soewarsomandalaputra

Selasa, 24 Februari 2015

Jomblo

INI UNTUK YANG MASIH JOMBLO AJA LHO.... :)
Ketika Abu Nawas Berdoa Minta Jodoh

Ada saja cara Abu Nawas berdoa agar dirinya mendapatkan jodoh dan menikah. Karena kecerdasan dan semangat dalam dirinya, akhirnya Abu Nawas mendapatkan istri yang cantik dan shalihah.

Sehebat apapun kecerdasan Abu Nawas, ia tetaplah manusia biasa. Kala masih bujangan, seperti pemuda lainnya, ia juga ingin segera mendapatkan jodoh lalu menikah dan memiliki sebuah keluarga.

Pada suatu ketika ia sangat tergila-gila pada seorang wanita. Wanita itu sungguh cantik, pintar serta termasuk wanita yang ahli ibadah. Abu Nawas berkeinginan untuk memperistri wanita salihah itu. Karena cintanya begitu membara, ia pun berdoa dengan khusyuk kepada Allah SWT.

"Ya Allah, jika memang gadis itu baik untuk saya, dekatkanlah kepadaku. Tetapi jika memang menurutmu ia tidak baik buatku, tolong Ya Allah, sekali lagi tolong pertimbangkan lagi ya Allah," ucap doanya dengan menyebut nama gadis itu dan terkesan memaksa kehendak Allah.

Abu Nawas melakukan doa itu setiap selesai shalat lima waktu. Selama berbulan-bulan ia menunggu tanda-tanda dikabulkan doanya. Berjalan lebih 3 bulan, Abu Nawas merasa doanya tak dikabulkan Allah. Ia pun introspeksi diri.

"Mungkin Allah tak mengabulkan doaku karena aku kurang pasrah atas pilihan jodohku," katanya dalam hati.

Kemudian Abu Nawas pun bermunajat lagi. Tapi kali ini ganti strategi, doa itu tidak diembel-embeli spesifik pakai nama si gadis, apalagi berani "maksa" kepada Allah seperti doa sebelumnya.

"Ya Allah berikanlah istri yang terbaik untukku," begitu bunyi doanya.

Berbulan-bulan ia terus memohon kepada Allah, namun Allah tak juga mendekatkan Abu Nawas dengan gadis pujaannya. Bahkan Allah juga tidak mempertemukan Abu Nawas dengan wanita yang mau diperistri. Lama-lama ia mulai khawatir juga. Takut menjadi bujangan tua yang lapuk dimakan usia. Ia pun memutar otak lagi bagaimana caranya berdoa dan bisa cepat terkabul.

Abu Nawas memang cerdas. Tak kehabisan akal, ia pun merasa perlu sedikit "diplomatis" dengan Allah. Ia pun mengubah doanya.

"Ya Allah, kini aku tidak minta lagi untuk diriku. Aku hanya minta wanita sebagai menantu Ibuku yang sudah tua dan sangat aku cintai Ya Allah. Sekali lagi bukan untukku Ya Tuhan. Maka, berikanlah ia menantu," begitu doa Abu Nawas.

Barangkali karena keikhlasan dan "keluguan" Abu Nawas tersebut, Allah pun menjawab doanya.

Akhirnya Allah menakdirkan wanita cantik dan salihah itu menjadi istri Abu Nawas. Abu Nawas bersyukur sekali bisa mempersunting gadis pujaannya. Keluarganya pun berjalan mawaddah warahmah.

(Repost : Kisah teladan Islami)
*

Semoga Bermanfaat ...

#Salam_manis_buat_yang_baca

Senin, 23 Februari 2015

Keadilan

Hal ini membuat saya berpikir: apa sih sebenarnya
keadilan itu?
Apakah keadilan berarti sama?

Jika saya sama dengan anda, maka berarti adil?
Ini adalah maksud yang sering di”cantol”kan
dengan kata keadilan.

Sebenarnya kita memiliki kata khusus untuk ini yang disebut “kebersamaan”,
seharusnya kata ini yang digunakan jika kita
mengemukakan konsep keadilan yang sama.

