja mundut buku : Hidajat Djati, saben toko buku ja mesti ana. Ing ngisor iki aku nambahi katrangan kang tjotjok ing lair. Manungsa iku kekuwatané saka getih, kumpuling angen-angen kang wutuh, amarga getihé ja isih wutuh, tegese durung kalong. Manungsa iku duwé ukuran saka getih, mungguh okèhing getih wong kang gedé awaké ± mung 6 liter. Déné jèn wis bakal surut kurang telung taun, getihé mau dalem sedina wis suda 3 gram, bareng wis kurang 2 taun, getihé wis kalong 360 liter x 3 = 1080 gram (10,80 liter) upama wong mau kang awaké sing duwé getih 6 liter , wis kalong 10,80 liter.
Bareng kurang setaun getihe wis kurang 1080 gram x 2 = 2160 gram, wis kurang 2 liter luwih, saka kéné iki jèn dideleng saka kenjataan mulané bangsa dokter bisa ngarani mesti bisa pas tenan, amarga bisa diukur saka kalongé getih, mangkéné iki sabanjuré. Déné kurang 6 sasi saka adjalé kang dak terangaké ing nduwur mau, mulané tandané ana ing sikil wis (tansah krasa ngetok), amarga mubengé getih (iliné) getih wis ora njukupi ing badan sakodjur (wis ora rata) ora ana bédané upama sawah sebau kang banjuné setitik, wis temtu olèhé ngelep ora bisa wareg, ja ora bisa wareg, ja ora bisa rata.
Mulané jèn wis kurang 6 sasi tansah kemba, tansah males, kudu dojan turu, jèn pinudju getih mau ana ing nduwur (ing sirah) èngetané ja kaja wong isih 100% uripé, déné jèn getih mau gilir menjang sikil, nanging ing sirah kurang getih, angen-angené ja wis brobah, wis kosong, wis ora duwé angen-angen kang ora genep.
Déné jèn kurang 40 dina si keteg kang ana ing tangan (pols) iki lakuné wis ora adjeg, tegesé ora adjeg mangkéné, apa manéh wis ketaman lara, terkadang gèk kerep, terkadang gèk arang, lan terkadang lèrèh, sedéla bandjur ana manéh, mangkéné sabandjuré nganti tekan ing dina wekasan.
Kang diarani wong kang sampurna uripé awal achir.
Ing ngarep wis dak terangaké, jèn arep ngadjal kurang 3 sasi utawa 100 dina, ing kéné wis ana tanda-tanda kang klèru dalané, utawa klèru baliné, jaiku tanda kang kena kanggo patokan pangrungu (kang dirungokaké). Sarehning manungsa iku ing ngarep nalika lair awudjut baji, sing ora bakal ora kesasar ja mesti krungu suwarané baji nangis, kaja duk mauné. Jèn ora krungu suwarané iki wis terang bakal klèru (kesasar) embuh bakal kesasar menjang ngendi, luwih disik kudu digolèki (dititi priksa) dalané. Manungsa iku duwé sedulur papat kajata :

1.      Mutmainah, Banju kang mengku sekabèhing isining banju.
2.      Amarah, Geni kang mengku sekabèhing djim sétan lsp.
3.      Supijah, Angin kang mengku sekabèhing kéwan iber-iberan.
4.      Aluamah, Siti.

Ing kitab Qur’an nerangaké, malah kerep banget kanggo mulangi wong-wong kang kurang mangerti supaja nglakoni kang betjik-betjik, bésuk jèn mati supaja munggah suwarga, tembung kang kaja mengkéné iki lumrah ing kalangané wong-wong kang wis ngerti, apa manèh jèn pinudju musawarah, malah kena diarani masalah sing luwih disik. Malah-malah sok diterangaké mangkéné wong kang arep adjal wis ketekan sakaratul maot (sekarat) ing kono dalan prapatan, adja nganti klèru olehmu milih. Maneka sedjatiné kang diarani dalan prapatan mau, jaiku seduluré déwé kang papat iku, kabèh pada duwé karep anglarapaké supaja adja nganti bali menjang panggonan kang sedjati, ja panggonan kang Maha Mulja. Jèn ta nganti gelem kèlu marang mutmainah, mesti bakal dadi kéwan kang ana sadjroning banju jaiku bangsané iwak. Upama gelem katut karo amarah bakal klèru dadi bangsané djim lsp. Jèn ta nganti katut menjang supijah bakal dadi bangsané kéwan iber-iberan. Kang kaping papat jèn nganti gelem katut menjang aluamah, bakal dadi bangsané kéwan gumremet, kodok, kebo, sapi, lsp. Jèn ta manungsa nganti klèru dalané menjang patang perkara iki kang diarani njemplung neraka. Déné jèn krungu suwarané botjah nangis bali menjang asalé, kang diarani suwarga.

