soewarsomandalaputra

Selasa, 26 Mei 2015

Wedi kelangan riko

Kalau sesuatu gak keliatan, menghilang ,
belum tentu dia gak ada
sepertinya dia sedang bermain petak umpet
atau sedang berusaha menghilangkan jejaknya

suatu saat dia pasti akan muncul lagi
entah itu dengan atribut dirinya atau atribut pinjamannya

semua orang bisa merencanakan kebohongan

#betultidak?

Minggu, 24 Mei 2015

Bicara baik atau diam

Sungguh beruntung orang yang banyak diam
Ucapannya dihitung sebagai makanan pokok
Tidak semua yang kita ucapkan ada jawabnya
Jawaban yang tidak disukai adalah diam
Sungguh mengherankan orang yang banyak berbuat aniaya
Sementara meyakini bahwa ia akan mati

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
”Seseorang mati karena tersandung lidahnya
Dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya
Tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya
Sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”

Yang dimaksud dengan “sesuatu yang ada di antara dua janggutnya” adalah mulut, sedangkan “sesuatu yang ada di antara dua kakinya” adalah kemaluan.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Ibnu Hajar menjelaskan, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau sunnah untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunnah) termasuk dalam kategori perkataan baik. (Perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam.” (lihat Al-Fath, 10:446)

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”

Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara.”

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hlm. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.”

Beliau menambahkan di hlm. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat maka dia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya.”

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no.10; dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal,

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’”

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, hadits no. 65, dengan lafal seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadis tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang sesuatu yang telah berlalu, yang sedang terjadi sekarang, dan juga yang akan terjadi pada masa mendatang. Berbeda dengan tangan; pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh lisan.”

Oleh karena itu, dalam sebuah syair disebutkan,
“Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.”

Tentang hadits (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam,” Imam Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Syarah Hadits Arbain, “‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir‘, maknanya: siapa saja yang beriman dengan keimanan yang sempurna, yang menyelamatkan dari azab Allah dan mengantarkan kepada keridhaan Allah maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang sebenarnya, ia takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Kemudian memelihara seluruh anggota tubuhnya yang menjadi gembalaannya, dan ia bertangung jawab terhadapnya, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوولًا

‘Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’ (QS. Al-Isra’:36)

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

‘Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)

Yakni selalu mengawasinya dan menyaksikan hal ihwalnya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ( )كِرَامًا كَاتِبِينَ( )يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ

‘Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah), dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (QS. Al-Infithar:10–12)”

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan hasil lisan mereka.” (Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 5136)

”Siapa pun yang mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan yang sebenarnya maka ia bertakwa kepada Allah berkenaan dengan lisannya, sehingga ia tidak berbicara kecuali kebaikan atau diam.” (Tafsir As-Sa’di)

Semoga Allah selalu menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai sesal di hari akhir dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di dunia.

عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وَصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”

Para shahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda.”

Beliau menimpali, ”Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 2581)

Wallahul Musta’an.

Wahai Rabb, ampunilah dosa-dosa hamba, bimbinglah hamba untuk senantiasa taat kepada-Mu dan masukkanlah kami kedalam golongan orang-orang yang Engkau beri Rahmat.

Bandung, 18 Dzulhijjah 1434 H (1 November 2013 M).

Maraji’:

Taisir Karimir Rahman, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
Syarah Arbain An-Nawawi, karya Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi.
Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Tazkiyatun Nafs, karya: Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan Imam Al-Ghazali

Lembayung senja dan penyempurnaan hidup

LEMBAYUNG SENJA DAN PENYEMPURNAAN HIDUP

Dalam istilah alam kita mengenal ada saat lembayung. Lembayung biasanya terjadi pada waktu-waktu berakhirnya senja. Lembayung itu sendiri memiliki arti merah jingga, sebuah warna yang memang terlihat ketika matahari hampir terbenam. Namun, tahukah kita bahwa saat-saat lembayung senja merupakan saat-saat yang memiliki filosofis yang tinggi dalam kehidupan manusia?

Waktu lembayung senja merupakan fase ketika matahari hampir sepenuhnya terbenam. Waktu merendahnya matahari dimulai ketika pukul tiga sore. Fase ini ditandai dengan condongnya matahari ke ufuk barat dan berubahnya cahaya matahari perlahan dari kuning keemas-emasan menjadi merah jingga. Cakrawala akan berubah menjadi merah jingga atau oranye ketika lembayung. Hawa panas akan berangsur-angsur menjadi sejuk.

Lembayung senja merupakan fase puncak dari pergerakan matahari dalam satu hari. Ketika lembayung berakhir, matahari telah utuh terbenam di ufuk barat dan secara perlahan akan berganti dengan kegelapan. Bersyukurlah jika manusia di bumi masih menikmati saat-saat yang romantis ini, karena ketika lembayung dan senja banyak sekali diidiomkan orang sebagai saat-saat yang paling romantis di samping saat matahari terbit dan bulan purnama dengan bintang gemintangnya.

