soewarsomandalaputra

Minggu, 29 November 2015

Asam urat

Sebelum membahas lebih lanjut tentangobat herbal asam uratini, ada baiknya Anda mengetahui seluk beluk tentang penyakit ini, sehingga dapat menjadi pedoman bagi Anda untuk melawan penyakit ini.

Penyakit asam urat dapat terjadi karena adanya zat purin (suatu unsur protein) yang berlebihan didalam tubuh.
Dimana zat ini di dalam tubuh manusia akan diolah menjadi asam urat, yang kemudian akan diatur kadarnya oleh organ ginjal, dimana sisanya akan dibuang melalui air seni.

Masalah akan timbul ketika kadarnya yang berlebih, sehingga ginjal menjadi tidak mampu mengatur kadarnya, mengakibatkan kelebihan yang akan tertimbun pada jaringan dan sendi. Penumpukan dalam waktu lama akhirnya menyebabkan rasa nyeri dan sakit di persendian, dan bila didiamkan akan menjadi semakin parah, yaitu terjadi pembengkakan dan peradangan, sehingga lambat laun si penderita tidak dapat berjalan.

Apa Yang Menjadi Penyebab Penyakit Asam UratUmumnya ada dua faktor penyebab, yakni faktor dari dalam dan faktor dari luar.*.
Penyebab asam urat bisa dari dalam tubuh manusia sendiri, dikarenakan bawaan genetika dan hormon yang tidak seimbang, sehingga menyebabkan metabolismetubuh terganggu beriringan dengan kenaikan kadar asam urat dalam tubuh.
Selain itu dalam beberapa kasus, kenaikan kadar asam urat juga dapat diakibatkan karena organ ginjal yang bermasalah.*.
Sedangkan faktor dari luar tubuh berkaitan erat dengan asupan makanan sehari-hari. Terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung purin menjadi faktor utamanya. Kadar asam urat meningkatseiring dengan masuknya zat purin ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman.

Apa SajaGejala Asam UratPara penderita penyakit ini umumnya akan mengalami suatu gejala seperti:*.rasa nyeri, pegal linu dan sakit pada persendian ( nyeri sendi ), kesemutan.*.
Jika cukup parah kaki akan membengkak dan mengalami peradangan sehingga kulit terlihat kemerahan.*.Rasa sakit dan nyeri ketika bergerak.*.Anggota tubuh yang mengalami gejalanya biasanya adalah pada bagian jari ( kaki dan tangan ), tumit, pada bagianlutut / dengkul, dan pergelangan tangan.*.Gejala-gejala ini biasanya terasa ketika malam dan pagi hari.*.
Untuk memastikan tentu saja Anda harus melakukancek laboratorium, karena gejala-gejala di atas belum tentu menunjukan bahwa Anda terkena penyakit asam urat.
Bagaimana Cara Sembuh Dari Penyakit Asam UratMenggunakan Ragam Obat Tradisional Untuk Asam Urat dariIndonesiaObat tradisional asam urat merupakan ramuan tradisional yang telah digunakan secara turun menurun dari leluhur, yang dapat berupa tanaman yang biasa disebut obat herbal asam urat, maupun dari hewan.
Pengobatan Tradisional pada dasarnya hanya berdasarkan dari pengetahuan, keterampilan, dan praktek berdasarkan teori, serta dari keyakinan dan pengalaman masyarakat yang disampaikan dari generasi ke generasi baik secara tertulis maupun lisan. Sehingga obat tradisional asam urat kebanyakan belum teruji secara klinis, walaupun tetap dipercaya oleh masayarakat akan keampuhannya.

Kami akan memberikan info beberapa reseppengobatan yang dipercayai mujarab dan ampuh bagi suatu masyarakat tertentu dan telah dipakai secara turun-temurun.
Terdapat beragam jenis obat asam urat tradisional dari tumbuhan dan lainnya, namun kami akan membahas beberapa saja dari sekian banyak yang dipercaya mampu untuk menyembuhkan penyakit asam urat.

1.Daun salam : Daun salam biasanya hanya digunakan sebagai bumbu masakan oleh masyarakat kita. Namun ternyata di dalam daun salam terdapat senyawa antioksidan yang baik untuk kesehatan yaknitannin dan flavonoid. Daun salam dipercaya dapat mengobati penyakit asam urat, berikut adalah resepnya : 10 lembar daun salam direbus dengan 700 cc air + ½ batang sere hingga tersisa 200 cc air, nah air hasil rebusan inilah yang diminum sebagai obat.

2.Tempuyung : senyawa yang terkandung didalamnya diantaranya, alfa-lactocerol, manitol, inositol, ilica, kalium, flavonoid, dan taraksasterol. Selain dipercaya dapat mengobatiasam urat, tempuyung jugadipercaya untuk penyakit darah tinggi dan wasir.

3.Sidaguri : tanaman ini mengandung senyawa alkanoid, fenol, kalsium, tanin, saponin, asam amino, minyak asiri, zat phlegmatic, kalsium oksalat, steroid, flavonoid, dan efedrin. Sidaguri juga bisa digunakan untuk rematik dan asma. Resepnya adalah rebus akar sidaguri kering ( di iris tipis-tipis) secukupnya (10-15gr)  dalam 3 gelas air, sampai air tersisa 1 gelas, kemudian diminum sehari 2 kali masing-masing 1/2 gelas. Obat tradisional ini tidak boleh digunakan oleh ibu hamil karena dapat melemahkan kandungan.

4.Kumis kucing dan meniran :senyawa yang terkandung didalam meniran antara lain filantin, hipofilantin, kalium, damar, tanin, dan flavonoid yang dipercaya manjur untuk asam urat. Sedangkan kumis kucing umum sekali digunakan untuk memperlancar saluran air seni dan penghancur batu ginjal. Namun ternyata kumis kucing juga mengandung senyawa orthosiphonin glikosida yang berguna untuk membuang kelebihan asam urat dari tubuh. Resepnya adalah 5 lembar daun kumis kucing, 5 ranting kecil meniran direbus dalam 3 gelas air hingga air tersisa setengahnya. Resep ini dapat diminum beberapa kali sehari.

5.Sambiloto :  resepnya adalah 30 gram sambiloto segar, 15 gram sambiloto kering dan 25 gram kunyit. Cuci bersih semua bahan, kemudian rebus dalam 3 gelas air, tunggu sampai airmenjadi setengahnya. Resep ini dapat diminum 2 kali sehari.

Minggu, 19 Juli 2015

Pidato

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Allhamdulillahirobilalamin,wassalatuwasallamul ala asrofil ambiya iwalmursalin waalla alihi wassabihi azmain, amaba’du :

Yang Saya Hormati :
Bapak kepala desa berserta perangkat desa lebakbarang
Bapak kapolsek dan seluruh anggotanya
Bapak koramil lebakbarang

Tokoh masarakat pandansari
yang kami hormati, remaja dan remaji yang saya cintai ,Hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Pertama-tama dan yang Paling Utama Marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada kita semua, sehinggga pada malam yang berbahgia ini kita masih bisa diberi nikmat kesempatan, kesehatan dan yang tak kalah pentingnya nikmat Iman dan Islam, sehingga kita semua dapat hadir disini dapat bertemu bersilaturahmi, dalam acara halal bihalal di desa pandansari lebakbarang yang sederhana ini,tempat yang kurang memadai.

Dan Saya atas nama Pengurus halal bihalal remaja pandansari lebakbarang, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada remaja maupun masarakat yang telah memberikan dukungannya berupa matrial dan sepiritual, shingga trlaksana acara pada malam ini,

Semoga acara pada mlm ini berjalan dgn aman dan lancar, dan saya menghimbau kpada para penonton smua agar tertib menjaga keamanan demi kelancaran acara pda mlam ini.