Apakah keadilan berarti perbedaan? Jika memang kita
berbeda, tentunya keadilan adalah perlakukan yang
berbeda sesuai dengan perbedaannya.
Perlakuan lebih
perlu diberikan kepada kaum minoritas, sedangkan
yang sudah mayoritas yaa biarkan saja. Yang kurang
dilebihkan, yang lebih yaa dikurangkan (berbeda khan perlakuannya) Hakikat arti keadilan seperti ini sebenarnya mirip
dengan yang kedua, yaitu ingin sama. kita harus
diperlakukan berbeda supaya sama. Padahal
perlakuan berbeda itu khan udah tidak sama, jadi
pengin adil dengan cara tidak adil? Apakah keadilan
berarti “pada tempatnya”? Ada lagi yang saya sering temui, pendapat yang menyatakan bahwa
keadilan itu yaa harus dilihat “pada tempatnya”/
konteksnya.

Adil bisa berarti sama, bisa berarti beda.
Problemnya adalah kalau udah bicara konteks, berarti
tambah persepsi. Kalau diawal hanya persepsi akan
arti keadilan berbeda, sekarang ditambah persepsi akan konteksnya. Yaa lumayan lah, dengan konteks, paling tidak
mencoba untuk saling mengerti. Hanya saja kalau udah
saling mengerti apakah berarti akan saling mau
mengorbankan kepentingan? Karena mengerti dan
berkorban itu adalah 2 bukit yang terkadang masih
memiliki jalan panjang.

Pengertian Keadilan pada hakikatnya adalah
memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai
dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah
diakuai dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan
martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak
dan kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan agamanya. Sila kelima pada Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia. Pada sila ini dijelaskan bahwa
keadilan adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Semua
rakyat memiliki keadilan yang sama, jika salah
katakana salah dan jika benar katakana benar. Tetapi
kondisi sekarang telah berubah, katakana salah bagi yang tidak memiliki uang dan selamatkan yang salah
dari jerat hokum karena dia memiliki uang.
Ini adalah masalah terbesar bangsa, hal seperti ini
sudah mendarah daging di Indonesia. Tidak jelas kapan
semua ini terjadi, semuanya mengalir begitu saja
sampai dengan saat ini yaitu puncak dari ketidakjelasan ideologi bangsa ini. apakah Pancasila masih menjadi akar dari bangsa ini?
ataukah hanya menjadi sejarah? Semua ada ditangan
rakyat, pemuda. Mulai dari diri kita sendiri, keluarga,
lingkungan dan organisasi, jadikan Pancasila sebagai
akar kekuatan diri sendiri, keluarga, lingkungan dan
organisasi. Dari penjelasan diatas jelas bahwa Negara kita penuh
dengan kecurangan dan keserakahan. Kita sebagai
penerus bangsa harus menunjukkan sikap jujur sejak
dini sejak duduk dibangku sekolah dengan sikap tidak
menyontek, tidak membolos, karena semua itu adalah
sikap tidak bertanggung jawab atas diri sendiri dan orang tua yang telah banyak memberikan biaya untuk
kita sekolah.
Dibalik kebaikan pasti ada keburukan dibalik sikap jujur
pasti ada kecurangan. Kecurangan adalah sifat
mendapatkan sesuatu dengan segala cara baik halal
maupun haram. Kecurangan dalam kehidupan adalah lawan dari sebuah kejujuran.
Manusia bersikap curang untuk memperoleh kepuasan
tanpa memikirkan dampak bagi dirinya maupun orang
lain.