Déné kang diarani suwarga lan neraka iku dunungé ana ing kelakuan nalika djaman isih urip, kelakuané ala apa betjik. Jèn nganti sapatiné kelakuané tetep ala, matiné ja tetep menjang neraka (dadi intiping neraka). Mungguh paseksèné jèn ketjemplung neraka, jaiku ana tembungé wong akèh, kang dumunung ana ing lambéné wong. Tegesé mangkéné. Upamané ing désa A ana salah sawidjiné wong kang gawéné tukang maling, bandjur matiné sarana dipatèni wong akèh dikrojok wektu konangan olèhé maling, lo bab kedadèjan kang kaja mangkéné iki, apa ija dialem betjik karo wong akèh ? Jèn mestiné ja ora malah terkadang ana sing muni mangkéné. Sokur si B kaé ndang mati amarga gawéné mung gawé rusuh désa. Lha, barang kang kaja ngéné iki kang diarani neraka, arep diganti suwarga wis ora bisa, amarga wis pungkasan. Kadadéjan kang kaja mangkéné iki wis selawasé. Kosok baliné kang diarani suwarga jèn nganti tekan patiné kelakuané tansah betjik, ora katjirèn apa-apa déning umum, patiné ja munggah suwarga. Dadi terangé seksiné suwarga lan neraka dumunung ana lambéné wong akèh. Mula jèn kepéngin munggah suwarga nglakanana panggawé kang betjik-betjik, lan jèn kepéngin arep njemplung neraka, terserah karo sing arep nglakoni, amarga patrap sing ala iku tanpa sinau. Nanging saka wawasanku kéné, pada nglakoni, tinimbang nglakoni patrap sing ala mbok aluwung nglakoni kang betjik, mangkéné jèn karsa nitèni. Mula ing ngarep ana katrangan, sedjatiné sing ala iku wadahé nanging dudu isiné (sing ala iku manungsané nanging dudu uripé).

Bab widjiné Suwarga.

Sakabèhing wong urip pada kanggonan kaja ing ngisor iki.
a.  Betjik/kelakuan kang sarwa betjik.
b.  Ala/kelakuan kang sarwa ora pantes disawang ing umum.
c.  Kabèh wong pada duwé djodo. Wong lanang ja karo wadon. Sawisé dadi mantèn, ing kéné panggonané wiwit nandur (deder) suwarga, lanang lan wadon supaja pada bisa mengku kuwadjiban déwé-déwé, tegesé bisa wengku-winengku, perluné kanggo dalané didikan djabang baji kang bakal urip lair. Djalaran ndidik anak iku sedjatiné jèn marang ladjering sinatrija kang utama, jèn isih ana guwa garbané ibu, ora jèn wis ana ndjaba, pendidikan kang ana ndjaba iku luwih gampang amarga bandjur dipasrahaké marang guru.