Sekali lagi Selaku pribadi dan selaku Pengurus halal bihalal remaja pandansari lebakbarang, kami dalam kesempatan ini mohon maaf kepada masyarakt pandansari jika kurang sopan dan kurang berkenan di hati sekali lagi kami slaku panitia atas nama repansa mohon maaf yang sebesar besarnya..terima kasih

Pada kesempatan yang berbahagia ini pula, acara akan diisi oleh planet musik pekalongan, Kami mengucapkan banyak terima kasih atas kehadiranya bersama rombongan slmat datang dan slm sucses

Akhirulkalam,
Wabilahitaufiqwalhidayah
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

SALAM REPANSA
BERSATU MAJU BERSAMA

Kamis, 16 Juli 2015

Lebaran masih sendiri

Disudut kota pandansari kamis 16 juli 2015 (ditengah hiruk pikuk liburan..

*Tarrra…*

liburan…dan besok atau mungkin lusa lebaran…lebaran kali ini situasi nya masih dilema..

ada sebagian yang mutusin buat lebaran beesok,,tapi ada juga yang nunggu keputusan pemerintah.. yang kemungkinan besar lebarannya hari rabu..terus kalau ada yang nanya..saya ikut lebaran yang mana..jawabnya

TERGANTUNG KAPAN KETUPATNYA MATENG.. *di jitak massa..*

eitttt tapi bentar dulu… saya bukan mau ngebahas kapan kita lebaran..kapan pun kita lebaran ya nikmati aja,,kalau besok artinya bentar lagi takbiran,,kalau lusa.. berarti ada injury time.. buat tambahan ibadah.. *Dewasa kali kamu nak,,,* trus lo mau bahas apa put,, gak penting banget….. *di jitak lagi ama massa…*

dulu..waku jaman saya masih SD,,dan era teknologi belum seheboh ini,, setiap lebaran pasti sibuk berburu kartu lebaran.. cari kartu lebaran terbaik buat di kirim ke nenek,,saudara,,guru dan teman..teman.. terus kalau gak punya uang..buat beli kartu lebaran,, ya kartu nya di bikin sendiri aja..biasa nya di majalah bobo,, suka ada panduan membuat kartu lebaran…

dan kemudian seiring perkembangan jaman.. teknologi pun semakin maju,,era kartu lebaran..pun berlalu,, mulai lah kita mengirimkan ucapan selamat lebaran via sms,, awalnya mungkin cuma ucapan selamat lebaran biasa,,dan kemudian berkembang menjadi puisi yang indah,,mungkin bikin sendiri atau mungkin boleh copas  dari pengirim lain. yang tinggal forward dan kemudian di bagian bwah nya ganti jadi ” Dari Putri Belum Berkeluarga”

dan sekarang era SMS kembali ditinggalkan teknologi semakin canggih,,ketika si blackberry bukan lagi barang mewah,,si burung biru yang berkicau ,,si Buku Muka,, dan jejaring sosial lainnya yang mudah di akses dimana saja,, mengucapkan selamat idul fitri semakin lebih mudah..cukup pilih Send To All dan Broadcast Message akan terkirim ke smua list contact yang ada di draft BBM,,begitu pun dengan jejaring sosial lain…

terus pasti ada yang nanya..

“terus masalah nya apa,,apa yang salah dengan kirim broadcast message,,ataupun copas puisi buat ucapan lebaran..”

*nyengir..* :D :D :D

ya gak ada yang salah sich… tapi pernah gak kita ngebayangin..bahwa semakin tinggi kemajuan teknologi,,semakin majunya kita,,lama lama kita menjadi seperti robot,,, dan anti sosial..

Apa susahnya ketik sendiri,,kata-kata ucapan selamat idul fitri,,tulus dari hati yang paling dalam.. misalnya gini..

Assalamualaikum mamihhhhh  selamat lebaran yakkk ,,minal aidzin wal fa idzin maaf lahir bathin.salam buat ayah sama adek-adekkk ,, love u always…

ketimbang..puisi yang bermanis-manis ria.. menyentuh dan lebay gak tahu nya pas si penerima terima sms itu,,dia terima ucapan dengan kata yang sama dari banyak pihak,,,

kalau saya pribadi ditanya,,lebih suka trima yang mana,,yang contoh pertama apa kedua maka saya akan jawab yang pertama karena kesannya lebih humanis,,lebih menyentuh,,dan kita lebih dianggep.. ketimbang yang pertama,, ucapan yang manis,,tapi boleh copas :D :D :D

sama hal nya dengan broadcast message,, atau send to all,,bener sich sekali klik semua pesan langsung terkirim tapi pernah gak kita mikir,

,kalau ngirim broadcast message tanpa menyebut siapa yang dituju itu ibarat salaman ngucapin lebaran,,minta maaf tanpa ngeliat muka...

apa susahnya kalau kita ketik satu persatu tanya kabar,,dan sebut nama si penerima,, berapa menit sich waktu yang terbuang gak lebih dari 5 menit kan.. si penerima pasti akan lebih bahagia,,lebih ngerasa dianggap ,,dan lebih terharu…

kalau gak percaya.. coba tanya aja diri sendiri,,,

Apa yang kamu rasain

saat menerima pesan yang copas,,dan broadcast message,, dan kemudian..

Apa yang kamu rasain saat pesan tersebut di kirim hanya untuk mu,,nyebut nama kamu,,dan nanya kabar kamu…

kata-kata puisi itu gak akan lebih berarti dari sapaan hangat dan tulus dari seorang sahabat,,,

Tulisan indah itu gak akan lebih menyentuh ketimbang doa hangat seorang sahabat yang bilang.. “Semoga kita semua selalu bahagia ya.”

Tulisan saya ini,,gak ada maksud buat bikin kontroversi,,atau complain tentang sms,,message,,pesan lebaran atau apapun itu yang kalian kirimkan,,saya hanya mengajak,,yukk kita lebih humanis,,,manfaatkan teknologi dengan sebaik mungkin,, teknologi diciptakan untuk mempermudah kita dalam hidup,,tapi bukan berarti dengan teknologi kita jadi gak punya hati kan..jadi kaya robot,, dan mementingkan..yang penting gaya,,daripada sisi kemanusiaan kita,,,

Lebaran tahun kemarin saya masih melakukan hal ini,,krim broadcast message ke semua,,cukup mikir kata-katanya terus send to all (*sorry ya jeng,,saya gak pernah copas..masa iyee penulis copas.. :D :D :D

Selamat Lebaran Y Semuanya.. Maaf Lahir Bathin,,Maaf Kalau tulisan saya suka galau,,suka kritik dan sotoy sana sini,, Maaf Buat Semuanya..

Happy Holiday.

Selasa, 07 Juli 2015

Puasa menuju takwa

Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)

Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا

“Wahai orang-orang yang beriman”

Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].

Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Lalu, apakah iman itu?

Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:

وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ

“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)

Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:

الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

“Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”[4]

Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.

Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:

وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر

“Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”[5].

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

“Telah diwajibkan atas kamu berpuasa ”

Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[6].

Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

‘Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].

Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi –hafizhahullah– menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[8].

Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”

Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.

Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.

Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[9].

Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan”[10].

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Agar kalian bertaqwa”

Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].

Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[12].

Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”[13].

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?

Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:

العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ

“Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”[15].

Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)

Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:

Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]
Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala

Rabu, 10 Juni 2015

Buku ruwatan

BUKU RUWATAN JAWA
Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu :
1. Ritual ruwat untuk diri sendiri.
2. Ritual ruwat  untuk lingkungan.
2. Ritual ruwat untuk wilayah.
Dalam masyarakat Jawa, ruwatan memiliki ketergantungan pada siapa yang akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, maka biasanya dilakukan secara besar-besaran yaitu dengan mengadakan pagelaran pewayangan. Pagelaran pewayangan ini berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran pewayangan dilakukan pada siang hari dan khusus dilakukan oleh dalang ruwat.
1. Ruwatan Diri Sendiri
Ruwatan diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa (ajaran sinkretisme), melakukan selamatan, melakukan tapa brata. Dalam masyarakat Jawa, bertapa merupakan bentuk laku atau sering disebut lelaku. Lelaku sebagai wujud untuk membersihkan diri dari hal-hal yang bersifat gaib negatif (buruk) juga termasuk dalam ruwatan. Dengan memasukan kekuatan gaib dalam diri yang bersifat positif (baik), akan memberikan keseimbangan energi dalam tubuh. Hal ini sering dikemukakan oleh para spiritualis Jawa sebagai bentuk nasehat untuk mempelajari hal-hal yang bersifat baik.
Pada saat ini, ruwatan yang dilakukan oleh sebagaian masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-Budha. Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatasnamakan ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Lelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian mansyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa.
Rituan Ruwatan Diri Sendiri Menurut Kitab Primbon Mantrawara III, Mantra Yuda
Jika orang yang merasa selalu sial, dalam kepercayaan Jawa harus melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri. Ritual ruwatan ini memiliki banyak sebutan, antara lain adalah Ruwatan Anggara Kencana. Kesialan  yang ada dalam diri manusia dipercaya timbul dari sedulur papat limo pancer atau sebagai pemicunya berasal dari kekuatan lain (makhluk halus). Btempat keberadaan sedulur papat ini dapat dilakukan pendeteksian.
Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan (petungan) Jawa yaitu : Ha: 1, Na: 2, Ca: 3, Ra: 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan menjumlah neptu orang tuanya dengan orang yang akan melakukan ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambil sisanya. Jika sisa:
1. Bersemayam di sebelah kiri-kanan mata kanan,
2. Bersemayam di sebelah kiri-kana mata kiri,
3. Bersemayam di telinga kanan,
4. Bersemayam di telinga kiri,
5. Bersemayam di sebelah hidung kanan,
6. Bersemayam di sebelah hidung kiri,
7. Bersemayam di mulut,
8. Bersemayam di sekeliling pusar,
9. Bersemayam di kemaluan,
sebagai syarat dari ritual ini adalah mengambil sedikit darah di sekitar tempat keberadaan bersemayamnya. Darah ini akan dilabuh (dilarung). Cara mengambil darah ini adalah dengan mengunakan duri yang kemudian dioleskan pada kapas puti. Duri dan kapas nantinya akan dilabuh bersama-sama dengan syarat yang lain, berupa :
1. Beras 4 kg,
2. Slawat 1 Dirham (uang senilai emas  1 gram),
3. Ayam,
4. Teklek (sandal dari kayu, atau bisa digantikan sandal biasa),
5. Benang Lawe satu gulung,
6. Telur ayam yang baru saja keluar (belum ada sehari),
7. Gula setangkep (gula Jawa satu pasang), gula pasir 1 kg,
8. Kelapa 1 buah.
Kelapa, benang lawe, telur ayam, beserta kapas dan duri dilabuh sambil membaca mantera: “Ingsung ora mbuwang klapa lan isine, ananging mbuwang apa kang ndadekake apesing awakku”. (Aku tidak membuang kelapa beserta isinya, tetapi aku membuang apa yang menjadikan kesialan bagiku).
Selain beberapa benda yang dilarung atau dilabuh tersebut, dikrarkan untuk disedekahkan kepada siap yang dikehendakinya, sebaiknya sodaqoh kepada orang yang membutuhkan.
2. Ruwatan Untuk Lingkungan
Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi. Sebagai contoh yang sering kita temui dalam masyarakat sekitar kita adalah memberikan pagar gaib. Hal semacam memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi (anggap saja rumah) ditujukan untuk beberapa hal, antara lain :a. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau memindahkan daya (energi) negatif yang berada dalam rumah atau hendak masuk kedalam rumah. Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan menanam tumbal yang diperlukan, misalnya kepala kerbau atau kepala kambing.
b. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat.
c. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung makhluk halus yang berbeda dalam lingkup pagar gaib.
Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku-buku kuno yang menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan wilayah yang cukup luas dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan pada lingkungannya ini apabila tercapai, menurut kepercayaan Jawa akan menjadikan lingkungan yang aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus.
Pada saat ini, bentuk pemagaran gaib yang sering ditemui dalam masyarakat Jawa sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam tumbal, membaca doa untuk membuat pagar dan masih banyak metede lainnya. Acara atau ritual ruwatan yang ditujukan untuk memagari sebuah lokasi ini kemudian berubah dalam pelaksanaannya karena sebagian masyarakat Jawa sekarang sudah cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat ilmiah.
Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa  yang masih berlaku biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual sendiri. Penerapan ritual ruwatan tidak jauh berbeda antara satu tujuan dengan tujuan yang lain. Pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar lakon pewayangan yang berisi tentang ruwatan itu sendiri. Dalang dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari beberapa jenis lakon.
3. Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang Luas
Disini  akan dijelaskan contoh ruwatan di Kepatihan Danurejan, dari Babon Primbon Kagungan Dalem KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden hadipati Danureja IV).
 

Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang.  Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan.
Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.
Urut-urutan ruwatan sebagai berikut :
a. Dimulai dengan doa pembuka :
“Hong ilaheng, tata winanci awignam mastu samas sidhdhem”
b. Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat Sang Hyang Kala, yang disampaikan dalam bahasa Jawa dan sisampaikan mirip seperti nyanyian, tetapi juga bisa berbentuk seperti kalimat pembukaan sang dalang dalam membuka pagelaran wayang :
“Sinigeg sakathahing para jawata watak nawa sanga, pada retane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba ing sela sana sewu, bentar kepara sewu, mila dalah samangka watu, dadi sajagad.
Ana sawijine yogane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba telenging samodra, medal akimplik-kimplik, ing aran Sang Hyang Kamasalah, bisa ngadeg ing aranan Sang Hyang Candhusekti.
Ing kana kaidenan dening Sang Hyang Pramesthi Guru, sakathahe jawata watak nawasanga, kinen nggunturana marang Kamasalah, sakathahe guntur wedang, guntur watu, apa dene guntur geni, pada nurunake, guntur tanana, kang tumama, nora sangsaya suda, malah sangsaya gedhe kalawun-lawun. Ing kana kocap bebandhem, malar dadi pepak dandananing sarira, nulya minggah marang gagana arsa panggih lawan wong tuwanira, iya Sang Hyang Pramesthi Guru”.
c. Diteruskan dengan membaca Pakem Sontheng. Pakem ini dimulai dilagukan :
“Hong ilaheng pra yoganira Sang Hyang Kamasalah tengerannya, kang daging Sang Kemala, kadi gerah suwarane, abra lir mustika murub, amarab”.
d. Setelah Pakem Sontheng selesai, dibacakan :
“Anekak aken prabawa, ketug lindhu lan prahara, geter patertan pantara, alimaku tanpa suku, alembehan tanpa tangan, aningali tanpa netra, amyarsa tanpa karna, ambegan tanpa grana, acelathu tanpa lidah, angan-angan tanpa driya”.
e. Diteruskan dengan pasang tabeik dan membaca Kidung Sastra Pinandhati :
“Hong Ilaheng Tata winanci awighnam astu nammas siddam. Hong Ilaheng pra yoganira, sang bawana sariraku, randhu kepuh pangadhegku, kidang kancil kor tumaku, raiku lemah paesan, mataku socaning manuk, kupingku sang plempengan, cangkemku sangagunging wong, lambeku sang sarapati, utegku sang watu rejeng, ilatku sang lemah polah, janggutku sang watu sumong, guluku sang lemah dedet, selangku sang darmaraja, bauku sang lemah mraju, geger lemah gigir sapi, cangklekan lemah lempit-lempitan, dadaku sang lungka-lungka, wetengku sang lemah mendhak, susuku sang gunung kembar, penthilku sang asri kembar, wangkungku sang pacul tugel, silitku elenging landhak, kempungku tlaga mambeng, plananganku waja glijenm planangan waja binandung, pringsilan waja malela, uyuhku banyu pancuran, sukerke padhas cecuri, entutku mercu dadari, iduku parang teritis, riyakky pulut bendala, wentisku lemah bajangan, delamakanku lemah seta, paturonku lemah bleberan, tindhakku lindhu prahara, geter pater panebaku, awedi kang buta kabeh, sawedana Durga Kala, sawedana kertidara, tumurun ingsung madya, wowor ing dewata muja, ajiku sang ata ati, amaraja nata wuwusku, amahraja ta ajiku, Ya Yamaraja, Ya Jaramaya, Ya Yamarani, Ya Niramaya, Ya Yasilapa, Ya Palasiya, Ya Yamidora, Ya Rodomiya, Ya Yamidosa, Ya Sadomiya, Ya Yadayuda, Ya Dayudaya, Ya Yasiyaca, Ya Cayasiya, Ya Yasihama, Ya Mahasiya.
Yanyangsiyu yusinyangya, yanyangasiyu yusinyangya, yajasiyu yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu yusiwangya, yasangsiyu yusisangya, yatangisiyu yusitangya, yadangsiyu yusidangya, yakangsiyu yusikangya, arangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusinangya, yahangsiyu yusihangya, yahangsiyu yusihangya”.
Diteruskan dengan membaca atau amateg sastra yang ada di langit-langit mulut (telak) Bethara Kala. Sastra ini menjadi pepingitan (peringatan) di jawata (menjadi hal yang dirahasiakan) tidak boleh dibacakan keras-keras uleh sang dalang. Hal ini dilakukan sambil menundukkan kepala dan tampak seperti mengheningkan cipta dengan menyanyikan lagi dandhanggula.
“Jatiswara, swaraning pamisik, lamun sira miwiti amaca, kawruhana kamulane, kembang cempaka kudhup, sari mulya kang bayu manjing, manjing sang bayu mulya, purnama kang bayu, abali sang bayu mulya, sabda idep-idepa marang kang yogi, ketawang kapigesang”.
f. Diteruskan dengan membaca “Sastra Banyak Dalang” lagu kentrung :
“Sang raja kumitir-kitir, ing ngendi anggonira linggih, den barung lan keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa sepi, sumun dukuh ulung kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winantu aji, asri dinulu tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng  lara wigena, sampurnaning banyak Dalang”.
“Hong Ilaheng pra yoganira.
Sang raja kumitir-kitir anakku si banyak dalang, peksa arep memantuwa kudu bisa angaji, dukuhe ki ulung kembang bale anyar tanpa galar, isi ingkang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winatu aji, asri dinulu tingkahe, tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, saliring mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, ana jaka meneng kembang, denya menek angutapel, wus kebek jejomprangira, dene sekar anelahi, ana ta prawan liwat, dinulu rupane ayu, prawan angaku rara, ya ni mara nini mara, anontana kintel muni, ting caremplung, anggero kang kodok ijo, solahe krangkang rangkang, sedayane kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa,  tetangga yen angrung guwa, kidungku si banyak dalang, saben dina pari dadar, sedina yen ana angring yen garing keaadak, ngelu puyeng pilek watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murub benceretan, yen angrungu kidung iki, wong asomah padha banyak dalang, miwah yen prawan tuwa, miwah yen jejaka tuwa, dumadakan gelis krama, kang angidung maringa begawan, anonton larung keli, pepitu paring kadulu larunge ki banyak dalang, ajejuluk ki jelarung, garudha cucuke wesi, ora anucuka lara raga, lara geng wigena, salire mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, sampurnaning banyak dalang”.
g. Diteruskan dengan membaca Sastra Gumbalageni, Geni, atau api yang datang dari berbagai penjuru angin, yaitu timur, selatan, barat dan utara, disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan melakukan pembacaan mantera :
“Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni tekane saka wetan, putih rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka aneng wetan.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka kidul, abang rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana kidul.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka kulon, kuning rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana kulon.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka elor, ireng rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana elor.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka tengah, lelima rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana tengah”.
h. Diteruskan dengan Kidung Sastra Puji Bayu :
“Sang Hyang sekti naga nila warna, dadaku sang naga peksa telaleku pembebet jagad, asabung kulinting liman, abebed kuliting singa, acawet angga genitri, liyanan catur wisa, rinejegan rejeg wesi, pinayungan kala akra, kinemiting panca resi, sinongsongan asih-asih, premanaku ing sulasih”.
i. Diteruskan dengan Kidung Sastra Mandalagiri :
“Hong ilaheng pra yoganira.
Sang Hyang Tangkep Bapa kasa, kaliyan ibu pertiwi, mijil yogyanira Sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi daging, swarane kadi gerah, abra lir mustikamurub, urube amarab arab, anekakaken prabawa, ketuk lindhu lan prahara, geter pater tan pantara, kagyat Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering kedadak, ngelu puyeng watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murup benceretan, kudu lumaku rinuwat iki, anata senajata singwang, aranemandalagiri, Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat padha samengko”.
“Ruwatan dadi pagagan, bale mas sakane dhomas, pinucukan manik putih, rinawe-rawe kumala marbuk miging gandanira cendhana kara, gandhane jebat kasturi, kuning sira kocapa Bethara, ijil Bathara kusika, sang gagra mesi kurusa, umijil Sang Hyang Kuwera, ana sira rupa buta, ana sira rupa ula,  kudu lumaku rinuwat anata sanjata ngngwang arane panji kumala, pinaputrakaken gunung, arane mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.
j. Diteruskan dengan Sastra Kakancingan :
“Kunci nira kunci putih, angruwata metuwa sang, mentu sampir lare kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir pakoninjog, untuing-untuing matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu pamipisan, tumunem pega pagase, miwah kerubuhan lumbung dandang tanen, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataning wang, arane panji kumala, pinaputrak-akengunung arane, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.
Pada proses ini merupakan penguncian kekuatan gaib yang ditimbulkan dengan cara atau ritual ruwat.
k. Diteruskan dengan Sastra Panulak, pada proses ini, kekuatan gaib dari Bethara Kala dibacakan mantera sehingga menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kekuatan gaib tersebut akan musnah :
“Tolak tunggul ing dhadhaku, macam putih ing raiku, singa barong ing gigirku, baya nyasar ing cangkemku, sarpa naga ing tanganku, raja tuwa ing sikilku, surya candhra ing paningalku, swaraku lir gelap sewu, nulak sakabehing bilahi, setan balio padha adoh, wong saleksa padha lunga, wong sakethi padha mati, rep sirep sajagad kabeh.
Kuneng Bathara kalawan sira Sang Hyang Bethari Durga, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataningwang, arane panji kumala, pinaputrekken gunung, arane Mandhalagir, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samangko.
Nora sira rupa kala, nora sira rupa Durga, atemahan Uma-uma, arep ageweya bala, ana lanang ana wadon, si betapasi betapi, sibrenggala si brenggali, si rahmaya si rahmayi, si kuntara si kuntari, kudu lumaku rinuwat, anata senjataning wang arane panji kumala, pina putrakaken gunung, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko.
Kala atemahan Guru, Durga atemahan Uma, Umayana umayini, widadara widadari, arep mantuk mring khayangan, Hyang Kala Bethara reswara, amediya swara wija, aweha urip sarasa”.
l. Diteruskan dengan Sastra Ruwat Panggung, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Sang Hyang Galinggang kalawan sira Sang Hyang Damarjati, kelire Hyang Tinjomaya, Peluntur alimun, kekuping Sang Hyng Kuwera, peracik Sang Retna Adi, deboge Sang Hyang Gebohan, Cangkoke Bethara Gana, alinggih pang kayu Tera Sumbu, awune Bethara Brama, arenge Bethara Wisnu, kewala anonton wayang, Sang Hyang Eyang Guru kang amayang, widadari kang nggameli, anyangang iyang ayine, suu tegang ora wangewang, sehamana maya, katon kang anonton nora katon, kabruk-kabruk katung, pralambe yang ana maya katon, kang tinonton nora katon, kang anonton nora katon”.