Kamis, 05 Februari 2015

Kata kata mutiara ulama

#0000Ff
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّ ﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّ ﺣِﻴْﻢِ
Assalamualaikum Wr.Wb.
Ya Akhi wa Ukhti…
☻☻☻Sempatkan waktu anda untuk membaca kata-kata mutiara
atau ilmu dari guru kita, kang Ustadz Arif Budiman. Berikut
ilmu dari beliau… ☻☻☻
• Ruh, Hati, Jiwa dan Akal adalah bagian kehalusan ruhani
dalam diri manusia, ia bagaikan cermin, jika ia bersih, maka
ia akan tampak sempurna…
• Tebar pesona lah kepada Allah, jika kita ingin dicintai kita
harus mencintai dengan tulus dan ikhlas dalam ibadah
kepadaNya.. Selamat beribadah.
• Diantara tanda matinya hati ialah tidak adanya rasa sedih
atas ibadah yang kau lewatkan dan tidak adanya rasa
menyesal atas segla kesalahan yang dilakukan…
• Pada setiap desahan nafas yang dihembuskan, terdapat
takdir Allah yang telah ditetapkan, maka bersyukurlah
kepadaNya…
• Meraka yang beriman, dengan selalu mengingat Allah, hati
mereka menjadi tentram, dan ingatlah hanya mengingat Allah
hatimu menjadi tentram, yuk kita dzikir…
• Barang siapa yang tidak mendekat untuk taat kepada Allah,
sementara Allah telah memberi nikmat kepadanya, maka dia
akan diseret untuk mendekat kepadaNya dengan ujian-
ujianNya…
• Berusaha untuk mencari kekurangan yang tersembunyi
dalam diri lebih baik dari pada berusaha menyibak tirai ghaib
yang terhijab dalam diri kita…
• Hidup adalah ibadah, dunia adalah ladangnya. Barang siapa
yang taat kepada Allah dan Rasul ketika di dunia, maka ia
telah mempersiapkan kemenangan di akhirat…
• Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, Ya karim, demi kebesaran
Nama dan AgamaMu serta kekuasaanMu, idzinkan hamba
memohon rahmat dan ridhoMu…
• Sembuhkanlah hambamu yang sedang sakit dan
mudahkanlah segala ujian dan urusannya, luaskanlah
rizkinya, bimbing, lindungi dan sayangilah mereka…
• Jadikan mereka hambamu yang beriman dan bertakwa,
selamatkan di dunia dan bahagiakanlah mereka di akhirat,
Amiin…
• Raihlah cinta Allah dengan ilmu dan dzikir, karena ilmu
adalah cahaya hidup dan dzikir adalah bekal untuk sampai
kehadiratNya, lakukanlah Lilahita’ala…
• Ketahuilah, dunia adalah kekasih nafsu/Jiwa, akhirat dan
surga adalah kekasih hati, dan Allah adalah kekasih Nurani,
maka renungkanlah…
• Apabila Allah mencintaimu maka Dia akan mengujinya. Jika
kamu sabar dan rela dengan ujianNya, niscaya Dia akan
mensucikanmu dan mencintaimu…
• Ya Allah, anugerahkan karuniaMu kepadaku, lindungilah aku
dengan perisaiMu dan ampunilah kekuranganku dengan
kemulian diriMu…
• Ilmu adalah cahaya, dzikir adalah bekal, barang siapa
memiliki dan menjalani keduanya karena Allah, Insya Allah,
akan sampai kepada kemuliaan-Nya…
• Akal adalah sumber ilmu, hakekat akal adalah kemuliaan,
akal laksana cahaya yang dipancarkan ke dalam hati
sehingga manusia mampu memahami sesuatu…
• Orang yang paling berat azabnya adalah orang berilmu tapi
tidak mengamalkannya, barang siapa bertambah ilmu tapi
tidak bertambah benar jalannya, maka ia semakin jauh dari
Allah…
• Orang yang tahu, tetapi ia tidak tahu bahwa ia mengetahui,
itulah orang yang tertidur, maka bangunkanlah ia…
• Orang yang tahu, dan ia tahu bahwa ia mengetahui, itulah
orag yang berilmu, maka ikutilah dia…
• Orang yang tidak tahu, tetapi ia tahu bahwa ia tidak
mengetahui, itulah orang memerlukan bimbingan, maka
ajarilah ia…
• Dan orang yang tidak tahu, namun ia tidak tahu bahwa ia
tidak mengetahui, itulah orang yang bodoh, maka
waspadalah terhadapnya…
• Ketahuilah Ulama dibagi dua golongan, Ulama dunia dan
Ulama akhirat.. maka waspadalah…
• Ulama akhirat mereka tidak terpengaruh godaan dunia
dengan mengorbankan agama, tidak menjual akhirat demi
dunia dan meraka selalu memperingati hari akhir…
• Mereka mengtahui kemuliaan akhirat dan kehinaan dunia.
Barang siapa tidak mengtahui perbedaan manfaat dan
kemudharatan dunia dengan akhirat, maka ia bukanlah
ulama…
• Serendah-rendahnya orang Alim adalah ia lebih
menyenangi hawa nafsunya dari pada mencintai Allah, maka
Allah haramkan ia untuk merasakan nikmat bermunajat
kepada Allah

Rabu, 04 Februari 2015

Ruang hampa

Hari itu, aku tertatih. Tidak jelas aku sedang berada di mana. Samar-samar seperti di tengah-tengah antara sorga dan neraka. Tunduk, tengadah, bahkan sesekali kepalaku menengok ke arah kanan, kiri dan belakang. Aku berdiri di tengah-tengah dimensi hidup penuh khayal. Kepalan tanganku gusar dengan urat nadi yang tampak tegang. Dunia itu merogok dalam-dalam tenggorokanku sampai ke hulu hati, nafas sesak, denyutan pompa darah di jantungku keras, lebih keras, dan semakin keras. Aku larut dalam sugesti kecemasan dan rontaan kebingungan.