Kang dak aturaké ing nduwur bab kewadjibané wong lanang lan wadon iku mangkene :

a.       Wong lanang, suwéné ibu nggarbini (garwané) adja laku sérong, tegesé adja nganti duwé tindak djina karo wong wadon sédjé, adja nganti goroh karo kajané, sing gawé seriking garwa, adja sok duwé patrap kang ugal-ugalan lan lija-lijané.
b.      Kosok baliné tumrap ing bijung ja semono uga, lelakon kang kasebut ing nduwur iku supaja pada bisa nglakoni, adja sering nesu kang mung djalaran sepélé, bisa nindakaké prakara kang kasebut ngarep iku kabèh, wis dadi dalané prihatin kang utama, nganti tekan mangsané djabang baji lair. Luwih-luwih prijaji kakung ing wektu garwané nggarbini kersa pasa, tegesé ngurangi dahar lan saré, lan ja pasa sabar, déné bab ngurangi dahar lan saré mau dak pasrahaké marang pribadiné déwé- déwé, nganggo patrap kaprijé dak pasrahaké sing arep nglakoni, nganti tekan djabang baji lair, lan kabèh sing ditindakaké sadjroning djabang baji isih ana ing kandungan supaja ngandung pikiran kang sarwa sutji sarwa betjik, perluné ja kanggo ndidik djabang baji kang isih ana ing kandungan mau, jaiku kabèh widji kang bakal teka ora ketjampuran widji kang ala, lan sing ditabakaké (sing ditandur) ja widji kang apik tenan. Jèn bisa nindakaké samubarang katrangan ing ngarep mau mbésuk jèn djabang baji lair, lan slamet pandjang umur, bakal dadi sinatrija kang utama, jèn wadon bakal dadi putri kang utama uga, déné manggoné suwarga (kang oleh suwarga) teluning atunggal tegesé :
a.       Bapak ja olèh suwarga.
b.      Bijung ja olèh suwarga.
c.       Putra ja olèh suwarga.

Bapa lan bijung bisa njuwargakaké Putra, kosok baliné si putra bakal bisa njuwargakaké bapa lan ibu mangkéné sabandjuré. Mungguh kuwadjibané ibu wektu isih nggarbini mangkéné, kudu nglakoni pasa Senèn Kemis, suwéné sadjroning 7 Senèn lan 7 Kemis, dalan kang mangkéné iki uga sing bakal bisa njuwargakaké putra. Wong sing kersa pasa Senèn-Kemis iku dajané ja gedé banget.
a.       Slira bisa subur, wong tjilik bisa dadi lemu.
b.      Redjeki bisa subur.
c.       Pikiran bisa subur.

Kang diarani redjeki bisa subur, mungguh kenjataané sing wis kerep dak weruhi, upama wong dadi kaum buruh, apa saben wulané tambah bajarané. O ! tegesé ora ngono. Tegesé satiba malangé tansah bisa tjukup, amarga saka dajané saka kurang rintangan, kurang alangan lan lija lijané.

Rak ora kurang para kaum buruh kang bajarané luwih akèh, nanging tansah kurang tjukup, amarga saking akèhing alangan, ana waé kang dadi sebab, sing bab dokter, sing bab dajoh, sing bab ika iki, nganti prasasat kena diarani arang uluné kutjing, kaja mangkéné tjontoné.

Bab sing dak terangaké iki kabèh, sanadjan pada-pada kaum buruh, sing pada akéhé anaké pada bajaré, pada wengkoné, sing saja gelem pada laku kedjawan meksa béda, kahananing uripé bebrajan, tegesé omah-omahé, bab sarèhning barang kang wudjud, barang kang gumelar, tanpa aling-aling, kena dinjatakaké nganggo laku, waton temen-temen mesti bakal tinemu, Gusti Allah bakal nuruti karepé manungsa kanti laku kang temen-temen, mesti ketemu.