m. Diteruskan dengan Sastra Panengeran, dengani dinyanyikan lagu Dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Kang minangka tangeranku, sakti guna nila warna, turuku lindur buwana, salonjorku lungguh wesi, amunjung kayu perbatang, sedhakepku oyod nimang, candi sewu ing dhadhaku, adegku katu kastuba, randhu kepuh ing jengkengku, naga mulat ing guluku, naga peksa  tulaleku, gadhingku warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku  Hyang pancanaka, lidahku sang sara sekti, brajapati ning wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya Candhra,sumuluh ing rat bawana, awedi kang buta dengen, awedi kang manungsa kabeh, awedi raksasa kabeh, undun ngudu aliweran, lemah paran lungka-lungka, liman watu rejeng, alas agung anderkara, tetegale angyangan, songing landhak garung-gungan, ajarat lemah tendhesan, slirane kang lemah aeng, paomahane durga yekti, lemah wates jejebangan, lemah setra akil ing wang, kang katungkul manut ingwang, dandang bango salirane, anauta lara raga, lara geng wigena, salire mala trimala, tuju teluh teregnyana, budug edan ayan buyan, tuju teluh tarangyana, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, supatane adi guru, yoga ruwat dening aku, budug ayan buyan, lumpuh wuta tuli bisu, tak usapi tangan kiwa, pan aku pangruwat mala, geter pater pangucapku, ketuk lindhu prabawaku, kilat cleret  ing kendhepku, lebda wara mandi sebda, japa mantra kasektenku, kurdaku galudhug gelap, aku kang Hyang Candra sekti, aku Sang Hyang Raja Polah, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Hyang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung putih, aku surak tanpa mungsuh, aku tengeraning angin, lesus agung aliweran, prahara kalawan tambur, pangleburan rajamala, ila-ila upadarwa, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, tan tumama saliraku, tuju teluh taragnyana, budhug edan ayan buyan, lebur kabeh musna ilang, aku Sang Hyang Candhusekti, turun sira sakareng, rijajegan rejeg wesi pinayungan kalacakra, kinemiting widadara, kinemiting widadari, Resi dewa sogataku, aku Sang Hyang Jaya pamurus”.
n. Diteruskan dengan Kidung Panengeran lanjutan, dengan  dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Kang minangka tangeranku, Sang Hyang Tiga Pelunguhku, dadaku Sang Ula Naga, Naga Raja selasangku, Naga Mulet ing guluku, Naga Pulet tulaleku, gadhing warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku mas pancanaka, lidahku sang rasa sekti, brajapatining wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya Candhra, sumuluh ing rat bawono, awedi kang buta dengen, tumingal ing kasektenku, udung-udung ulur-ulur, pilinglung watu tinumpuk, paran limang watu rejeng, lungka-lungka watu putih, sirate lemah tandhesan, agerat kang lemah sangar, alang-alang amelakang, tetegal kang ameyangan, lemah amunuking lembu, lemah aguluning manuk, lemah anggiring sapi, lemah anjilinthing kendhil, lemah ambara bathari, sakehe kang lemah aeng, akehe kang watu aeng, teja-teja ing ulatku, kuwung-kuwung lelathiku, durga galudhug gelap, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung Putih, aku Naganilawarna, aku Sang Hyang Naga Pamolah, aku tengeraning angin, sindhung lesus leliweran, prahara kalawan geter, udang braja salah mangsa, angagem dendha trisula, musala kalawan gadha, senjataku luwih sewu, ngongdokaken mungsuhku bubar, kabeh dewata tumingal kasektenku, aku sang bala sewu, aku Sang Hyang Guru Taya, tumurun aku sekareng, angadheg ing nggonku ring windhu, ajamang akarawistha, asesep angga genitri, trinaya catur bujangga, rinajegan rejen wesi, pinayungan kalacakra, kinemiting pancaresi, sang kusika gagra mestri kurasa, sang Pritanjala, surenggana, surenggini, kinemiting widadara, kinemiting widadari, kinemiting catur loka, endra baruna kuwera, yama luwan bismawana, nguniweh butawilaksa, padha ngreksa padha kemit, rumeksaa mring aku, angastuti maring mami, ya ingsung Sang Hyang Dewa Murti, papaku jati yuswa, sampurna dak tampa mala, niruga nirupa darwa, ya minamuna mas wahak”.
o. Diteruskan dengan Kidung Sastra Pangruwatan, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Ilanga Sanga Dyrga Durgi, sakehe kang alas seng, randhu kepuh karangan kroya waringin ageng, lemah seta tangkeling wang, kang katungkul manut ing wang, dandang bango salirane, anglebura lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara trimala, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung guwa, supata lawan sengsara, supatane Sang Hyang Dewata, supatane awak dhewe, nguni wah buta wiyaksa, kalawan buta wiyaksi, ila-ila upadarwa, budhug edan ayan buyan, budhug edan buyan, mumet mules bencretan, ngelu puyeng pilek watuk, sarta ingkang kena welak, nguni weh padha rawe, tak usapi tangan kiwa, cakra lepas ing tanganku, ke ka ruwat mala, geter pater pangucapku, gerah minangka sabdaku, sabda wara japa mantra, apan iku kasektenku, Sang Hyang Permana ing senenku, ilanga rupa Kala, ilanga sang rupa buta, ilanga sang rupa sasap, ilanga sang rupa jugil, ilanga sang rupa jakat, ilangan sang rupa gendruwa, ilanga sang rupa dusta, durjana kawisayan ulun, durga uta paripurna, nuraga ni rupa dewa, ya minamuna maswahak”.
p. Diteruskan dengan Kidung Pangruwat Pamungkas, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Ruwata Sang Rupa Durga, ruwata sang rupa Buta, ruwata sang rupa Sasab, ruwata sang rupa Jugil, ruwata sang rupa Jakat, ruwata sang rupa Mercu, ruwata sang rupa Taya, ruwata sang rupa Dusta, ulun ingkang angruwata, ulun ingkang angilangna, Durga yuta paripurna, nuraga nirupa darwa, ya minamuna maswahak”.
Setelah selesai melantunkan Kidung Ruwat Muewakala, rambut anak sukerta dipotong sebagai syarat yang nantinya akan dilarung. Kemudian anak Sukerta tersebut dimandikan air bubga setaman oleh yang meruwat. Setelah itu wong sukerta tadi menjadi anak angkat bagi yang meruwat (dalang). Segala sesaji, kain putih menjadi milik orang yang meruwat (dalang ruwat).
Bila orang yang diruwat adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan (gila), atau sudah lama mengalami kesurupan, maka harus dibacakan Kidung Rumaya, sekar sinom yang menyebutkan adanya lelembut di tanah Jawa sebagai berikut :
Tembang Sinom
“Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa.
Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit, lawan Raja Baureksa, iku ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa kang rumeksa Giripura.
Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil, Hendrjeksa, ing Magetan, Jenggal si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing Punggung si Abur-abur, Sapujagad ing Jipang, Madiyun sang Kalasekti, pan si Koreg lelembut ing Panaraga.
Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan guguh ing Grobogan, Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si Kalakatung, Buta Kroda ing Rawa, Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang rumeksa ing Lamongan.
Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si Lancuk aneng Balora, Gambiran sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing Batang si Klewr iku, Nglasem Kalaprahara, Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah ing Candi kayanganira.
Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang Ki Sembungyuda, Suwarda ing Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si Gunting geni, Kaliwungu Gutuk-api kang rumeksa.
Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta Salewah, Manda-manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallajang.
Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajran, Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing Tunjungbang.
Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres apada ing Rangkutan, Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa namanipun, Sawahan Ki Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang ingkang aneng Pelajangan.
Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti, Maduretna ing Sundara, Jelela ing ardi Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa ardi Merbabu, Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka ardi Kelir, Aji Dipa ardi Kendeng kang den reksa.
Ing pasisir Buta Kala, Telacap Ki Kala Sekti, Kala Nadah ing Tojamas, Segaluh aran si Rendil, Banjaran Ki Wesasi, si Korok aneng Lowange, gunung Duk Geniyara, Bok Bereng Parangtaritis, Drembamoa ingkang aneng Purbalingga.
Si Kreta karangbolongan, Kedung Winong Andongsari, ing Jenu si Karungkala, ing Pengging Banjaransari, Pagelan kang winarni, aran Kyai Candralatu, ardi Kendali Sada, Ketek putih kang nenggani, Buta Glemboh ing Ngayah kajanganira.
Rara Denok aneng Demak, si Batitit aneng Tubin, Juwal-pajal ing Talsinga, ing Tremas Kuyang nenggani, Trenggalek Ni Daruni, si Kuncung Cemarasewu, Kala-dadung Bentongan, si Asmara aneng Taji, Bagus-anom ing Kudus kayanganira.
Magiri si Manglar Munga, ing Gading si Puspakati, Cucuk Dandang ing Kartika, Kulawarga Tasikwedi, kali Opak winarni, Sangga Buwana ranipun, Pak Kecek Pejarakan, Cing-cing Goling Kalibening, ing Dahrama Karawelang kang rumeksa.
Kang aneng Warulandeyan, Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang aneng Roban, Pasujayan Udan riris, Widanangga Dalepih, si Gadung Kedung Garunggung, kang aneng Kabareyan, Citranaya kang neggani, Ganepura ingkang aneng Majaraga.
Logenjang aneng Juwana, ing Rembang si Bajulbali, si Londir ing Wirasaba, Madura Buta Garigis, kang aneng ing Matesih, Jaranpanolih ranipun, si Gober Pecangakan, Danapi ing Jatisari, Abar-abir ingkang aneng Jatimalang.
Arya Tiron ing Lodaya, Sarpabangsa aneng Pening, Parangtandang ing Kesanga, ing Kuwu si Ondar-andir, Setan Telaga pasir, ingkang aran si Jalilung, Kala Ngadang ing Tuntang, Bancuri Kala Bancuring, kang angreksa sukuning ardi Baita.
Rara Dungik Randu Lawang, ing Sendang Retna Pangasih, Buta Kepala Prambanan, Bok Sampur neng ardi Wilis, Raden Galanggang Jati, aneng ardi Gajah Mungkur, si Gendruk ing Talpegat, ing Ngembel Rahaden Panji, Pager Waja Rahaden Kusumayuda.
Si Pentul aneng Kacangan, Pecabakan Dodol Kawit, kalangkung kasektenira, titihane jaran panolih, kalacakra payung neki, larwaja kekemulipun, pan samya rinajegan, respati rajege wesi, cametine pat-upate ula lanang.
Sinabetaken mangetan, ana lara teka bali, tinulak bali mangetan, mangidul panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali mangidul, ngulon panyabetira, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara.
mangalor panyabetira, ana lara teka bali, tinulak ngalor parannya, manginggil panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali manduwur, mangisor panyabetnya, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara.
Demit kang aneng Jepara, kalwan kang aneng Pati, kalangkung kasektenira, keringan samaning demit, ing Ngrema Tambaksuli, Yudapeksa ing Delanggu, si Kluntung ing Jepara, Gambir Anom aneng Pti, si Kecebung Kadilangu kang den reksa.
Rara Duleg ing Mancingan, Guwa Langse Raja Putri, kang rumeksa Parang Wedang, Raden Arya Jayengwesti, kabeh urut pasisir, kula warga Nyai Kidul, sampun pepak sadaya, para pramukaning demit, nungsa Jawa paugeran kang rumeksa, Titi Tamat Angidung Rajah Rumaya”.
Ini adalah doa yang dibacakan pada saat melakukan ritual ruwat secara lengkap dan menurut KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden Hadipati Danureja IV).
Selesai menyanyikan kidung untuk Ruwat Murwakala, selanjutnya dibuatlah Rajah Kalacakra yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah yang diruwat.  Pembuatan Rajah Kalacakra Balik adalah menulis  huruf hanacaraka secara terbalik urur\tannya, dimulai dengan “nga ta ba ga ma nya ya ja da pa la wa sa ta da ka ra ca na ha”