Waktu itu sebuah tangan menepuk pundakku sebelah kanan. Seketika aku menoleh ke arahnya. Tampak ku lihat sesosok manusia misterius berpakaian putih, hampir mirip kakekku yang telah lama tiada. Tanpa sapa dia berkata. “Lihatlah hai anak muda, pandanglah sorga di belakangmu, begitu indah, asri, dengan hiasan bunga mawar mengitari pegunungan-pegunungan tinggi di sana. Sumber kehidupan yang bergelimang, rona-rona cahaya bintang berdansa dengan pepohonan.”

“Siapa kau kek? Apa maksud perkataanmu tadi?” sambut tanyaku.

“Apa untungnya kau tahu siapa aku, yang perlu kau tahu hanyalah, di mana tempat itu?” jawabnya tegas.

“Tapi hidupku lebih mewah dari itu kek. Aku tak perlu lagi berjalan kaki seperti mereka, aku tak perlu lagi pergi jauh-jauh ke Belanda untuk menemui pamanku, aku tak perlu lagi menggenggam pinsil dan penghapus untuk menulis segala tentang kehidupan ini. Kini aku berada di titik sempurna, semua orang pun tahu, kita tak perlu lagi bersusah payah untuk mencari makan, atau untuk mencerna sepotong goreng singkong yang rasanya aneh.”

Kakek misterius itu hanya tersenyum, terpaut seraya mengejek perkataanku. Dia memang pendengar yang baik, begitu juga aku. Tak lama kemudian Ia melanjutkan kampanye konyolnya. “Baiklah anak muda, saatnya kau melihat ke depan. Lihatlah, tatap dan renungkan apa yang akan kau saksikan.” Kakek itu meluruskan telunjuknya ke arah depan dengan sorot mata yang tajam penuh makna. “Lihatlah pegunungan di sana, lihatlah langit mendung itu, musim-musim tak beraturan, predator dengan senjata bergerigi meluluh lantahkan paku bumi ini, mereka kupas tuntas keasrian alam dengan segala akal bulus dan keserakahannya, aroma menyengat dari tebaran nafsu kekuasaan, rencengan rupiah, lidah-lidah panjang yang merah, para monster yang haus darah berkeliaran di setiap penjuru rumahmu, bahak tawa mereka menunjukkan bahwa kita hanya semut kecil yang bisa di injak-injak lalu mati, merekalah pemangsa harga diri kita dengan akal bulus dan senyuman dusta juga kemunafikan, kita hanya contoh kecil dari korban kepecundangan mereka, lilitan kain belang-belang itu hanya tipuan, topeng di wajahnya pun terbuat dari bahan anti peluru, merekalah neraka, bukan sorga bagimu, aku, atau kita.” Ujarnya bernada meyakinkanku.

“Apakah aku harus peduli pada semua itu kek? Kau hanya manusia renta dan sudah bau tanah, mana mungkin kau mengerti arti kesuksesan.” Sang Kakek itu pun tak mau kalah, dia mempertahankan argumentasinya dengan terus melanjutkan atraksi ceramahnya yang semakin lama membuatku sedikit kesal.

“Aku memang sudah tua, jelas saja karena usiaku tak lebih muda darimu anak muda, aku sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun, setiap hari tugasku hanya mengawasi kalian dengan memo yang telah lusuh ini.”

“hufh…! Bicaramu seperti menunjukkan bahwa kau adalah Tuhan, jangan ngaco. Di zaman sekarang, orang yang menganggap dirinya sebagai Tuhan adalah kafir.”

Lagi-lagi ia mengelak argumentasiku yang bernada seperti tuduhan. “Orang kafir itu hanya ada pada jiwa-jiwa yang kotor, dia mampu membangkang dari apa yang dijaganya. Aku sendiripun tak pernah tahu siapa orang-orang kafir itu. Tak ada jawaban pasti, siapa orang kafir sebenarnya.” Begitu gamblangnya kakek misterius itu berujar, hampir-hampir aku kalah argumen.