Gandèng bab prihatin ja iku bali menjang watak sinatrija ing tanah Djawa, ana uga sing sok ndjawab mangkéné. Ah jèn saiki wis dudu djamané manèh, djaréné. Djawaban kang mangkéné iki, djawabé wong sing isih kisènan watak murka, watak buta, watak wong kulonan, sing ora gelem ngakoni.
Mungguh prihatin kang kapindo, ngurangi bab kasenengan kajata, nonton bioskup, upama semingguné kanggoné wong sing rada sugih duwit ping telu, digawéja sepisan waé, kaja ngéné iki wis kagolong ngurangi, ja klebu golongané prihatin, wektu garwané isih nggarbini. Upama saben nonton ongkosé Rp. 3,- x 3 = wis Rp. 9,- jèn sewulan wis Rp. 36,- nanging jèn bisa ngurangi dalem 7 dina  seminggu sepisan rak mung kèlangan Rp. 3 x 4 = Rp. 12,- jèn bisa  mangkéné ing kenjataan lair dalem 1 wulan wis duwé tjèlèngan Rp. 24,- jèn nganti tekané djabang baji lair, rak wis kagungan Rp. 24,- x 9 = Rp. 216,- mangkéné gambarané wong kang nomer telu, samongsa garwané isih nggarbini, jèn mentas tindakan, tegesé kadjaba jèn saka kantor jèn kaum buruh, jèn wis rawuh apa manèh rawuhé mau nepsu ing wusana kagungan krenteg kasmaran karo garwané, prajogané siram disik kanggo ngilangi sesukeré hawa nepsu mau, perluné widji kang wis bagus adja nganti ketjampuran widji kang ala mangkéné sabandjuré mulané bakal nandur widji kang betjik, mungguh tjara  kedjawan ja mangkéné iki patrapé.

Prihatin kang nomer 4 sasuwéné garwané isih nggarbini, adja sok ngetokaké tembung kang kotor-kotor, tegesé adja sok memisuh, tembang iki uga andjalari widji kang wis ketara bagus, bandjur ketjampuran widji kang ala, saka dajaning pangandikan iku mau, mula saka iku jèn bisa nglakoní, bab tembung pada-pada muniné pada guneman, tinimbang ngetokaké tembung sing ala, mbok aluwung ngetokaké tembung sing betjik-betjik. Kaja aturku kabèh mau, jaiku kang diarani mangkéné. Suwarga neraka kawengku badan sarira pribadi.

Tegesé ja ora béda karo sing disik-disik jèn wektu garwané nggarbini sing temen-temen tenan, mokal ing tembé jèn turuné ora bakal temen, mokal jèn bésuk turuné ora katurunan suwarga, amarga sing nurunaké suwarga ja saka Bapa lan bijung, sing nandur betjik ja bapa lan bijung mulané sing kersa nglakoni marang aturku kabèh, jèn garwané nggarbini sing ati-ati tenan, adja njlèwèng.

a.       Adja madon.
b.      Adja minum.
c.       Adja main.
d.      Adja maling.
e.       Adja madat.
f.       Adja misuh.
g.      Adja dahwèn.
h.      Adja opèn.
i.        Adja djail.
j.        Adja drengki.

Sepuluh bab iki tapané jèn lagi garwané nggarbini, kudu ditindakaké bapa lan bijung, upama bapaké waktu garwané nggarbini mangka gawéné mung demen rojal madon, bésuk jèn lair djabang baji kana dibuktèkaké sanadjan lair lanang utawa wadon ora bakal ninggal widji, ana paribasan katjang mongsa ninggala landjaran, mangkéné jèn kersa menggalih, dak pasrahaké kang kersa nampani, lan mangkéné tjarané jèn arep nandur widji betjik. Mula saka iku jèn ana sing kagungan putra mursal, dugal, utawa kurang adjar mau, supaja diéling-éling kang wektu nandur, nandur widji sing apa, adja maido dadiné widji lan wohé widji.
a.       Sapa wongé kang gelem nandur widji kang betjik, ing tembé, ja bakal ngunduh wohé
kang betjik-betjik ora woh bongkèkan.
b.      Sapa wongé kang pada nandur widji kang ala, ing tembé adja ngarep-arep wohé kang apik. Sigeg.

Bab sasmita-samita kang kudu digatèkaké.

Ing kéné aku arep ngaturaké sasmita (pasemon) tumrap sinatrija ing Tanah Djawa, jaiku sasmita kang kena digugu kanjataané.