dilakukan dengan cara sebagai berikut :
* Ditulis melingkar diatas lempengan emas,
* Sebelumnya melakukan puasa selama 40 hari, hanya berbuka sekali pada tengah malam saja,
* Pati geni selama sehari semalam penuh,
* Lempengan emas yang sudah menjadi rajah di tanam pada tembok atau ditanam pada tanah. Penanaman ini dilakukan dengan cara sunduk sate.
* Penulisan huruf dengan aksara Jawa.
Rajah Kalacakra ditulis pada kain atau kertas yang berwarna putih kemudian ditempel pada tembok atau pintu depan rumah. Penggunaan  warna tinta dengan menggunakan dua warna, misalnya hitam dan merah. Dalam menulis rajah ini, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
* Melakukan puasa selama 21 hari,
* Setiap jam 1 malam harus membakar dupa  selama puasa,
* a. a. kumitir

Selasa, 26 Mei 2015

Wedi kelangan riko

Kalau sesuatu gak keliatan, menghilang ,
belum tentu dia gak ada
sepertinya dia sedang bermain petak umpet
atau sedang berusaha menghilangkan jejaknya

suatu saat dia pasti akan muncul lagi
entah itu dengan atribut dirinya atau atribut pinjamannya

semua orang bisa merencanakan kebohongan

#betultidak?

Minggu, 24 Mei 2015

Bicara baik atau diam

Sungguh beruntung orang yang banyak diam
Ucapannya dihitung sebagai makanan pokok
Tidak semua yang kita ucapkan ada jawabnya
Jawaban yang tidak disukai adalah diam
Sungguh mengherankan orang yang banyak berbuat aniaya
Sementara meyakini bahwa ia akan mati

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
”Seseorang mati karena tersandung lidahnya
Dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya
Tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya
Sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”

Yang dimaksud dengan “sesuatu yang ada di antara dua janggutnya” adalah mulut, sedangkan “sesuatu yang ada di antara dua kakinya” adalah kemaluan.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Ibnu Hajar menjelaskan, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau sunnah untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunnah) termasuk dalam kategori perkataan baik. (Perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam.” (lihat Al-Fath, 10:446)

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”

Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara.”

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hlm. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.”

Beliau menambahkan di hlm. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat maka dia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya.”

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no.10; dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal,

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’”

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, hadits no. 65, dengan lafal seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadis tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang sesuatu yang telah berlalu, yang sedang terjadi sekarang, dan juga yang akan terjadi pada masa mendatang. Berbeda dengan tangan; pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh lisan.”

Oleh karena itu, dalam sebuah syair disebutkan,
“Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.”

Tentang hadits (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam,” Imam Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Syarah Hadits Arbain, “‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir‘, maknanya: siapa saja yang beriman dengan keimanan yang sempurna, yang menyelamatkan dari azab Allah dan mengantarkan kepada keridhaan Allah maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang sebenarnya, ia takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Kemudian memelihara seluruh anggota tubuhnya yang menjadi gembalaannya, dan ia bertangung jawab terhadapnya, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوولًا

‘Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’ (QS. Al-Isra’:36)

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

‘Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)

Yakni selalu mengawasinya dan menyaksikan hal ihwalnya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ( )كِرَامًا كَاتِبِينَ( )يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ

‘Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah), dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (QS. Al-Infithar:10–12)”

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan hasil lisan mereka.” (Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 5136)

”Siapa pun yang mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan yang sebenarnya maka ia bertakwa kepada Allah berkenaan dengan lisannya, sehingga ia tidak berbicara kecuali kebaikan atau diam.” (Tafsir As-Sa’di)

Semoga Allah selalu menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai sesal di hari akhir dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di dunia.

عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وَصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”

Para shahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda.”

Beliau menimpali, ”Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 2581)

Wallahul Musta’an.

Wahai Rabb, ampunilah dosa-dosa hamba, bimbinglah hamba untuk senantiasa taat kepada-Mu dan masukkanlah kami kedalam golongan orang-orang yang Engkau beri Rahmat.

Bandung, 18 Dzulhijjah 1434 H (1 November 2013 M).

Maraji’:

Taisir Karimir Rahman, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
Syarah Arbain An-Nawawi, karya Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi.
Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Tazkiyatun Nafs, karya: Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan Imam Al-Ghazali

Lembayung senja dan penyempurnaan hidup

LEMBAYUNG SENJA DAN PENYEMPURNAAN HIDUP

Dalam istilah alam kita mengenal ada saat lembayung. Lembayung biasanya terjadi pada waktu-waktu berakhirnya senja. Lembayung itu sendiri memiliki arti merah jingga, sebuah warna yang memang terlihat ketika matahari hampir terbenam. Namun, tahukah kita bahwa saat-saat lembayung senja merupakan saat-saat yang memiliki filosofis yang tinggi dalam kehidupan manusia?

Waktu lembayung senja merupakan fase ketika matahari hampir sepenuhnya terbenam. Waktu merendahnya matahari dimulai ketika pukul tiga sore. Fase ini ditandai dengan condongnya matahari ke ufuk barat dan berubahnya cahaya matahari perlahan dari kuning keemas-emasan menjadi merah jingga. Cakrawala akan berubah menjadi merah jingga atau oranye ketika lembayung. Hawa panas akan berangsur-angsur menjadi sejuk.

Lembayung senja merupakan fase puncak dari pergerakan matahari dalam satu hari. Ketika lembayung berakhir, matahari telah utuh terbenam di ufuk barat dan secara perlahan akan berganti dengan kegelapan. Bersyukurlah jika manusia di bumi masih menikmati saat-saat yang romantis ini, karena ketika lembayung dan senja banyak sekali diidiomkan orang sebagai saat-saat yang paling romantis di samping saat matahari terbit dan bulan purnama dengan bintang gemintangnya.

Terbenamnya matahari banyak sekali dimaknai sebagai fase penyempurnaan. Dalam sistem penanggalan Islam, saat-saat lembayung merupakan saat-saat pergantian hari. Sistem penanggalan Islam adalah diawali dengan gema adzan Magrib sebagai permulaan sebuah hari, bukan ketika jam menunjukkan pukul duabelas malam. Dengan sistem penaggalan inilah, penyempurnaan hari dalam Islam ditandai dengan waktu lembayung senja.

Dalam Al-Qur’an pun waktu lembayung senja disinggung dalam Surah Al-Insyiqaaq. Di ayat ke-16 diterangkan bahwa Allah telah bersumpah ketika cahaya merah di waktu senja dan ketika pada waktu malam, bahwa sesungguhnya manusia akan melewati fase kehidupan. Fase tersebut berjalan ketika pembuahan sel telur oleh sperma hingga manusia tersebut meninggal dan dibangkitkan kembali. Surah tersebut mengutarakan terjadinya kiamat dan janji Allah kepada orang yang beriman ketika kiamat.

Berangkat dari ayat tersebut, sumpah Allah kepada makhlukNya terucap bukan ketika pagi atau siang, melainkan pada senja menuju malam. Senja sebagai saat-saat pergantian hari menuju malam serta pergantian tanggal dalam sistem Islam merupakan saat ketika manusia harus menghentikan sejenak aktivitasnya dan melakukan ibadah kepada Allah. Ibadah ini ditandai dengan berkumandangnya azan Maghrib sebagai tanda bergantinya siang menuju malam. Saat-saat ketika manusia harus melakukan penyempurnaan atas aktivitas dunia yang dilakukan pada pagi dan siang hari. Dan penyempurnaan itu ialah bersujud dan mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam.

Bagaimana dengan filosofi lembayung senja di agama yang lain? Dalam kepercayaan Tao dijelaskan bahwa waktu lembayung senja merupakan fase penyempurnaan manusia dalam kehidupannya. Matahari yang hampir terbenam diibaratkan dengan manusia yang telah mengalami perjalanan panjang kehidupan. Senja diibaratkan sebagai manusia yang sudah berumur tua. Cahaya matahari ketika senja tidak akan seterang cahaya matahari ketika siang. Namun, saat-saat ketika senja merupakan saat-saat yang paling indah di bumi.

Begitu juga manusia. Ketika menginjak usia tua, kemampuan fisik mulai menurun. Tubuh tidak lagi sekuat dahulu, namun manusia haruslah memancarkan kebijaksanaannya, harus mampu memberikan kesejukan, serta mampu menunjukkan kematangan jiwanya sebagai manusia. Saat tua sudah bukan lagi terombang-ambing oleh keputusan yang labil. Sebab, menurut ajaran Tao, seseorang ketika masuk usia senjanya kurang bijaksana, susah menyesuaikan diri, dan masih tinggi sifat egonya, maka ia akan tersisihkan, merasa kesepian, dan hidupnya tidak akan bahagia.

Masa usia tua merupakan usia persiapan menuju akhir kehidupan. Kepercayaan Tao mengajarkan bahwa ketika manusia sudah memaknai arti hidup, maka ia akan memperoleh ketenangan batin menjelang akhir hidupnya. Dan ketika jiwanya terlepas dari jasad, ia akan berganti rupa menjadi dewa-dewi sesuai dengan buah dari ajaran Tao yang telah sempurna.

Kepercayaan yang lain pun memfilosofikan sebagai puncak penyempurnaan hidup seorang manusia untuk berganti menuju dunia yang lain, yakni dunia akhirat tempat segalanya akan kekal. Penyempurnaan dalam istilah Buddha Mahayana dikenal dengan sebutan Zen atau Dhyana. Zen atau Dhyana mengajarkan fokus pada sikap meditasi untuk mencapai penerangan dan kesempurnaan jiwa. Meditasi ini mengajarkan manusia untuk memusatkan seluruh pikirannya tidak lagi bersifat dualistik, sebab penyempurnaan berarti tidak lagi memikirkan kefanaan, dalam hal ini adalah dunia. Penyempurnaan adalah satu, yakni Buddha itu sendiri.

Beragam filosofi penyempurnaan manusia ketika lembayung senja dalam masing-masing agama menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Manusia bukanlah makhluk yang kekal di dunia ini, yang kekal hanyalah Sang Pencipta Kehidupan. Sadar akan jiwanya yang tidak sempurna, Sang Pencipta menyuruh kepada umatNya untuk menyempurnakan kehidupan sesuai dengan apa yang telah diajarkan. Usia begitu mudah menjadi tua, dan kematian selalu dekat kepada manusia.

Tuhan menyimbolkan sikap yang seharusnya manusia lakukan sebelum kematian menjelang, melalui bahasa alam. Ia menciptakan lembayung senja sebelum kegelapan tiba merupakan fase ketika matahari memancarkan cahaya yang begitu indah sehingga menghiasi cakrawala menjadi merah jingga sebelum akhirnya hilang ditelan kegelapan malam. Meskipun hanya sebentar, bayangan tentang senja yang indah akan selalu melekat di benak manusia yang pernah melihatnya. Manusia pun begitu. Sebelum kematian menjelang, manusia harus mempersiapkan bekalnya. Ia harus lebih matang—baik dalam iman maupun sikap—agar kematian yang membayang di depan matanya  telah siap untuk dihadapi.

Jumat, 27 Maret 2015

Ilmu sangkan paran ing dumadi

Di ceritakan, ketika Sunan Kalijaga di bai’at ILMU SANGKAN PARANING DUMADI di atas perahu, perahunya bocor. Kemudian ditambal dengan lempung. Di dalam lempung tersebut ada seekor cacing. Mendengar baiat tersebut kemudian cacing berubah menjadi manusia, yang kemudian diberi nama SYEKH SITI JENAR.