Di sela-sela perang dingin itu, tiba-tiba saja pundak kiriku di tepuk oleh sebuah tangan, nampaknya dari arah belakang. Aku tercengang seketika melihat siapa yang menepuk pundakku itu. 'Siapa lagi?' pikirku saat itu.
Kini laki-laki berjubah hitam dengan kumis tipis dan jambul yang tampak seperti ujung pantopel yang aku kenakan. “Jangan dengarkan dia saudaraku, dia hanya akan menyesatkan pikiranmu saja.” Sambutnya dengan senyuman.

“Siapa lagi kau? Apa urusanmu datang kemari?” Tanyaku.

“Aku datang untuk menyelamatkanmu dari kesesatan.” Jawabnya.

“Apa maksudmu?”

“Kau punya pilihan hidup, pilih saja yang menurutmu benar.”

“Dari perkataanmu, kau cukup meyakinkan, apa yang akan kau tunjukkan padaku sebagai pembuktian bahwa perkataanmu benar soal pilihan itu?” Lanjut pertanyaanku.

“Tidak ada.”

“Lantas?”

“Hanya saja kau begitu luwes, ambil saja semuanya, kau punya keluarga yang patut kau hidupi, anak istrimu selalu menunggumu di rumah dengan harapan kau dapat memberikan mereka kejutan besar.”

Aku berpikir sejenak, memikirkan apa yang dikatakan laki-laki misterius berjubah hitam itu. Kejutan apa yang sebenarnya ia maksud. “Aku memang berkeluarga, mereka baik terhadapku, tapi sampai saat ini aku belum memberikan mereka kejutan besar itu. Dengan cara apa?”

“Apa kau merasa kekayaanmu itu sudah cukup? Itu masih belum ada apa-apanya. Coba kau lihat petinggi-petinggi negara di luar sana, mereka hidup serba berkecukupan. Hak rakyat adalah hakmu juga, ambil saja semuanya demi kau dan keluargamu, karena keluargamu lebih membutuhkanmu dibandingkan rakyatmu sendiri.”

Aku tersenyum, sedikit semangat mendengar apa yang diutarakan pemuda misterius itu. “Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku lagi.

Pemuda berjubah hitam itu tertawa sebelum menjawab pertanyaanku. “Hahahaha… mudah saja, sangat… sangat… dan sangat mudah…! Kau ambil saja uang itu, jangan pedulikan orang lain, karena belum tentu orang lainpun memperdulikanmu. Kau punya tanggung jawab besar atas keluargamu. Kau itu seorang petinggi negara ini, kau di percaya oleh kerajaanmu. Apa lagi yang kau pikirkan? Sudah, ambil saja semua harga diri dan martabat makhluk-makhluk kerdil itu, mereka sendiri tidak punya hak mengatur hidupmu.”

“Tapi akumencintai mereka, aku bisa seperti inipun berkat mereka!” Sanggahku.

“Ha ha ha…!” lagi-lagi pemuda misterius itu tertawa “Kau bisa seperti ini bukan berkat mereka, tapi berkat dirimu sendiri. Kau itu pintar, pecahan matematikapun kau selesaikan dalam hitungan detik. Cinta itu bukan ukuran seperti ilmu fisika atau kimia, dia tidak dapat di ukur. Kau bukan makan cinta, tapi nasi.” Sejenak aku berpikir kembali, kian salut penuh keheranan. Ku pikir inilah sebuah anugerah, aku mendapatkan dorongan yang hebat dan membanggakan dari seorang sahabat misterius. Untuk apa aku memikirkan liliput-liliput itu, mereka hanya makhluk kerdil tak bermoral.

Tiba-tiba kakek renta berjubah putih yang berdiri di sebelah kananku tadi menyela di tengah-tengah percakapan kami. “Hei anak muda, gunakanlah sisa hidupmu untuk menjaga dirimu sendiri juga negerimu dari jerat keserakahan. Jangan dengarkan perkataan iblis itu, dia menjerumuskanmu pada suatu kerugian yang besar. Janganlah kau beri keluargamu makanan yang bukan haknya. Karena suatu saat hak, derajat, dan martabat yang kau renggut dari rakyatmu akan membawamu pada jurang yang terjal dan dalam, serta dibawahnya terdapat bara api yang memuncahkan gelombang panas melebihi matahari.”