1. Bab dahar.

Jèn para maos lagi tengah-tengah ing dahar,kamongka bandjur ana tamu, adja pisan-pisan djumeneng, luwih disik tamu dipinarakné diaturi ngentèni, sokur jèn ana sing makili nemoni, jèn ta nganti djumeneng tur olèhé dahar durung tutug, ing tembé buri wahanané ora betjik. Upama wong sing kagungan pangkat, lija dina apik-apiké dipindah, ja jèn pindahé mau munggah pangkat, rak kebeneran. Nanging jèn dipindah amarga penggawéjané ora betjik, terkadang kang kaja mangkono iku, mung arep dilepas isih arep golèk tambah alasan-alasan iki betjik-betjik. La jèn ana alané, bisa uga arep nandang alangan kang gedé, kudu sing ati-ati menjang sasmita iki jèn kersa ngagem.
Déné jèn kanggo wong dagang betjik-betjiké bakal nandang rugi mau rupa-rupa, rugi saka kèlangan, rugi barang dagangané ora paju, lan lija-lijané, nanging jèn nganti olèh alangan kang gedé apa ora mbebajani, mula kudu sing ati-ati jèn wektu dahar, bandjur ana tamu adja pisan-pisan djumeneng, wahanané ora betjik ing buriné.

Bab sasmitané jèn arep tindakan.

Lamun arep tindakan sing perlu banget, apa manèh arep hubungan kabutuhan, jèn metu saka dalem, apa manèh wis kira-kira nganti 100 m adja pisan-pisan bali, upama ana barang kang kèri, lan barang sing kèri mau ora pati wigati (perlu) sanadjan wigatia pisan, jèn nganti bali luwih betjik lungané ditunda disik, amarga upama diterusna ngalamat ora olèh gawé, apa manèh tumrap wong kang dagang, kedadèjan kaja mangkéné iki gawat banget, apa manèh tindaké nggawa nesu, ana ing ngendi-endi panggonan olèh-olèhané ja ora beda karo sing digawa mau. Déné jèn tindaké mau sing nganti numpak nganti sedina utawa setengah dina, supaja sangu daharan, lan budalé ja kudu dahara disik, ana ing ngendi panggonan uga gampang kang ginajuh, bab sangu mung kari sakersa waton kang djeneng daharan (redjeki) supaja dièstokna.

Tindakan sing wis ana ing ndalan.

Jèn wis ana ing ndalan, tegesé wis rada adoh saka ing omah, mangka bandjur kepetuk :
a.       Wong mati sing wis dibudalaké menjang kuburan.
b.      Kepetuk ula sing lakuné nugel dalan.
c.       Kepetuk kutjing sing lakuné nugel dalan.
Kepetuk telu-teluné iki, ana ing ngendi-endi panggonan, wasanané ja ora betjik, terkadang jèn diterusaké, ora kepetuk karo sing didjudjug, upama nagiha terkadang ja ora olèh duwit, upama arep rembugan barang sing durung matang ja bisa badar, lan lija-lijané. Tegesé jèn wis ketemu kang dak aturaké mau, sing wis bisa ngrugèkaké, tiwas kesel, jèn ana kedadèjan kang kaja mangkéné luwih betjik bali disik, upama olèhé lunga mau, mongka wis numpak sepur 2 djam, apa kudu bali ? Jèn ana kedadèjan mangkéné saraté lèrèn disik, mampir menjang warung, nanging sing wis-wis apa kang disedja ja tetep sial. Djalaran arep bali wong wis adoh arep dikapakaké, kena dinjatakaké sebab iki dudu impèn, jèn impèn isih bingung olèhé ngramal. Ana manèh ana ndalan bandjur kepetuk wong tukaran, iku uga sasmita kang ora betjik.

Bab samita ana ula kang mlebu omah.

Bab sasmita ula kang mlebu ing omah iku ana rong rupa.
a.       Ula kang mandi, apa ula kang ora mandi, lan mlebuné awan apa bengi.
b.      Ula kang mandi tur mlebuné bengi, sing kagungan dalem ngalamat arep oleh alangan.
c.       Ula kang ora mandi, kang kagungan dalem ngalamat arep pindah panggonan.
d.      Jèn sing mlebu mau ula weling sing kagungan dalem kagungan udjar kang durung diluwari, nanging ja bakal oleh alangan. Déné ula-ula mau jèn mlebuné bengi luwih gawat banget.
Senadjan ula mau mlebuné uga ora ana betjiké amarga ula iku mawa wisa, mawa upas, ja uga paring sasmita kang ora ngepénakaké.