Asalnya cacing berubah menjadi manusia kemudian namanya syekh Siti  Jenar. Bukan hanya menjadi manusia Siti Jenar juga menjadi wali. Sudah dipesan tidak boleh menyebar ilmu Haq disembarang tempat, akan tapi Siti Jenar tidak faham  tetap menyebarkan ilmu haq disembarang tempat.

KEAJAIBAN ILMU SANGKAN PARANING DUMADI

Didalam tanah itu ada suatu mahluq yang namanya cacing, cacing itu adalah mahluq yang hina dan lemah. Walaupun mahluq yang lemah akan tetapi kalau diinjak juga akan bergerak. Akan tetapi setelah  mendengar baiat ilmu sangkan paraning dumadi yang dibaiatkan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga, maka hilanglah sifat hayawannya, dari mahluq yang hina menjadi mahluq yang mulya ( manusia). Disamping menjadi manusia juga menjadi WALIYULLOH.

Akan tetapi walaupun wujud manusia kalau tidak kemasukan ilmu sangkan paraning dumadi maka manusia itu akan kembali menjadi cacing, bahkan kadang berubah menjadi benda.

1.   Contoh manusia yang tidak kemasukan ilmu Sangkan Paran itu ada yang berubah menjadi batu. Seperti disebutkan didalam Al Qur'an surat Al Baqoroh ayat 74.

FAHIYAA KAL HIJAAROTAN
Artinya : " Maka dia seperti batu " ( bentuknya manusia akan tetapi didalamnya batu ).

Manusia yang dalamnya batu, apabila diberi  hujan nasihat itu tidak akan pernah bisa masuk (nleser saja ). Al Qur'an,  hadits semuanya nleser saja, batu tetap batu, air tetap air tidak ada satu kekuatan dunia yang mampu menghancurkannya. Orang seperti itu disebutkan didalam Al Qur'an: surat Al Isro' surat ke 17 ayat 50.

QUL KUUNUU HIJAAROTAN AU HADIIDAN
Artinya : " Jadilah batu-batu atau besi-besi "

Juga disebutkan didalam surat  Al Baqoroh surat  ke 2, ayat 74.

FAHIYA KAL HIJAAROTI AU-ASYADDU QOSWATAN.
Artinya : " Maka dia seperti batu atau lebih keras lagi ".

Yang bisa mencairkan hati yang demikian itu hanyalah api neraka.

WAQUUDUHAAN-NAASU WAL HIJAAROTU
Artinya : " Dan dinyalakan api neraka itu dengan manusia dan batu ".

Orang yang mempunyai hati seperti itu yang bisa mencairkan adalah api neraka, jadi menunggu besok. Kalau sekarang itu diberi keterangan maka dikatakan cerewet, diajak ibadah keluar rewelnya, Nabi dijadikan musuh, syaithon dijadikan guru.

2.   Ada lagi orang yang tidak kemasukan ilmu sangkan paraning dumadi manusia bisa berubah menjadi kera. Disebutkan didalam Al Qur-an surat Al  Baqoroh ayat 65.

KUUNUU QIRODATAN KHOOSYI'-IIN
Atinya : " Jadi keralah kamu dan terhina ".

3.   Contoh lain orang yang tidak kemasukan Ilmu Sangkan Paraning dumadi, manusia berubah menjadi khimar. Didalam Al Qur-an disebutkan, surat Jum-at, surat ke 63 ayat no. 5:

KAMATSALIL HIMAARI YAHMILU ASFAARON
Artinya : " Adalah mereka seperti khimar yang membawa kitab ".

Khimar itu mengangkut barang-barang akan tetapi mereka tidak tahu apa yang dibawanya. Makannya seperti sapi, kesukaanya seperti sapi.

Manusia itu adalah mahluq yang mempunyai aqal, juga mempunyai perasaan, akan tetapi kalau tidak tahu asal usulnya, atau ilmu sangkan Paraning Dumadi maka ia seperti keledai, bahkan lebih hina.

 Kalau hayawan  tidak tahu sangkan paraning dumadi itu lumrah (hal yang biasa),karena dia tidak punya aqal dan perasaan.

4.   Adalagi manusia yang tidak kemasukan ilmu Sangkan Paraning Dumadi, maka ia akan lebih hina  dan dia seperti anjing. Dalam A lQur-an disebutkan didalam surat Al A'roof surat ke 7, ayat no.176.

WAT-TABA'A HAWAAHU FAMATSALUHU KAMATSALIL KALBI
Artinya : " Dan orang yang mengikuti hawanya, itu laksana anjing ".

5.   Ada juga orang yang tidak kemasukan Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, itu akan berubah menjadi kemlandingan. Dalam Al Qur-an disebutkan didalam surat Al Ankabuut, surat ke 29, ayat no. 41.

KAMATSALIL 'ANKABUUT
Artinya : " Seperti kemlandingan ".

Rumah yang dibangun oleh kemlandingan itu tidak bisa dibuat untuk berlindung dari panas, apabila panas akan tetap kepanasan dan apabila hujan akan tetap kehujanan. Rumahnya hanyalah untuk menjaring mangsa saja.

Kalau kemlandingan itu kemasukan ilmu Sangkan Paraning Dumadi, maka akan hilanglah sifat kemlandinganya dan akan muncul sifat manusianya, serta menjelma menjadi mahluq yang mulya. Seperti cacing  yang kemasukan Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, kemudian berubah menjadi manusia, bahkan menjadi auliya'.

6. Ada manusia yang tidak kemasukan Ilmu Sangkan Paraning Dumadi itu berubah menjadi Iblis. Seperti disebutkan didalam Al Qur-an Surat Al 'An'aam, surat ke 6, ayat no.112.

SYAYAATHIINAL INSI WAL JINNI
Artinya : " Syaithon berbentuk jin dan syaithon berbentuk manusia ".

Sejelek-jelek manusia adalah manusia yang tidak mempunyai musuh, karena syaithon yang seharusnya menjadi musuhnya malahan dijadikan teman. Ketemu Syaithon dianggap teman, ketemu penipu dianggap teman, sedangkan kita itu wajib mempunyai musuh syaithon. Bagaimana memusuhi syaithon,  kalau tidak tahu Syaithon ?

Oleh karena itu  wajib pula mengetahui syaithon. Untuk bisa mengetahui syaithon harus kemasukan ilmu  Sangkan Paraning Dumadi, setelah kemasukan ilmu tersebut maka akan menjadi SYEKH SITI JENAR.

* SYEKH.

Kalimat syaikh itu bisa diartikan menurut bahasa juga dapat diartikan menurut istilah.

1.   Kalimat Syekh menurut bahasa adalah : Setiap orang yang sudah berumur lebih dari 40 tahun, itu dinamakan syaikh baikpun orang itu kafir ataupun mukmin.

2.   Kalimat Syekh menurut istilah adalah : Setiap orang yang mempunyai ilmu haqiqot itu dinamakan syaikh, walaupun orang tersebut baru berusia 17 tahun ( Syaikho untuk putri ).

* SITI.

Siti adalah isinya hati, tempatnya didalam hati bukan dibibir.

* JENAR.

Jenar itu artinya kuning, kuning adalah menggembirakan. Tetapi bukan kuningnya mundu, bukan kuning emas akan tetapi kuningnya logam mulia. Makanya iman, islam ditempatkan didalam bokor emas. Dimana emasnya ? ya disitu ( bokor emas).

Siti Jenar : isinya  hati yang kuning ( yang meggembirakan) Disebutkan didalam Al Qur-an, surat Al Baqoroh surat ke 2, ayat no. 69.

SHOFROO-UN FAAQI'UL LAUNUHAA TASURRUN NAADHIRIIN
Artinya : " Kuning warnanya, menggembirakan hati, orang-orang yang melihatnya ".