Sahabat misteriusku nampak gusar mendengar ceramahan Si kakek tua, lantas dia melanjutkan perkataannya dengan penuh motivasi. “Untuk apa aku menghasutmu kawan? Sama sekali tidak ada untungnya bagiku. Aku sudah kaya, hotel-hotel itu pernah jadi milikku, aku pernah jadi raja, aku sudah bosan dengan lembaran-lembaran rupiah, dan sekarang giliranmu, lanjutkanlah kekuasaanku.”

Sedikit banyak aku merasa bingung, di mana kebenaran itu. Mana yang benar dan yang salah? Nuraniku tak dapat memilih begitu saja, terlalu berat rasanya, bagai memikul seribu kubik batu di pundakku. Ku lanjutkan tanyaku pada kakek misterius berjubah putih itu. “Apa lagi yang akan kau tunjukkan padaku setelah ini, kek? Apa mungkin kau sudah kehilangan kekuatan argumenmu?” Tanyaku pada kakek berjubah putih.

Spontan sang kakek tua menjawab pertanyaanku. “Kau lihat sampah-sampah itu? Kau lihat mereka yang tidur nyenyak di atas kepedihan anak-anaknya? Perhatikanlah, di sana begitu banyak korban peperangan, demokrasi yang amburadul, provokasi merajalela, saling menggulingkan, saling menjatuhkan, saling membakar, huru-hara berpadu dengan teori rasial, mereka bukanlah dirimu, dirimu adalah pahlawan, pahlawan penolong umatmu yang telah jadi korban kehancuran negeri ini.”

“Itu bohong kawan, itu tidak ada dalam rumus hidupmu, Si tua renta itu hanya ingin mendapat keuntungan sebagai selirmu nanti, lama kelamaan dia akan menyingkirkanmu dari tahta kebenaran dan duduk di atas singgasana keserakahan.” Hasut sobat misteriusku.

Tak lama kemudian, tepat dihadapanku muncul pemandangan yang begitu mengerikan, itu duniaku, itu planet tempatku hidup. Banjir, letusan gunung merapi, longsor, gempa bumi, kelaparan, kemiskinan meraja, kesenjangan sosial, perang saudara, rasisme, anarkisme, korupsi, kolusi dan nepotisme, udara yang tercemari oleh polusi, gubahan lumpur panas, disintegrasi, dan aksi-aksi kejahatan yang semakin mengakar. Begitu miris, aku bahkan hidup di tengah-tengah roman kehancuran itu.
Aku tersadar. “Ya Tuhan…! Apa yang aku pikirkan selama ini?”
Lidahku kelu, tubuh ini pun kaku, hatiku bergetar, takut, iba dalam diriku bangkit. Kakek tua berjubah putih telah menunjukkan neraka di balik duniaku yang seakan-akan menyerupai surga. Seketika itu aku terperanjat, tersedot ke dalam lubang hitam. Warna-warni cahaya, gelap bagai rongga bawah tanah, sampai aku berpikir ‘Di mana aku?’ Kian dimensi itupun memudar. Si kakek misterius dan seorang pemuda berjubah hitam yang sempat memanggilku dengan sapaan mesranya ‘Sobat’ seketika lenyap dari pandanganku. Memoriku hilang sekejap.

Aku membuka mata, perih rasanya, seperti ada setumpukan krikil terselip di sela-sela kelopak mataku yang memerah bagai iritasi, leherku pegal terganjal oleh sandaran kursi ruang kantor yang tampak tidak asing lagi bagiku, meja kerja yang dipenuhi lembaran-lembaran rupiah yang berhamburan dari dalam koper hitam intim bersama setumpukan kertas yang berserakan tidak karuan.
Kini aku tersadar dari mimpi aneh sejam yang lalu itu, sambut renunganku sesaat mengingat apa yang aku lihat dalam bunga tidurku tadi. Ku hampiri jendela kaca lantai 4 di ruang kantorku, ku lihat duniaku dengan mata terbuka, hatiku berkata ‘Ini duniaku’.
Planet bumi tercinta yang harus ku jaga dengan segala pengorbanan jiwa raga. Mereka rakyatku, abdi yang harus aku pertanggung jawabkan atas kepercayaannya, merekalah raja tertinggi di negeri bahkan di dunia ini, akan aku genggam erat kepercayaan mereka terhadapku selama ini.
Perlahan aku menoleh ke arah meja kerjaku yang acak-acakan. Dengan segala kerendahan hati, ku urungkan niatku untuk memperkaya diri, ku kembalikan harkat, derajat, dan martabat mereka sebagai hak mutlak yang tidak bisa di ganggu gugat