Terbenamnya matahari banyak sekali dimaknai sebagai fase penyempurnaan. Dalam sistem penanggalan Islam, saat-saat lembayung merupakan saat-saat pergantian hari. Sistem penanggalan Islam adalah diawali dengan gema adzan Magrib sebagai permulaan sebuah hari, bukan ketika jam menunjukkan pukul duabelas malam. Dengan sistem penaggalan inilah, penyempurnaan hari dalam Islam ditandai dengan waktu lembayung senja.

Dalam Al-Qur’an pun waktu lembayung senja disinggung dalam Surah Al-Insyiqaaq. Di ayat ke-16 diterangkan bahwa Allah telah bersumpah ketika cahaya merah di waktu senja dan ketika pada waktu malam, bahwa sesungguhnya manusia akan melewati fase kehidupan. Fase tersebut berjalan ketika pembuahan sel telur oleh sperma hingga manusia tersebut meninggal dan dibangkitkan kembali. Surah tersebut mengutarakan terjadinya kiamat dan janji Allah kepada orang yang beriman ketika kiamat.

Berangkat dari ayat tersebut, sumpah Allah kepada makhlukNya terucap bukan ketika pagi atau siang, melainkan pada senja menuju malam. Senja sebagai saat-saat pergantian hari menuju malam serta pergantian tanggal dalam sistem Islam merupakan saat ketika manusia harus menghentikan sejenak aktivitasnya dan melakukan ibadah kepada Allah. Ibadah ini ditandai dengan berkumandangnya azan Maghrib sebagai tanda bergantinya siang menuju malam. Saat-saat ketika manusia harus melakukan penyempurnaan atas aktivitas dunia yang dilakukan pada pagi dan siang hari. Dan penyempurnaan itu ialah bersujud dan mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam.

Bagaimana dengan filosofi lembayung senja di agama yang lain? Dalam kepercayaan Tao dijelaskan bahwa waktu lembayung senja merupakan fase penyempurnaan manusia dalam kehidupannya. Matahari yang hampir terbenam diibaratkan dengan manusia yang telah mengalami perjalanan panjang kehidupan. Senja diibaratkan sebagai manusia yang sudah berumur tua. Cahaya matahari ketika senja tidak akan seterang cahaya matahari ketika siang. Namun, saat-saat ketika senja merupakan saat-saat yang paling indah di bumi.

Begitu juga manusia. Ketika menginjak usia tua, kemampuan fisik mulai menurun. Tubuh tidak lagi sekuat dahulu, namun manusia haruslah memancarkan kebijaksanaannya, harus mampu memberikan kesejukan, serta mampu menunjukkan kematangan jiwanya sebagai manusia. Saat tua sudah bukan lagi terombang-ambing oleh keputusan yang labil. Sebab, menurut ajaran Tao, seseorang ketika masuk usia senjanya kurang bijaksana, susah menyesuaikan diri, dan masih tinggi sifat egonya, maka ia akan tersisihkan, merasa kesepian, dan hidupnya tidak akan bahagia.

Masa usia tua merupakan usia persiapan menuju akhir kehidupan. Kepercayaan Tao mengajarkan bahwa ketika manusia sudah memaknai arti hidup, maka ia akan memperoleh ketenangan batin menjelang akhir hidupnya. Dan ketika jiwanya terlepas dari jasad, ia akan berganti rupa menjadi dewa-dewi sesuai dengan buah dari ajaran Tao yang telah sempurna.

Kepercayaan yang lain pun memfilosofikan sebagai puncak penyempurnaan hidup seorang manusia untuk berganti menuju dunia yang lain, yakni dunia akhirat tempat segalanya akan kekal. Penyempurnaan dalam istilah Buddha Mahayana dikenal dengan sebutan Zen atau Dhyana. Zen atau Dhyana mengajarkan fokus pada sikap meditasi untuk mencapai penerangan dan kesempurnaan jiwa. Meditasi ini mengajarkan manusia untuk memusatkan seluruh pikirannya tidak lagi bersifat dualistik, sebab penyempurnaan berarti tidak lagi memikirkan kefanaan, dalam hal ini adalah dunia. Penyempurnaan adalah satu, yakni Buddha itu sendiri.

Beragam filosofi penyempurnaan manusia ketika lembayung senja dalam masing-masing agama menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Manusia bukanlah makhluk yang kekal di dunia ini, yang kekal hanyalah Sang Pencipta Kehidupan. Sadar akan jiwanya yang tidak sempurna, Sang Pencipta menyuruh kepada umatNya untuk menyempurnakan kehidupan sesuai dengan apa yang telah diajarkan. Usia begitu mudah menjadi tua, dan kematian selalu dekat kepada manusia.

Tuhan menyimbolkan sikap yang seharusnya manusia lakukan sebelum kematian menjelang, melalui bahasa alam. Ia menciptakan lembayung senja sebelum kegelapan tiba merupakan fase ketika matahari memancarkan cahaya yang begitu indah sehingga menghiasi cakrawala menjadi merah jingga sebelum akhirnya hilang ditelan kegelapan malam. Meskipun hanya sebentar, bayangan tentang senja yang indah akan selalu melekat di benak manusia yang pernah melihatnya. Manusia pun begitu. Sebelum kematian menjelang, manusia harus mempersiapkan bekalnya. Ia harus lebih matang—baik dalam iman maupun sikap—agar kematian yang membayang di depan matanya  telah siap untuk dihadapi.