Tindakan kang kersa diendeg déning kantja.

Jèn pinudju tindakan mongka bakal ngrembug babagan kang perlu-perlu, ing wusana ing ndalan, bandjur ketemu salah sidjining kenalan kang bandjur ngendeg, iki uga salah sidjining sasmita, tindaké mau bakal ora kasil, bab sing dak aturaké kena dinjatakaké bab ketemenané. Upama bandjur ketemu dalan sepur kapinudjon lawangé ditutup, iki pada maksud karo diendeg ing kenalan mau, wahanané uga ora betjik, mangkéné sabandjuré.

Tindakan bandjur mireng sasmita suwara.

Jèn pinudju tindakan ana ing ndalan, upamané ana sepur, ana ing bis, ana warung lan lija-lijané panggonan. Ana wong jagongan karo kantjané upama mangkéné ; Djan si  Sam olèhé njambut gawé ana panggonanmu kaé apa isih tetep nganti saiki ? Djan bandjur mangsuli karo sing takon mau, mangkéné. Ora ! wis dak kongkon lèrèn amarga aku déwé sing morat-marit. Tembung mangkéné sedjatiné Gusti Allah paring pitutur marang pandjenengan, mengko ana panggonan kang bakal ditudju, upama arep rembugan penggawéjan, olèh-olèhané ja ora béda karo gunemé wong loro mau. Upama sadjroning mlaku mireng tembung mangkéné, ana wong guneman karo kantjané manèh. Prijé kabaré olèhmu lunga winginané kaé ? Ja kang pangèstu sampéjan ja olèh redjeki sing lumajan. Tembung iki ora béda karo sing nduwur, uga paring sasmita marang pandjenengan, mungguh olèh-olèhané pandjenengan tindakan hasilé ja ora béda karo tembung-tembung pandjenengan mirengaké mau. Mangkéné sabandjuré.

Dak pasrahaké karo para maos.

KATRANGANÉ BAB ANANE “KUN”.

Sadurungé djagat gumelar, kahanané isih awang-uwung, durung ana sawidji apa-apa, sing ana mung “KUN”, tegesé ja kuwi pangandikan (guneman). Sawisé ana “KUN”, bandjur ana KUN PAJAKUN. Tegesé ! Sawisé Gusti Allah ngendika, bandjur djagat ana isiné rupa-rupa (warna-warna) sabangsané kutu-kutu, walang ataga, bangsa gegremetan, iwak-iwak, lan lija-lijané, sing nganti ngebegi djagad kang disedijakaké kanggo keperluané manungsa adja nganti kekurangan pangan, dadi terangé sadurungé Gusti Allah nitahaké manungsa wis disedijani pangan luwih disik.

Sabandjuré gandèng karo pangandikané Gusti Kang Murbeng Gesang, tumrap marang manungsa. Pangandikan mau bandjur dipindah menjang (karo) manungsa lanang lan wadon, ja kuwi anané angka 11 (sewelas). Angka 11 kuwi tegesé, nalika bapa lan ibu didjèdjèraké waktu dadi kemantèn, lan disandingi kembar majang.

Kembar majang kuwi tegesé, ana barang kembar sing rupané maja-maja, ja kuwi urip kita pribadi, ana rerupan padang gumilang, mentjorong gumantung tanpa tjantelan, kena dinulu mung sakedèp netra, kang tjedak tanpa senggolan, kang adak tanpa wangenan, mulané nalika bapak lan ibu didjèdjèraké bandjur diwudjudaké angka 11 djalaran kang uga diarani loroning atunggal, amarga antarané lanang lan wadon wis pada anduwèni welas (tresna) ing kono wis pada tuwah angen-angen kapan kaja aku ndang duwé turun (anak) ateges arep anggelar djagad ja djagading manungsa nalika isih lairé ingaran djabang baji. Jèn djabang baji wis lair ja bandjur anané sipat 20, ja anané utusan kang dumunung ana ing Tjarakan Djawa.

Dadi anané “KUN” kang saka Allah, bandjur ngalih menjang manungsa kang minongka dadi utusaning Gusti Allah.

TAMAT.